“Mudahkan, jangan mempersulit, beri kabar gembira, jangan membuat manusia menjauh (dari kebenaran), dan saling membantulah, jangan berselisih.”
—HR Bukhari dan Muslim
***
Allah tidak menagih di luar kemampuanmu, di luar kapasitasmu. Maka, tidak penting apakah Anda berenang di lautan yang airnya bernajis. Nilainya tidak terletak bahwa Anda kena najis. Yang lebih penting adalah, apakah Anda terus berenang ke tengah lautan najis, atau Anda berenang ke pinggir mencoba menghindarinya. Mungkin sampai mati Anda tidak pernah bisa sampai ke pantai yang bebas najis. Tapi, Allah melihat usaha Anda menghindari najis. Menurut saya di situlah nilainya.
—Emha Ainun Nadjib halaman …
Buku ini merupakan kumpulan ceramah Emha Ainun Nadjib di berbagai majelis. Tema-tema ceramah yang dipilih terkait hakikat ajaran Islam yang luwes dan tidak menyulitkan—jauh dari kesan yang ditimbulkan oleh sikap dan perilaku sebagian umat Islam masa kini.
Judul lengkapnya ‘Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem’. Dikemas dalam nuansa ilustrasi yang terkesan nge-pop dan berwarna, buku ini dengan mudah memikat mata siapa pun yang menjumpainya di rak toko buku. Mudah dicerna, seru, dan penuh hikmah adalah kesan ketika saya melakukan pemindaian cepat pada halaman-halamannya. Langsung saja, buku ini saya bawa ke kasir, berijab-kabul, untuk lebih mengekalkan perjodohan kami berdua. Supaya tidak sekadar temu pandang, tetapi bereskalasi menjadi temu makna.
Dibanding dari buku-buku Cak Nun yang lain, buku ini jauh terasa lebih ringan dari segi bahasa penyampaian. Buku-buku seperti Arus Bawah, Indonesia Bagian dari Desa Saya, Jejak Tinju Pak Kyai, dan lain-lain, memiliki susunan kalimat dan pilihan kata yang lebih ‘berat’ bagi saya. Sementara gaya bahasa buku Ngegas & Ngerem lebih mirip seseorang yang tengah bercakap langsung dengan bahasa sehari-hari. Membaca buku ini serasa menonton ceramah-ceramah Cak Nun yang tersebar di YouTube, namun dalam bentuk tulisan. Apalagi, sebagian materi juga familiar, alias pernah saya dengar sebelumnya.
Bagi Jamaah Maiyah Youtube-iyah seperti saya, tetap saja isi buku ini terasa segar serta mengguncang-guncang isi dada serta kepala, layaknya buku-buku Cak Nun yang lain, tetapi jauh lebih renyah untuk dikonsumsi. Banyak nasihat yang hilang terhanyut arus waktu, saya temukan kembali ketika membaca buku ini. Nasihat-nasihat itu saya renungkan kembali dengan perspektif yang lebih baru, seiring bertambahnya pengalaman hidup. Pemaknaannya pun menjadi lebih membekas dalam hati.
Bagi yang tertarik mempelajari pemikiran Cak Nun, tetapi merasa berat saat mencerna buku-buku beliau yang lain, baca saja buku ini. Apalagi jika sedang galau tingkat Sun Go Kong tertindih Gunung Lima Jari. Sebab, selain ditulis dalam bahasa sederhana, topik-topik bahasannya juga amat dekat dengan permasalahan yang kita hadapi sehari-hari, sehingga kita bisa mendapatkan kuda-kuda untuk melangkah mantap. Belum lagi sokongan desain tampilan isinya yang apik dan menarik. Pilihan warna lembar buku begitu adem di mata. Di sana-sini, terdapat kejutan lembar halaman dengan warna berbeda dan info-info grafis untuk menggarisbawahi poin-poin penting dari isi buku.
Tak lupa, saya catat beberapa poin mengenai pendidikan, salah satu bahasan yang selalu saya cari-cari dalam buku-buku Cak Nun (halaman 22):
1. Tidak semua pembelajaran itu bersifat kognitif. Tidak semua pemahaman itu melalui kata. Sebenarnya, pemahaman paling mendalam didapatkan melalui pengalaman dan rasa.
2.Apa beda ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge)? Sebagai contoh, metode/metodologi itu science, tetapi teks-teks wacana itu knowledge. Ibarat truk, knowledge itu bak dan isinya. Sedangkan, science adalah “mesin” truk itu.
3.Kita bersekolah (Cak Nun menyebut ‘kuliah’) supaya mampu hidup. Kemampuan hidup terletak pada mesin kehidupan. Sementara letak mesin kehidupan ada pada otak dan ruhani kita. Supaya mesinnya lengkap dan canggih, kita membutuhkan bahan-bahan berupa pengetahuan.
4.Jangan cuma pintar di sekolah, tetapi harus juga pintar hidup bersama orang lain. Banyak orang pintar hidup, padahal tidak pintar di sekolah. Banyak orang pintar di sekolah, tapi tidak pintar hidup.
