Anak bukan barang yang kita pesan dari katalog dan disertai buku panduannya. Dia adalah titipan Tuhan dan sepatutnya diperlakukan dengan baik.
Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya hati dan perasaan karena anak juga manusia.
Sesungguhnya, anak tidak butuh orangtua yang sempurna, melainkan teman yang bersedia tumbuh dan belajar bersamanya. Jika orangtua bertambah ilmunya seiring mendampingi anak, akan lebih mudah baginya dalam mendidik anak.
Buku ini ditulis oleh founder @anakjugamanusia yang telah berhasil menggugah ratusan ribu orangtua untuk senantiasa menyediakan diri dan hati untuk selalu belajar menjadi yang terbaik bagi anak. Dilengkapi ilustrasi menarik, dipaparkan lebih dalam, dan diperkaya dengan kutipan renungan, buku ini adalah kado terindah bagi Anda, para orangtua, calon orangtua, dan pemerhati anak.
Endorsment:
“Anak dilahirkan sungguh bersinar. Namun di mata kita, sinarnya redup tertimbun kesibukan dan pemikiran-pemikiran kita yang rumit. Buku ini sungguh sangat membantu kita, para orangtua, menggeser sudut pandang dalam melihat anak-anak sehingga kembali terlihat sinar cemerlang mereka. Bersinarlah anak-anak Indonesia!”
—Mona Ratuliu, @mratuliu, Artis, Penulis buku ParenThink & Digital ParenThink, Founder Komunitas Parenthink, www.monaratuliu.com
“Ketika orangtua sadar bahwa anaknya adalah bukan dirinya dan tidak harus menyerupainya, orangtua harus menjadi guru dan fasilitator pertama anak-anaknya. Kenyataan yang terjadi, problem orangtua dengan anak lebih banyak disebabkan orangtua yang belum tahu cara masuk dalam dunia anak. Orangtua tidak boleh berhenti belajar. Buku ini sangat membantu orangtua bagaimana menjadi orangtuanya manusia.”
—Munif Chatib, @MunifChatib, Pendidik dan Penulis Orangtuanya Manusia
“Terima kasihku buat Angga, yang sanggup sediakan energi buat bantu anak-anak sehingga mereka berkesempatan buat lebih dipahami oleh orangtuanya. Semoga kesanggupan orangtua sediakan energi menunaikan nikmat- Nya lewat buku ini akan membantu orangtua untuk membantu anak-anaknya belajar menjadi sosok dewasa.”
Ada Angga yang menjaga,
anak manusia tak berdaya,
agar dapat suarakan rasa,
ajak orangtua jadi dewasa
#geslaif-edisi anakjugamanusia
—Aprilianto, @latihati, Psikolog, Penulis Saatnya Melatih Anakku Berpikir
“Bukunya bagus banget … salut dan standing applause untuk Mas Angga! Buku ini seperti cambuk bagiku. Terima kasih sudah bersedia menjadi saluran berkah-Nya.”
—Veby Mayfriandy, @powhunk, Co-Founder of @AyahASI_Bdg
“Sebagai orang dewasa, kita sering memperlakukan anak seakan mereka adalah miniatur diri kita. Buku ini membuka mata bahwa anak bukanlah manusia kecil yang tak punya keinginan, harapan, rasa sedih, dan berbagai hal lain. Anak juga bukan patung yang bisa kita pahat sesuai keinginan kita. Anak adalah manusia seutuhnya. Dan hal ini harus disadari dan dihormati oleh orang dewasa. Sebagai seorang ibu, saya tertampar oleh buku ini. Betapa sayalah sebagai manusia dewasa, yang harus banyak belajar dari kemurnian anak saya.”
—Esti Handayani, @ehandayani, Moderator Milis Parenthink dan @parenthink
“Buku yang sangat penting untuk dibaca. Menyentuh dan selalu mengingatkan kita dengan lembut bahwa anak adalah manusia, pribadi yang harus dihargai, dan dihormati oleh siapa pun terlebih oleh orangtuanya sendiri. Dengan membaca buku ini, kita bisa sama-sama belajar dan terus memperbaiki diri untuk selalu menjadi orangtua yang lebih baik karena dengan dukungan orangtua, anak akan berkembang dan maju secara maksimal.”
—Ninit Yunita, @ninityunita, CCO theurbanmama.com
Resensi Buku
Jika kebanyakan buku parenting yang saya baca melihat dari sisi orangtua. Sedang, buku yang dicetak pertama kali tahun 2013 ini banyak melihat dari sudut pandang anak-anaknya. Kita, orangtua—pembaca—, diajak untuk berada dalam perasaan anak-anak. Ya, anak-anak yang kerap dianggap berbuat ulah, nakal, bodoh dan sebagainya.
