Telah diterbitkan di 24 negara
A #1 New York Times bestseller
A #7 Sunday Times (UK) bestseller
A Barnes & Noble Best New Teen Book May 2018
An Epic Reads Most Exciting Book Spring 2018
Hati untuk dilindungi. Utang untuk dibayar. Permainan untuk dimenangkan,
Demi menemukan sang ibu, Tella membuat perjanjian berbahaya dengan seorang kriminal misterius dan, sebagai gantinya, harus menyerahkan nama asli Legend, sang Master Caraval.
Tella pun berusaha keras memenangi Caraval kali ini—yang menjanjikan pertemuan dengan Legend sebagai hadiah—meski itu berarti dia harus kembali menghadapi kelemahannya yang paling memalukan: rayuan Dante, lelaki yang pasti akan menghalanginya mencapai tujuan.
Banyak yang harus Tella pertaruhkan. Kepercayaan kakaknya, cinta yang untuk pertama kali singgah di hatinya, bahkan nyawa, jika dia memang harus berkorban.
Tella nyaris melupakan peringatan yang diketahuinya sejak awal: Meski terasa seperti fantasi, lima malam Caraval sangatlah nyata.
Ya, Caraval kali ini, bukan lagi sekadar permainan.
NUKILAN
TUJUH TAHUN LALU
Beberapa kamar di kediaman mereka memiliki monster yang bersembunyi di bawah ranjang, tetapi Tella percayakamar ibunya menyembunyikan ilmu tenung. Selarik cahaya zamrud menaburi udara seolah ada peri yang datang bermain setiap kali ibunya pergi. Kamar itu beraroma bunga-bunga yang dipetik dari kebun-kebun rahasia, dan meskipun tidak ada angin yang berembus, tirai tipis yang mengelilingi tempat tidur megah berkanopi itu beriak-riak. Di langit-langit, lampu gantung berwarna kulit limau menyapa Tella dengan denting kaca yang beradu, membuat gadis itu berkhayal kamar ibunya adalah portal ajaib menuju dunia lain.
Kaki-kaki mungil Tella tidak bersuara saat dirinya berjingkat melintasi karpet gading tebal menuju lemari ibunya. Dia menengok ke belakang sebelum merenggut kotak perhiasan ibunya cepat-cepat. Kotak yang terbuat dari cangkang kerang mengilap, dilapisi kerawang emas berbentuk jaring laba-laba itu terasa licin dan berat di tangan Tella.Gadis itu senang berpura-pura kalau benda itu juga memiliki kekuatan sihir karena meskipun jemarinya kotor, sidik jarinya tidak pernah tertinggal.
Ibu Tella tidak pernah keberatan jika putri-putrinya bermain-main dengan gaunnya atau mencoba selopnya yang mewah, tetapi dia meminta mereka agar tidak menyentuh kotak tersebut. Larangan itu malah membuat Tella semakin penasaran.
Scarlett bisa menghabiskan sesorean berkhayal tentang pertunjukan keliling seperti Caraval, tetapi Tella ingin mengalami pertualangan sungguhan.
Hari ini, Tella sedang berpura-pura ada seorang ratu bengis menyandera seorang pangeran peri, dan untuk menyelamatkannya, dia harus mencuri cincin opal ibunya, perhiasan favorit Tella. Batu itu sewarna susu, mentah dan kasar, berbentuk seperti percik bintang dengan ujung-ujung tajam yang terkadang menusuk jemarinya. Namun, ketika Tella mengarahkan batu opal itu ke sumber cahaya, batu tersebut berkilauan, membuat ruangan dipenuhi cahaya keemasan bercampur merah ceri dan lavendel yang menyembunyikan kutukan sihir dan debu-debu peri pemberontak.
Sayangnya, lingkar kuningannya terlalu besar untuk jari Tella. Dia selalu menyelipkannya di jari setiap kali membuka kotak tersebut, berharap dirinya sudah tumbuh semakin besar. Namun, hari ini, ketika cincin itu melingkari jarinya, dia memperhatikan hal lain.
Lampu gantung di langit-langit juga ikut bergeming seolah sama terperangahnya.
Tella mengenali semua benda dalam kotak perhiasan ibunya: pita beledu dengan lis emas yang dilipat rapi, anting-anting merah darah, botol perak pudar yang kata ibunya berisi air mata malaikat, liontin gading yang tidak bisa dibuka, gelang legam yang lebih cocok berada di lengan seorang penyihir alih-alih pergelangan tangan ibunya yang elegan.