Pada halaman pengantar viii dicantumkan, Gus Candra Malik pernah mengatakan, “Cak Nun itu menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi.” Bagi saya, buku ini adalah cerminan kalimat tersebut.
(Eryani Widyastuti)
Sumber: https://jejakembunpagi.wordpress.com/2017/01/04/hidup-pintar-ngegas-ngerem-ala-cak-nun/
Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem oleh Emha Ainun Nadjib
Ini buku tentang apa? Agama? Sosial? Budaya? Atau apa? Bagi pembaca yang sudah tidak asing lagi dengan tulisan-tulisan oleh Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun sudah tidak aneh dengan sudut pandang beliau yang cukup nyeleneh dalam membicarakan agama. Maka dari itu, buku yang terbit pada tahun 2016 ini berisikan nasihat-nasihat kearifan Cak Nun terhadap kondisi agama, sosial, dan budaya yang masih sangat hangat.
Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem adalah salah satu bab dari 11 bab yang ada di buku ini. Di dalam buku ini Cak Nun mengajak pembaca untuk beragama tidak sekadar beragama, bukan sekadar menjadi Islam tho, tapi menjadi umat Islam yang rahmatan lil alamiin. Melalui bahasa membumi yang beliau gunakan, membahas kabar langit menjadi lebih mudah untuk dicerna. Salah satu anologi yang beliau gunakan adalah ketika membahas masalah tasawuf yang berkaitan dengan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Bagi pembaca awam seperti saya, bukan hal mudah untuk dapat membedakan hal-hal tersebut dan aplikasinya dalam kehidupan. Namun beliau menganalogikan lewat penjelasan sederhana.
"Ketika kamu makan, syariatnya adalah menu, tarekatnya mencari sehat, hakikatnya menjadi sehat, dan makrifatnya sehat."
Terkait masalah bid'ah pun tidak luput dari perhatian beliau. Beliau juga menuliskan berbagai hal mengenai isu yang sangat hangat seperti golongan yang mengkafirkan golongan lain, memanfaatkan setan/iblis untuk mempertahankan iman, mencari lingkungan yang baik, dan tak ketinggalan pula entang kondisi politik dan sosial republik ini.
Buku ini layak dibaca bagi siapa pun yang berpikiran terbuka. Jangan bawa prasangka apa pun, nikmatilah, pelajarilah, saringlah. Ambil nasihat-nasihat yang baik, jangan masukkan ke hati apabila kamu menemukan pula pandangan yang tidak sesuai denganmu.
Novia Anggraeni
(Diambil dari akun FB Sedekah-Buku Untuk Negeri)
Belajar Menjadi Manusia, Menjadi Muslim Indonesia
Dalam hidup, kita harus berani mengambil resiko atas idealisme dan cita-cita. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) menggambarkan dengan indah, melalui buku ini: "Hidup Harus Pintar Ngegas dan Ngerem". Menurut Cak Nun, problem dalam hidup terus ada, yang dibutuhkan adalah kecerdasan mengatasi masalah.
Cak Nun mengungkapkan, bagaimana peluang-peluang dalam hidup itu selalu ada. "Jangan cemas oleh guyuran problem-problem, karena peluang-peluang untuk solusi jauh lebih luas daripada problemnya," ungkap Cak Nun.
Cak Nun menjelaskan tentang kekeliruan memandang kesulitan. Selama ini, yang diajarkan tentang problematika hidup: "Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." Menurut Cak Nun, pedoman ini salah. Yang benar: bersamaan dengan kesulitan tersedia kemudahan. Akal untuk mencari kemudahan yang hadir bersamaan dengan kesulitan. Menurut Cak Nun, inilah prinsip utama dalam kepemimpinan: "pemimpin harus menguasai hal ini. Ada masalah apapun, pemimpin harus langsung mencari jawabannya," (hal. 114).
Dalam buku ini, Cak Nun mengajak pembaca untuk merenungi hakikat terpenting penciptaan manusia. Menurutnya, belajar menjadi manusia lebih penting dan didahulukan, sebelum meneguhkan diri belajar menjadi muslim. Dengan demikian, Islam yang dipahami akan menjadi Islam yang berdimensi kemanusiaan, memberi manfaat kepada sebanyak mungkin manusia dan makhluk Tuhan lainnya.
Cak Nun meminta agar belajar menjadi muslim, harus melewati ujian lulus sebagai manusia. "Proses semestinya adalah, sebelum kamu masuk Islam, belajar dulu jadi manusia. Kalau sudah lulus jadi manusia, baru akan indah dengan Islammu. Kalau kamu belajar Islam tapi belum jadi manusia, repot jadinya" (hal. 119).
Manusia sebagai Pemimpin
Cak Nun mengingatkan tentang tugas manusia di muka bumi, sebagai makhluk Allah. Bahwa, sering kali manusia tersesat dalam upaya untuk mengejar kesenangan, mengejar harta dan kekayaan. Namun, melupakan tugas utamanya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. "Di dunia ini jangan hanya memikirkan harta. Di dunia ini, kamu diperintahkan menjadi khilafah fil ardh. Artinya, kamu diperintah mengurus dunia tapi bukan untuk mencari dunia saja," tulis Cak Nun (hal. 146).