Lewat buku ini kita diajak untuk menyadari kalau anak juga manusia, yang punya hati dan perasaan. Bisa bahagia dan terluka.
“Anak bukan barang yang dipesan dari katalog yang disertai buku panduan. Dia adalah titipan Tuhan yang sepatutnya diperlakukan dengan baik. Anak juga bukan robot yang tinggal plug and play. Dia punya hati dan perasaan karena anak juga manusia.
Sesungguhnya, anak tidak membutuhkan orangtua yang sempurna, melainkan teman yang bersedia untuk tumbuh dan belajar bersamanya. Jika orangtua bertambah ilmunya seiring mendampingi anak, akan jauh lebih mudah baginya untuk mendidik anak.”
Dua penggal paragraf yang terletak di bagian cover belakang buku memang cukup mengena dan mencakup isi keseluruhan buku. Buku ini juga menyadarkan (saya terutama) kenapa kita harus mengkritik dan memperhatikan kekurangan secara utuh. Padahal di balik kekurangan anak, ada banyak kelebihan yang patut dibanggakan. Selain itu, daripada berlelah ria dan pusing menghadapi tingkah laku anak, kenapa kita para orangtua tidak berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita mengerti apa yang anak mau, sudahkah kita memberikan anak kebebasan untuk bersuara dan memilih, sudahkah kita tidak memaksakan kehendak kita—dengan dalih ingin yang terbaik untuk anak—, masih banyak sudahkah lainnya. Dan ketika pertanyaan itu dijawab satu per satu, bisa dilihat kalau ternyata bukan anaklah yang bermasalah. Tapi orangtuanya lah yang ingin anaknya seperti orangtua yang sudah dewasa. Bagaimana mungkin? Kita orang dewasa sudah pernah menjadi anak kecil, sehingga kita lebih paham mana yang baik dan tidak. Sedang anak kecil belum pernah jadi dewasa. Mereka masih belajar untuk menentukan pilihan. Sebaiknya sebagai orangtua kita mendampingi. Tentu kita ingin memutuskan yang terbaik untuk anak, sehingga mereka tidak terluka dan sakit hatinya. Namun, seandainya umur kita tidak panjang dan anak tidak belajar untuk memutuskan sendiri, bagaimana nanti? Bisakah mereka mengarungi kehidupan tanpa kita?
Sumber: https://riskafikriana.wordpress.com/2015/07/11/anak-juga-manusia/
Buku “Anak Juga Manusia” yang ditulis oleh Angga Setyawan ini merupakan salah satu buku yang menyarankan kita—orang tua—untuk lebih mengedepankan hati saat berhadapan dengan anak-anak.
Buku setebal 198 halaman yang diterbitkan oleh Noura Books ini memang unik. Dengan bahasa penulisan Angga yang lugas, bertutur, dan pada setiap katanya memiliki kekuatan untuk mengarahkan setiap hal pada pembaca untuk bertanya pada diri mereka sendiri. Tak jarang di akhir bab atau bahkan paragraf pembaca akan berhenti sejenak dan bertanya “seperti itukah aku?” Atau bahkan sebuah penyesalan “maafkan aku, anakku”. Namun demikian, di balik pertanyaan dan penyesalan itu Angga mampu mengajak pembacanya untuk menelusuri lebih dalam isi buku demi menjadi pasangan orangtua yang lebih baik.
Anak Juga Manusia, membawa kita berkaca kepada diri dan secara simultan mengingatkan kita bahwa mereka—anak-anak—adalah manusia yang tak berbeda dari kita. mereka hanya lebih kecil, lebih muda, dan lebih polos. VISI buku ini adalah mengajak kita menjadi orangtua terbaik, dengan cara menyediakan hati untuk mereka.
Saya rekomendasikan Anda untuk membaca buku ini, sebuah refleksi bagi kita untuk bisa menilai diri “pantaskah kita menjadi orangtua terbaik bagi mereka?”
Sumber: https://roisz.wordpress.com/tag/angga-setyawan/
Nukilan Buku
Belum Punya Pengalaman vs Sudah Punya Pengalaman
Seperti yang sudah saya tulis di Prakata bahwa banyak sekali orangtua yang terjebak dalam posisi ia belum punya pengalaman mendidik anak atau ia merasa sudah punya, tetapi yang ia punya adalah pengalaman orangtuanya dulu saat mendidiknya. Jika orangtuanya mendidik dengan baik, tidak menjadi soal. Bagaimana jika cara mendidiknya penuh kekerasan, baik fisik maupun verbal, dengan ancaman, amarah, bentakan-bentakan, dan label-label negatif, seperti bodoh, malas, penakut, pemalu, atau nakal. Apakah hal tersebut juga akan dijadikan referensi? Tentu tidak!
