Ketersediaan : Tersedia

ISLAM ITU RAHMATAN LIL ALAMIN BUKAN UNTUK KAMU SENDIRI

Deskripsi Produk

  Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmatan lil-‘âlamîn (rahmat bagi semesta alam). (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107)   ***   Rahmatan lil-‘âlamîn itu berarti tidak ada yang luput dari rahmat Allah. Tapi sekarang ini, ada orang-orang yang mau menang sendiri, mau kaya sendiri, mau masuk surga sendiri, mau…

Baca Selengkapnya...

Rp 79.000

Rp 67.150


 

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmatan lil-‘âlamîn (rahmat bagi semesta alam).

(QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107)

 

***

 

Rahmatan lil-‘âlamîn itu berarti tidak ada yang luput dari rahmat Allah. Tapi sekarang ini, ada orang-orang yang mau menang sendiri, mau kaya sendiri, mau masuk surga sendiri, mau unggul sendiri, mau hebat sendiri, sehingga semua direkrut, semua dijual, dijadikan brand ….

 

Emha Ainun Nadjib, halaman 180

 

***

Kumpulan ceramah Emha Ainun Nadjib ini dirangkum dari berbagai acara. Tema-tema ceramah yang dikumpulkan secara khusus mengajak pembaca kembali menghayati hakikat Islam bagi kemaslahatan semesta—bukan sebagai alat pemuas nafsu-nafsu akan dunia, atau bahkan ego-ego yang mengklaim sebagai pemilik surga.