Cak Nun mengajak pembaca untuk menjernihkan logika dan nalar. Di antaranya, tentang wasilah dan ghayah. Cak Nun sangat detail untuk membedakan antara washilah (perantara/cara) dan ghayah (tujuan). Dari logika ini, Cak Nun membangun perspektifnya untuk memahami Indonesia.
"Indonesia itu ada di dalam hati saya, bukannya saya berada di Indonesia. Bukan saya bagian dari Indonesia, tapi Indonesia bagian dari diri saya," demikian ungkap Cak Nun (hal. 148). Dalam renungannya, Cak Nun menjelaskan betapa perbedaan-perbedaan dalam memahami Indonesia, akan menentukan sikap terhadap bangsa.
"Kalau saya bagian dari Indonesia, maka naluri saya adalah ingin minta bagian dari Indonesia. Karena Indonesia bagian dari saya, saya harus memberi sesuatu kepada Indonesia," demikian ungkap Cak Nun.
Tentang proses pendidikan, Cak Nun mengkritisi proses hilangnya pemberadaban dalam tradisi pembelajaran di negeri ini. "Yang hilang di Indonesia ini adalah takdib, yang ada di Indonesia ini hanya ta'lim. Ta'lim itu dari tidak tahu menjadi tahu. Metode untuk tahu, dari tidak tahu," demikian ungkapnya.
Menurut Cak Nun, ada istilah tafhim, ada ta'rif. Takdib bukan hanya membuat orang menjadi tahu, namun membangun peradaban. Dari kata 'adab, lalu ta'adub. Dengan demikian, ta'dib itu dapat dimaknai pemberadaban.
Dalam proses kepemimpinan, Cak Nun melihat pentingnya integritas pemimpin. "Sudah seharusnya pemimpin mengerti tentang banyak hal. Tidak hanya dunia, tpi juga akhirat. Tidak hanya dilangit, tapi juga mengerti bumi. Tidak hanya mengerti pertanian, tapi juga politik. Tidak hanya tahu ekonomi, tapi juga paham ekologi," (hal. 188).
Melalui buku ini, Cak Nun mengajak kita semua untuk belajar sebagai manusia, baru kemudian merangkak pada tahapan menjadi manusia beragama, menjadi muslim, atau pemeluk agama yang lain. Dengan menjadi manusia, kita akan memahami kemanusiaan, memanusiakan manusia. Inilah pelajaran penting dalam hidup ini. (*)
Sumber: https://www.timesindonesia.co.id/read/146520/3/20170420/063354/belajar-menjadi-manusia-menjadi-muslim-indonesia/
Harus Pintar Ngegas dan Ngerem
Saya sangat bersyukur kepada Allah Swt. karena memberikan rezeki dan kesehatan kepada Emha Ainun Nadjib, sehingga dengan ridha-Nya pula Mbah Nun dapat menuliskan buku terbarunya ini. Teruntuk penerbit Noura Books saya juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya karena mau untuk menerbitkan segala pemikiran Emha Ainun Nadjib sehingga pembaca dapat membacanya berulang-ulang agar semakin paham.
Sebagaimana dikabarkan dalam catatan pembuka, buku Mbah Nun ini menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi. Memang benar begitu adanya. Mbah Nun membuka intisari yang lengkap tentang bagaimana kita harus menyikapi apa-apa yang terjadi belakangan ini dengan cara pikir yang berbeda. Mbah Nun mengantarkan sebuah dialektika berpikir yang sederhana namun tetap tidak terlepas dari pangkuan Ibu Al-Quran.
Terlalu banyak quotes yang bisa diambil dari buku ini. Kalaupun sempat, akan saya rangkumkan quotes versi saya dalam tulisan lain. Yang terpenting, saya menemukan kembali sebuah konsistensi. Saya tidak perlu menemukan kembali relasi antara konteks kekinian dengan relevansi materi buku ini. Saya perlu sebuah sikap dan pernyataan tegas bahwa apa yang disampaikan oleh Mbah Nun lewat forum lingkar Maiyah dapat ditemukan dan ditelusuri kembali dalam buku ini.
Bagi pembaca yang sudah akrab dengan ceramah dan tulisan-tulisan Mbah Nun, tentu proses identifikasi keselarasan sikap dan ucapan itu akan menjadi sangat mudah. Lain halnya bagi pembaca yang baru berusaha memahami Emha. Akan berlangsung segenap pengalaman jiwa dan raga untuk melepaskan diri dari ikatan mainstream untuk kemudian menjernihkan hati dan pikiran untuk menerima rentetan pesan Mbah Nun.
Insya Allah, buku ini akan menjadi media belajar bagi siapa pun. Media pembelajaran bagi kita semua untuk selalu mawas diri, untuk selalu sadar bahwa ada kalanya hidup itu tidak selalu harus ngegas. Ada waktunya hidup mempersilakan kita untuk ngerem, untuk menahan. Supaya kita sampai tujuan dengan selamat. Selamat di dunia dan selamat di akhirat. Insya Allah.
Sumber: http://selendangwarna.blogspot.com/2017/09/harus-pintar-ngegas-dan-ngerem.html