Dulu saja cara-cara tersebut tidak berdampak baik, apalagi sekarang, ketika hidup anak dipenuhi berbagai informasi dari luar dengan bentuk pergaulan yang sudah sangat berbeda. Jika sekarang cara-cara penuh kekerasan yang kita gunakan untuk mendidik anak, tanggung sendiri akibatnya. Rumus sederhananya adalah melihat dari diri kita sendiri. Kita lebih suka dekat dengan orang-orang yang menyenangkan, ramah, dan bersikap positif dibandingkan dekat dengan orang-orang yang membuat kita tegang karena mudah marah, main ancam, dan bersikap negatif, apalagi anak-anak.
Saat kita sulit dekat dengan anak, lebih sulit lagi bagi kita untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik kepada mereka. Bagaimana anak mau mendengar nasihat jika mereka sudah alergi dekat-dekat kita. Jika itu yang terjadi, kita terlewat untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik sebagai fondasi hidupnya sehingga anak mudah sekali dipengaruhi oleh lingkungan. Yang repot, jika ia masuk ke lingkungan yang pengaruhnya buruk. Siap-siap saja kita mengerahkan segenap jiwa raga untuk merebutnya dari lingkungan dan itu bukan pekerjaan mudah.
“Langsung saja ke pokok persoalan, bagaimana supaya tidak terjebak dalam situasi belum punya pengalaman vs sudah punya pengalaman?”
Jika mau jawaban cepatnya, kita perlu melakukan beberapa hal ini; sering browsing tentang cara mendidik anak (itu belum cukup), perlu juga membeli dan membaca buku parenting (itu masih jauh dari cukup), perlu ikut seminar-seminar parenting (itu pun belum cukup), perlu praktik (itu juga belum cukup), perlu evaluasi diri jika melakukan kesalahan saat praktik, sudahkah? Jika belum, yuk sama-sama belajar. Tidak ada hasil instan dalam mendidik anak, semua perlu proses.
Mengapa untuk belajar soal anak saja kita perlu melakukan hal-hal tersebut? Sederhananya begini, kita belajar menyetir mobil, belajar memotong rambut, belajar membuat kue, belajar menjahit, atau belajar hal lainnya saja perlu pendalaman, bahkan perlu bertemu pelatihnya dan praktik. Apalagi belajar soal anak, yang kita tahu anak adalah super canggih yang saat lahir tidak disertai buku manual. Beli handphone saja ada buku manualnya. Tentu jika kita punya harapan besar terhadap anak, kita sendiri harus punya upaya yang besar belajar soal anak.
“Sebentar, tapi Pak, semua itu bukankah butuh biaya?”
Oh, tentu saja. Yuk, coba dihitung berapa kali kita gonta-ganti handphone, keluar gadget paling baru langsung kita serbu, keluar baju model baru langsung kita beli, tetapi coba cek, berapa banyak buku soal mendidik anak yang parkir di rumah kita? Berapa banyak seminar parenting yang sudah kita ikuti? Bahkan, ketika menikah, kita menghabiskan biaya besar, tetapi hanya satu buku soal anak yang kita punya, yaitu tentang nama anak dan artinya.
Ayolah, jangan hanya bisa gonta-ganti handphone dan gonta-ganti barang lainnya. Tidak apa gonta-ganti, tetapi juga perlu kita anggarkan untuk belajar soal anak. Lebih baik handphone kita “bau tanah”, ketimbang kitanya yang “bau tanah” karena tidak bertambah ilmu dalam mendidik anak. Kita perlu belajar secara sistematis soal anak agar tahu situasi yang sedang dihadapi.
Mempersiapkan diri sebagai orangtua juga adalah tentang bagaimana kita berproses untuk mendidik diri sendiri. Banyak hal yang sebenarnya kita tidak tahu, mulai bagaimana menjaga kandungan agar tetap sehat, prosesi kelahiran, bagaimana pentingnya ASI, tentang kesehatan anak hingga bagaimana mengasuh dan mendidik anak. Sebenarnya, semua informasi terkait itu sudah banyak ditulis, baik di buku, internet, bahkan juga banyak sekali pelatihan yang dapat kita ikuti. Ada baiknya kita membaca banyak hal mengenai itu dan mengikuti berbagai seminar atau pelatihan. Ibarat membeli mobil saja, kita perlu belajar cara mengemudikan dan merawatnya, apalagi ini menyangkut anak-anak. Tanpa tambahan ilmu, akan sulit bagi kita untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik.
Tanpa ilmu, kita akan memakai cara asal-asalan.[]