Satu-satunya benda yang tidak pernah Tella sentuh adalah pundi-pundi bedak kelabu kotor yang baunya seperti daun berjamur dan permakaman. Benda ini mengusir goblin, goda ibunya suatu ketika. Tella memilih jauh-jauh dari benda itu.
Namun, hari ini kantong kecil jelek itu bergetar, menarik perhatian Tella. Sesaat, benda itu tampak seperti gumpalan lapuk berbau busuk. Sekedip kemudian, di tempatnya semula terdapat setumpuk kartu mengilap yang diikat pita satin halus. Kemudian, benda itu kembali menjadi kantong jelek sebelum berubah lagi menjadi setumpuk kartu.
Tella meninggalkan permainan sandiwaranya, meraih tali sutra itu dan mengambil tumpukan kartu dari kotaknya. Seketika, benda itu berhenti bergerak-gerak.
Kartu-kartu itu sangat cantik. Berwarna nuansa malam hingga hampir-hampir hitam, dengan bintik-bintik emas yang berkilauan di bawah pancaran cahaya, dengan untaian cetak timbul merah-violet yang membuat Tella memikirkan bunga-bunga lembap, darah penyihir, dan sihir.
Kartu-kartu ini berbeda dengan kartu hitam-putih tipis yang sering dipakai para penjaga ayahnya untuk mengajari Tella bermain taruhan. Tella duduk di karpet. Jemarinya yang cekatan menggelenyar saat dirinya membuka ikatan pita dan membalik kartu pertama.
Perempuan muda dalam gambar mengingatkan Tella pada putri dalam tawanan. Gaun putihnya yang indah koyak moyak. Matanya yang berbentuk seperti tetesan air mata secantik batu kaca laut yang sudah dipoles, tetapi tampak sedih. Mungkin karena kepalanya dikurung dalam sangkar mutiara bulat.
Kata-kata Akhir Hayat sang Dara dituliskan di bagian bawah kartu.
Tella merinding. Dia tidak menyukai nama itu dan dia tidak suka sangkar meskipun terbuat dari mutiara. Tiba-tiba, dia memiliki firasat kalau ibunya tidak ingin dirinya melihat kartu-kartu ini, tetapi itu tidak mencegahnya membalik kartu berikutnya.
Nama yang tertera di bagian bawahnya adalah Pangeran Hati.
Kartu tersebut memperlihatkan seorang lelaki dengan wajah penuh segi, bibirnya setajam dua bilah pisau. Satu tangan yang berada di dekat dagunya yang runcing menggenggam gagang belati. Air mata merah mengalir dari matanya, serasi dengan warna darah yang menodai sudut bibirnya yang tipis.
Tella berjengit saat gambar sang pangeran bergerak, kemudian menghilang, dengan cara yang sama seperti pundi-pundi dekil tadi.
Seharusnya, Tella berhenti. Kartu-kartu ini bukanlah mainan. Namun, sebagian dirinya merasa kalau dia sudah ditakdirkan untuk menemukannya. Kartu-kartu ini lebih nyata daripada si ratu bengis atau pangeran peri dalam imajinasinya, dan Tella berani berpikir kalau mereka mungkin akan mengarahkannya pada petualangan sungguhan.
Kartu berikutnya terasa hangat di jari saat Tella membaliknya.
Sang Aracle.
Dia tidak tahu apa arti nama aneh tersebut dan tidak seperti kartu-kartu sebelumnya, yang ini tidak tampak jahat. Bagian sudutnya dihiasi sulur-sulur emas cair sedangkan bagian tengahnya berwarna perak seperti cermin—tidak, itu memang cermin. Bagian tengah yang berkilau memantulkan rambut ikal Tella yang pirang madu serta mata bulatnya yang berwarna merah kecokelatan. Namun, ketika Tella menatap pantulan itu lebih dekat, gambar itu tidak sama dengan dirinya. Dalam kartu, bibir merah muda Tella gemetar dan air mata mengaliri pipinya.
Tella tidak pernah menangis, bahkan saat ayahnya menggunakan kata-kata kasar, atau Felipe mengabaikannya karena membela kakak Tella.
“Sayangku, aku penasaran apakah aku akan menemukanmu di sini.” Suara sopran ibunya yang lembut mengisi ruangan saat dia masuk. “Petualangan apa yang kaulakukan hari ini?”
Saat ibunya membungkuk ke karpet tempat Tella duduk, rambutnya jatuh membingkai wajah arifnya seperti sungai yang mengalir anggun. Ikalnya berwarna cokelat gelap seperti rambut Scarlett, tetapi Tella mewarisi kulit zaitun ibunya, yang berkilauan seolah dikecup gemintang. Meskipun kemudian Tella melihat wajah ibunya sepucat rembulan saat matanya terpancang pada gambar Akhir Hayat sang Dara dan Pangeran Hati.
“Di mana kau menemukan ini?” Suara ibunya masih terdengar manis, tetapi tangannya cepat-cepat merenggut kartu-kartu itu, memberi kesan kalau Tella sudah melakukan kesalahan besar. Meskipun Tella sering kali melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukannya, biasanya ibunya tidak keberatan. Dengan lembut, dia akan memperbaiki kesalahan putrinya atau sesekali memberitahunya bagaimana cara kabur dari tindak kejahatan kecilnya. Ayahnyalah yang mudah marah. Ibunya adalah udara sejuk yang meniupkan percik api sebelum keduanya bisa berkobar. Namun, kali ini ibunya tampak ingin menyalakan api dan menggunakan kartu-kartu itu sebagai kayu bakar.
“Aku menemukannya di kotak perhiasan Ibu,” kata Tella. “Maafkan aku, aku tidak tahu kalau kartu-kartu itu jahat.”
“Tidak apa-apa.” Tangan ibunya menyapu ikal Tella. “Ibu tidak bermaksud menakutimu, tapi bahkan Ibu pun tidak suka menyentuh kartu-kartu itu.”
“Kalau begitu, kenapa Ibu memilikinya?”
Ibunya menyembunyikan kartu-kartu itu ke dalam rok gaunnya sebelum menaruh kotaknya pada sebuah rak tinggi di sebelah tempat tidur, jauh dari jangkauan Tella.
Tella takut pembicaraan ini berakhir—seperti yang biasanya terjadi dengan ayahnya. Namun, ibunya tidak pernah mengabaikan pertanyaan dari putri-putrinya. Begitu kotak tersebut tidak dapat diraih, ibunya duduk di karpet di sebelah Tella.
“Kuharap kau tidak pernah menemukan kartu-kartu itu,” bisiknya, “tapi Ibu akan memberitahumu sesuatu tentang mereka kalau kau bersumpah tidak akan pernah menyentuh kartu-kartu itu, atau tumpukan kartu seperti itu lagi.”
“Bukannya Ibu menyuruhku dan Scarlett agar tidak menyumpah?”
“Ini berbeda.” Senyuman di sudut bibirnya kembali, seolah sedang mengajak Tella terlibat dalam rahasia yang sangat istimewa. Selalu seperti ini: ketika ibunya memfokuskan perhatian hanya kepada Tella, gadis itu merasa seakan-akan dirinya adalah bintang, dan dunia berputar mengelilinginya. “Apa yang selalu kukatakan kepadamu soal masa depan?”
“Setiap orang memiliki kekuatan untuk menuliskannya sendiri,” kata Tella.
“Betul,” kata ibunya. “Masa depanmu bisa menjadi seperti apa pun yang kau inginkan. Kita memiliki kekuatan untuk memilih takdir kita. Tapi, Manisku, jika kau bermain-main dengan kartu-kartu ini, kau memberi kesempatan bagi Takdir di dalamnya untuk menggeser jalanmu. Orang-orang menggunakan Kartu Nasib, sama dengan yang baru kausentuh itu, untuk meramalkan masa depan. Begitu diramalkan, masa depan tersebut akan menjadi makhluk hidup yang akan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan diri. Karena itulah, Ibu ingin kau tidak menyentuh kartu-kartu itu lagi. Kau mengerti?”
Tella mengangguk meskipun dia tidak sepenuhnya paham; dia masih dalam usia rawan ketika masa depan terasa masih sangat jauh untuk disebut nyata. Selain itu, Tella juga menyadari ibunya tidak pernah mengatakan dari mana datangnya kartu-kartu itu. Perkataan ibunya membuat jari-jari Tella mencengkeram sehelai kartu yang masih berada di tangannya lebih erat.
Ketika terburu-buru merenggut kartu-kartu itu, ibu Tella tidak menyadari ada kartu ketiga yang telah dibalik Tella. Kartu yang masih disimpannya. Aracle. Tella menyembunyikannya di bawah kakinya yang bersila saat berkata, “Aku bersumpah tidak akan menyentuh kartu seperti itu lagi.”[]