Resensi

Konsepkan Dirimu dengan Pas   Keramat secara epistemologi berasal dari kata karâmah. Dari kata itulah kemudian muncul inna akramakum. Jadi, akram itu adalah yang lebih punya keramat. Dalam Al-Quran (QS Al-Hujurât [49]: 13) dinyatakan, “Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum”, tapi jarang diingat bahwa dalam kalimat itu adalah ‘indallâh (di sisi Allah), bukan ‘indannâs (di sisi manusia). Maksudnya adalah Gusti Allah secara implisit—atau tersirat—memberi tahu pada manusia bahwa yang mengerti keramat atau tidak keramat itu cuma Dia.   Kalau ada yang menyebut saya keramat, itu adalah doa untuk saya, tapi bukan kenyataan bahwa saya keramat.  Kalaupun ada yang keramat, itu tidak bisa dibandingkan. Anda tidak bisa membandingkan nyamuk dengan lalat. Nyamuk itu, seperti itu, lalat juga seperti itu. Ada hal-hal yang bisa kita perbandingkan. Tapi ada juga sesuatu, yang sifatnya sunnatullâh, yang tidak bisa dibandingkan. Anda tidak perlu menilai jika kambing kalah besar dari gajah. Sebab, kambing memang segitu besarnya. Gajah juga segitu besarnya.   Allah mengatakan, “… Innallâha lâ yastahyî ay-yadhriba matsalammâ ba‘ûdhatan fa mâ fauqahâ” (QS Al-Baqarah [2]: 26). Saya tidak malu membahas nyamuk, membahas semut, karena Allah sendiri menyebutnya sebagai perumpamaan dalam Al-Quran, untuk pembelajaran manusia. Maksudnya, Allah itu serius menciptakan tumbuhan, hewan, dan alam untuk memberi pengajaran pada manusia. ‘Allamal insâna mâ lam ya‘lam (QS Al-‘Alaq [96]: 5). Saya ingin seperti Sunan Bonang mengajari Sunan Kalijaga pelajaran utama dalam hidup, yaitu tawaduk. Tawaduk itu terjemahannya bisa macam-macam. Misalnya, saya mengartikan “hidup dengan rasa berutang”. Saya merasa berutang sekali pada Gusti Allah, sehingga biar saya dihidupkan sepuluh kali pun tidak akan bisa membayar utang itu. Maka, jadinya tumbuh kepatuhan pada Allah. Untuk itu, saya rela berkeliling ke mana pun, mengisi pengajian, majelis, capek-capek, semua saya jalankan untuk menyicil utang saya pada Allah.   Kita harus tawaduk kepada Allah. Kita itu tidak punya apa-apa. Kita dijadikan, diciptakan, diberi, dilimpahi apa pun oleh Allah, dan seluruhnya itu adalah utang kita kepada Allah. Jadi, hidup kita ini adalah upaya untuk “menyicil kredit” kita pada Allah. Itu salah satu terjemahan tawaduk—yang terjemahannya sangat banyak, tinggal mau diterjemahkan di wilayah mana.   Kadang manusia itu usil, seolah-olah menjadi Gusti Allah, mengukur-ukur pahala dan dosa orang lain. Padahal, tidak mungkin kita tahu ketakwaan seseorang. Itu, kan, ‘indallâh, bukan ‘indannâs. Hanya Allah yang tahu, siapakah orang yang paling bertakwa. Dalam budaya Jawa ada istilah “sawang-sinawang”—berhusnuzan dan beriktikad baik pada orang lain. Kita tidak bisa menilai orang lain karena kita tidak bisa apa-apa. Hanya Gusti Allah yang bisa berbuat apa saja. Selebihnya hanyalah animasi.   Gusti Allah itu membuat animasi seolah-olah ada Adam, ada Anda, ada saya, padahal sebenarnya kita tidak ada. Yang ada hanya Allah. Kalau kita menilai orang lain, itu sebenarnya asumsi otak kita sendiri. Bukan begitu yang sebenarnya.   Kalau ada perempuan dibilang pesek, dia marah atau tidak? Kalau marah, dia itu marah karena peseknya atau karena pikiran dia yang menganggap bahwa pesek itu jelek? Tersinggungnya karena punya konsep bahwa pesek itu jelek.   Maka, dalam hidup jangan salah konsep, bisa menderita nanti. Uang Rp10 juta itu terlihat banyak jika standar ukuranmu hanya Rp1 juta. Tapi, buat orang yang sangat kaya, yang uangnya miliaran rupiah, uang Rp10 juta itu cuma seuprit, tidak ada apa-apanya. Jadi, uang Rp10 juta itu sedikit atau banyak bukan karena jumlah uangnya, tapi tergantung di mana ia ditempatkan. Tergantung bagaimana konsep kita terhadap diri kita sendiri.   Saya sendiri sengaja menempatkan diri saya dengan standar ukuran Rp1 juta. Agar saya selalu memandang bahwa Rp10 juta itu banyak. Supaya saya bisa menikmati semua itu. Makanya dalam hidup, saya tidak membiasakan diri untuk bermewah-mewah. Makan apa adanya, agar saya tetap bisa memandang bahwa Rp10 juta itu banyak. Jadi, saya mempertahankan posisi di tempat yang paling rendah.   Sunan Kalijaga punya energi, kemampuan, kelembutan, dan pengayoman untuk mengislamkan jin-jin sebagaimana Syaikh Subakir. Beliau punya kemampuan itu karena beliau adalah keturunan Rasulullah Saw.   Keturunan Rasulullah itu ada dua macam. Satu, keturunan Rasulullah dalam arti Muhammad bin Abdullah yang hidup selama 63 tahun di Makkah dan Madinah. Dua, disebut keturunan Rasulullah karena mendapatkan transfer energi dari Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah anak tertua semua manusia itu. Itu adalah Rasulullah, sebelum menjadi Rasulullah secara fisik. Ketika belum menjadi Muhammad, putra Pak Abdullah dan Bu Aminah.   Yang pertama kali diciptakan Allah adalah cuatan cahaya, ledakan cahaya, yang disebut Nur Muhammad—cahaya yang terpuji. Dari situ Allah mentransformasi suatu proses selama enam hari, membuat kumparan-kumparan atau bulatan-bulatan, menciptakan tawaf alam semesta, kemudian ada yang menjadi planet, bintang, galaksi, dan lain sebagainya. Ada juga yang jadi energi, partikel, proton, elektron, dan lain sebagainya, hingga akhirnya jadilah alam semesta seperti yang kita kenal sekarang ini.   Kalau orang bertarekat, orang mencari dirinya sendiri, jangan sampai Anda kehilangan Allah dalam hidup Anda. Jangan sampai Anda mengalami sesuatu, tanpa mengingat Gusti Allah. Jangan sampai Anda makan satu butir nasi pun tanpa menyadari bahwa itu berasal dari Allah. Kalau Anda kehilangan Allah, Anda akan jadi orang fasik. Itu menurut Allah, seperti yang diterangkan dalam QS Al-Hasyr [59]: 19.   Kanjeng Sunan Kalijaga itu punya keturunan garis energi dengan Nur Muhammad, sehingga beliau itu luar biasa. Bersama Wali Sanga lain, dia berhasil menyebarkan Islam tanpa pertumpahan darah. Dan situasi ini adalah satu-satunya di seluruh dunia. Di tempat lain di muka bumi ini, penyebaran Islam selalu memakai pertumpahan darah.   Thariq bin Ziyad menyebarkan Islam ke Spanyol dengan penaklukan. Dia menggunakan jalan kekerasan hingga berhasil menguasai Cordova. Makanya, saya tidak heran ketika Islam kalah di Eropa melalui pertumpahan darah dalam Perang Salib. Sebab, Islam masuk ke Spanyol dengan pedang. Di Jawa tidak seperti itu. Islam masuk melalui dialog, pakai perundian, pakai ujian-ujian tapi untuk kebaikan.   Itulah kenapa Jawa, atau orang Jawa, disembunyikan dari peradaban dunia. Karena ada yang tidak ingin manusia di dunia ini tahu betapa dahsyatnya Islam di Pulau Jawa— yang dikembangkan betul-betul dengan hikmah, dengan kearifan, dengan ilmu, tanpa kekerasan, tanpa pertumpahan darah.

Spesifikasi Produk

SKU NA-224
ISBN 978-623-242-091-5
Berat 300 Gram
Dimensi (P/L/T) 0 Cm / 0 Cm/ 0 Cm
Halaman 264
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk