Sinopsis:
Sekurangnya selama dua dekade–di negeri-negeri maju bahkan sejak setengah abad–yang lalu, kita menyaksikan kembalinya spiritualisme atau mistisisme ke dalam kehidupan manusia modern. Demikian pula halnya dengan spiritualisme Islam, yakni tasawuf. Keberhasilan peradaban modern dalam memenuhi tuntutan kemakmuran hidup ternyata justru menggarisbawahi dahaga orang pada spiritualisme. Mistisisme sekaligus juga mengembalikan wajah cinta dan kedamaian agama di tengah hawa kebencian dan kekerasan yang mewabah belakangan ini.
Maka, buku kecil ini memiliki fungsi ganda. Pertama, memaparkan tasawuf secara proporsional, ringkas, populer, dan mudah dipahami, tetapi sedapat mungkin juga cukup komprehensif dan tidak dangkal. Kedua, mempromosikan sejenis tasawuf positif–sebagai lawan tasawuf negatif atau eksesif–yang sejalan dengan prinsip cinta, akhlak, kebaikan, sikap proporsional terhadap kehidupan duniawi, rasionalitas, dan juga penghargaan terhadap sains. Meskipun ringkas dan populer, pembaca akan mendapati pandangan-pandangan segar yang tak segera bisa didapat dari buku-buku sejenis yang lebih berat.
Dengan membaca buku ini, Anda diharapkan dapat mengetahui:
* Makna tasawuf
* Manfaat bertasawuf
* Tasawuf sebagai mazhab cinta dan perwujudan rukun ihsân
* Sejarah aliran-aliran tasawuf
* Kosmologi, epistemologi, dan ontologi tasawuf
* Konsep-konsep kunci tasawuf, khususnya zuhud dan ‘uzlah
* Tentang mursyid dan tarekat
* Tentang tasawuf dan Metode Takwil
PRAKATA
Saya tak ingat benar, kapan mulai tertarik pada tasawuf. Yang saya ingat, di awal-awal tahun perkuliahan di ITB (sekitar tahun ‘77) saya tertarik membaca buku karya Ali Issa Othman tentang pemikiran Al-Ghazali mengenai manusia. Pada masa-masa yang dekat dengan itu, entah sebelum atau sesudahnya, saya pun tertarik membaca masterpiece Muhammad Iqbal yang berjudul Reconstruction of Religious Thought in Islam. Seperti sudah banyak diketahui orang, Iqbal dikenal dengan pembahasannya tentang intuisi (qalb atau fu’âd) sebagai basis lain epistemologi di samping akal. Buku ini juga menarik saya untuk membca bagian-bagian ihya’ karya sang Hujatul Islam melalui Iqbal juga saya belajar pemisahan anak kalimat secara tertatih tatih untuk membaca buku babon dalam mistisiswa, yakni Verieties of Religious Experience oleh William James. Mungkin juga kekaguman saya kepada Imam Khomeini, seorang sufi atau ‘ârif pemimpin Revolusi Iran pada tahun 1979, banyak mem-boost ketertarikan saya pada tasawuf. Juga pada figur-figur utama yang hidup di Persia pada zaman itu, termasuk Seyyed Hossein Nasr, dan Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i. Setelah itu saya masih mendapatkan exsposure lebih jauh kepada salah satu pendekatan kepada Islam ini ketika mengambil S-2 di IAIN Syarif Hidayatullah. Lewat mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam yang diajarkan oleh Almarhum Prof. Harun Nasution, saya diperkenalkan lebih jauh kepada pemuka-pemuka tasawuf, seperti Al-Hallaj, Ba Yazid Al-Busthami, dan sebagainya. Hingga, pada puncaknya, saya berkesempatan mengambil dua mata kuliah yang terkait erat dengan tasawuf di bawah bimbingan Prof. Annemarie Schimmel ketika saya mengambil gelar master di Center for Middle Eastern Studies, Harvard University. Tetapi, keterlibatan saya secara lebih intens ke dalam kegiatan dan wacana tasawuf kiranya baru benar-benar memperoleh bentuknya ketika saya ikut dalam pendirian IIMaN (Indonesian Islamic Media Network). Pada mulanya lembaga ini bergerak di bidang informasi digital. Hingga, suatu saat, terbetik keinginan untuk menerbitkan sebuah majalah digital (e-magazine) di website kami. Sdr. Najib Burhani, salah seorang staf IIMaN dan penulis beberapa buku (termasuk Sufisme Kota), yang mengusulkan agar e-magazine tersebut mengambil tasawuf sebagai fokus bahasannya. Saya pun segera setuju mengingat pada saat itu—kira-kira tahun 1996—minat orang terhadap tasawuf terus saja meningkat. Maka, sejak saat itu, IIMaN pun bergerak lebih banyak di bidang pengkajian dan pengembangan tasawuf.
Meski majalah digital itu sendiri terbukti tak berumur panjang, IIMaN justru dikenal orang sebagai penyelenggara kursus tentang tasawuf, di samping juga memiliki acara bertema sama di salah satu televisi swasta negeri ini. Demikianlah, sebagai salah seorang pendiri IIMaN, saya pun banyak mengisi berbagai kegiatan IIMaN di bidang ini. Dengan bertambahnya wawasan saya, meningkat pula minat saya kepada tasawuf. Hal ini kiranya berjalan seiring dengan fokus studi saya pada filsafat Islam. Dalam kenyataannya, ketertarikan saya di bidang ini tampaknya lebih berat kepada pemikiran-pemikiran yang sedikitbanyak dekat kepada tasawuf, seperti Isyrâqiyyah Suhrawardi dan, terutama, Hikmah Mulla Shadra. Pelanpelan, tapi pasti, saya menjadi true believer tasawuf. Saya percaya bahwa, dalam banyak hal, tasawuf mampu menjawab kebutuhan manusia modern akan dahaga spiritual yang mereka alami. Belakangan, saya malah percaya bahwa Islam yang dikemas dalam tasawuf (positif) merupakan jawaban yang paling pas terhadap kebutuhan keberagamaan manusia modern.
Meski terkesan banyak diwarnai kebetulan, saya kira ketertarikan saya pada tasawuf sedikit-banyak berakar dalam temperamen (intelektual) saya. Saya kira saya adalah orang yang lebih berat pada penggunaan intuisi ketimbang analisis rasional. Inilah kemungkinan besar yang mendorong saya untuk lebih tertarik kepada tasawuf.
“Hobi” saya ini belakangan saya rasakan menjelma menjadi semacam sense of duty ketika belakangan saya dapati adanya kecenderungan pada manusia modern—yang makin menggandrungi tasawuf—untuk menekankan pada hal-hal yang bersifat mistik dan irasional. (Lihat Bab1: Manusia Modern Mendamba Allah). Saya merasa bahwa Keterlibatan saya dalam pengkajian tasawuf memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah mempromosikan tasawuf sebagai kemasan keislaman yang sejalan dengan tuntutan zaman modern. Termasuk di dalamnya penekanan tasawuf pada sifat eros-oriented Islam, lihat “Tasawuf: Mazhab Cinta”. Cinta ini, saya yakini, merupakan obat bagi ekslusivisme bahkan kebencian, yang melahirkan radikalisme. Tapi, pada saat yang sama, saya juga merasa perlunya promosi tasawuf yang lebih bersifat positif terhadap kehidupan keduniaan yang sehat, rasionalitas, dan concern social.
Bukan tasawuf eksesif atau negatif yang menyangkal dunia, mempromosikan irasionalitas, dan cenderung egois dengan memusatkan perhatian pada penyelamatan individual.
Lepas dari itu semua, saya kira—betapa pun—saya tak akan pernah tertarik pada tasawuf negatif model begitu. Pendidikan keagamaan saya, terutama oleh ayah saya sendiri, sama sekali tak membawa ke arah itu. Ayah saya adalah seseorang yang memiliki wawasan keislaman yang amat rasional. Lepas dari pendidikan ilmu agama yang diperolehnya sejak kecil, beliau adalah seorang pengusaha.
Lebih dari itu, pendidikan akademik saya (pada awalnya) adalah di bidang teknik. Sementara, pada saat yang sama, saya sendiri adalah seorang pengusaha yang bukan saja berorientasi rasionalitas, bahkan sering kali malah pragmatis.
Buku nan sederhana ini, meski fungsi utamanya Adalah memperkenalkan tasawuf secara populer kepada orang awam, adalah juga semacam posisi saya terhadap disiplin ini. Seperti dapat dilihat dalam bab terakhir, yang sekaligus menjadi semacam kesimpulan dari tasawuf yang pembahasannya hendak dipromosikan dalam buku ini adalah tasawuf dengan sifat-sifat yang sudah saya singgung sebelumnya. Penulisannya didorong oleh kedua kesadaran tersebut: promosi tasawuf dan keperluan agar orang tak (sekali lagi, setelah berabad-abad dalam sejarahnya yang lampau) terjerumus ke dalam tasawuf negatif dan eksesif. Kehadirannya dirasakan perlu mengingat buku yang membawa semangat ganda seperti ini rasanya belum banyak tersedia. Jika dibaca bersama Mengenal Filsafat Islam, yang terbit bersama buku ini, maka ia akan dapat menjadi perkenalan-kembali bagi umat Islam di Indonesia akan khazanah intelektual yang sebelumnya telah tergerus oleh arus modernisasi yang meruyak sejak awal abad ke-20 yang lalu. Karena alasan ini, belakangan saya memutuskan untuk menerbitkan kedua buku ini secara bersama-sama.
Betapa pun juga seperti dapat dilihat, mengenal Filsafat Islam bukanlah sebuah buku yang terutama mengupas tentang subtansi teknis mines analistis Filsafat Islam, melainkan lebih memperkenalkan metoda dan strukturnya sedangkan dalam hal subtansi, pengenalan diberikan kepada aspek-aspek yang merupakan dasar bagi kosmologi dan epistemiloginya. Dan, dalam hal ini kosmologi dan epitemologi filsafat yang juga berpengengaruh atas kosmologi dan epitemologi tasawuf. Dengan kata lain ketimbang menyoroti Filsafat Islam sebagai falsafah dalam arti analistis, arah buku nengenal Filsafat Islam ini adalah lebih kepada yang bersifat Neoplatonis dan Iluministik, ketimbang Aristotelian dan Feripatetik. Mudah-mudahan buku ini bisa menjadi sumbangan bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, atau setidaknya memberikan warna terhadap penghayatan dan praktik keislaman di negeri ini. Jika para pembacanya mendapatkan ketertarikan terhadap tasawuf setelah membaca buku ini (apalagi kemudian terdorong untuk membaca karya-karya yang lebih serius di bidang yang sama), maka tugas saya tampaknya sudah tertunaikan. Mudah-mudahan Allah Swt. selalu memberikan hidâyah dan ‘inâyah-Nya kepada saya, dan kepada seluruh pembaca, agar kehadiran buku ini bisa benar-benar memberikan manfaat yang positif—sekecil dan sesederhana apa pun.
Bagi yang berminat setelah membaca buku ini pembaca dapat membaca buku Semesta Cinta, pengantar kepada pemikiran Ibn ‘Arabi, yang menyoroti lebih jauh aspek pemisah kalimat katakanlah penutup filsafat tasawuf serta buku dari Allah Menuju Allah. Untuk pembahasan lebih filosofis tasawuf saya menulis sebuah buku khusus berjudul Epistemologi Tasawuf, sebuah pengantar. Bersama rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah memberi saya kemampuan—betapapun terbatas—untuk menulis buku ini, saya ingin memohon kepada-Nya agar karya sederhana ini bisa dijadikan catatan-amal (baik) saya. Taqabbal yâ Allâh.
Akhirnya, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua rekan saya di IIMaN, termasuk Sdr. Rahmad Riyadi, Sdri. Dewi, Sdr. Najib Burhani, Sdr. Cecep Ramly Bihar Anwar, Sdr. Mujtahidin, dan Sdr. Denny. Juga Sdr. Musa Kazhim, yang kebetulan memiliki minat yang kurang lebih sama dengan saya. Juga kepada Sdri. Dwi Irawati, yang dengan tekun merapikan naskah yang masih “bolong” di sana-sini, dan Sdr. Alm. Hernowo yang merintis pengemasannya. Kepada keluarga saya, istri dan anak-anak saya, it goes without saying bahwa dukungan mereka mempunyai andil yang amat menentukan dalam perwujudan buku ini. Kepada Allah, saya mohonkan rahmat atas mereka senantiasa.
BAB 1
MANUSIA MODERN
MENDAMBA ALLAH
Beberapa dekade belakangan ini menyaksikan adanya kebutuhan baru yang besar akan spiritualisme, baik di dunia secara umum maupun di kalangan kaum Muslim. Kebutuhan akan spiritualisme di negara-negara maju sudah lama terasa, dibandingkan dengan di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, kebutuhan akan spiritualisme itu sudah kuat terasa sejak tahun 1960-an. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya budaya hippies, yang memberontak terhadap nilai-nilai kemapanan. Mereka pun mencari-cari alternatif-alternatif baru. Ada yang positif, seperti ketika mereka pergi ke India untuk belajar yoga dan Hinduisme, tetapi tidak sedikit pula yang tampak negatif. Maka bermunculanlah beragam bentuk spiritualisme model kultus-kultus (cults). Misalnya, Alvin Toffler—hampir 20 tahun yang lalu—mencatat adanya lebih dari 4.000 organisasi semacam itu. Umumnya bersifat misterius dan sering kali menuntut ketaatan-buta dari pengikutnya. Betapapun, semua itu bersumber pada gejala yang itu juga, yakni kecenderungan manusia untuk kembali pada spiritualisme.
Sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, Time, beberapa tahun lalu melaporkan adanya kecenderungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan. Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat, mengatakan bahwa saat ini lebih banyak orang (AS) yang berdoa ketimbang “berolahraga, pergi ke bioskop, ataupun berhubungan seks”. Kecenderungan akan spiritualisme itu pun makin lama makin meningkat. Memang, di samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai arus baru di tengah masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan batin dan kedamaian jiwa. Mencari inspirasi dan kebijakan dari filsafat Timur dan informasi tentang persoalan innerself mmenjadi sesuatu yang trendy belakangan ini.
Di Amerika Serikat dan Eropa, karya-karya Jalaluddin Rumi, sufi Persia abad ke-13, yang dicetak atau berbentuk digital menjadi best-seller. Beberapa festival di Eropa menampilkan pembacaan puisi-puisi Rumi dan musik sufi Qawwali asal Anak Benua India. Pop-star Madonna, aktris Demi Moore, Goldie Hawn, bahkan penulis novel terkemuka dari Brazil Paulo Coelho turut serta mendeklamasikan dan mengutip syair-syair Rumi dalam berbagai kesempatan. Tak ketinggalan grup music Inggris Coldplay juga terilmahi oleh Rumi dalam menulis syair lagunya. Satu asumsi menyebutkan bahwa hasrat yang begitu besar terhadap Rumi merupakan wujud keinginan masyarakat Amerika untuk menemukan life-style alternatif dari dunia modern yang sudah jenuh.