Ketersediaan : Habis

CINTA DALAM IKHLAS (REPUBLISH)

Deskripsi Produk

-Aurora Cinta Purnama …. Aku sudah berusaha mengikhlaskanmu. Namun, pada akhirnya, memang hanya kamu sosok yang kuyakini akan menjadi jodohku nanti. Ya, aku masih berharap kamulah yang menjadi pasanganku, meski sudah bertahun-tahun lamanya kita tak bertemu. Keyakinanku kepadamu tak pernah pudar, fatwa hatiku masih tetap sama. Aku ingin memperjuangkanmu, Ara,…

Baca Selengkapnya...

Rp 89.000

Rp 75.650

-Aurora Cinta Purnama ….
Aku sudah berusaha mengikhlaskanmu. Namun, pada akhirnya, memang hanya kamu sosok yang kuyakini akan menjadi jodohku nanti. Ya, aku masih berharap kamulah yang menjadi pasanganku, meski sudah bertahun-tahun lamanya kita tak bertemu. Keyakinanku kepadamu tak pernah pudar, fatwa hatiku masih tetap sama.
Aku ingin memperjuangkanmu, Ara, supaya kita dapat bersatu. Oleh karena itulah, wajar jika aku berharap kepada Allah agar kita bisa dipertemukan di saat yang tepat. Tapi, apakah kamu menyimpan keyakinan dan keinginan yang sama denganku?
Ara ... apa pun yang terjadi nanti, aku akan ikhlas dan tetap mencintaimu.

Tentang Abay Adhitya

Resensi

Ada sebuah memori yang sulit dilupakan oleh setiap manusia.Meski kita setengah mati berusaha menghilangkannya dalam ingatan, tetap tak bisa kita lupakan. Malah semakin besar energi kita untuk melupakan, akan semakin besar pula ingatan itu muncul bak film drama dengan detail yang tergambar di depan mata. Memori itu menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita hidup kita, mewarnai dan menghantui hidup kita. Bahkan, sesekali, memori itu mampu masuk ke mimpi-mimpi kita, membuat kita terbangun dari tidur dengan mata yang berair. Memori itu bernama Kehilangan. Kehilangan membuat hati serasa tertusuk. Membuat dada terasa sesak mengimpit. Menyisakan perih yang berlarut-larut. Siapa yang pernah mengalami kehilangan? Aku pernah. Tak sekali, bahkan berkali-kali. Aku yakin semua manusia pernah dan akan bertemu dengan cerita tentang kehilangan. Kehilangan bahkan seperti selalu menghinggapi keluargaku. Menjadi cerita kelam dalam kehidupan yang kujalani. Meski pada akhirnya, dari kehilangan pula aku belajar bagaimana caranya memaknai hidup. Sekarang, izinkan aku menceritakan sedikit kepadamu .... Orangtuaku memberiku nama Bintang Atharisena Firdaus. Sebuah nama indah penuh harapan kebaikan. Teman-temanku memanggilku Athar. Pada suatu malam, aku terbaring di dalam kamar. Usiaku baru menginjak 5 tahun. Aku letakkan kakiku ke atas menyentuh dinding kamar. Mataku menatap langit-langit, termenung sendirian. Semua orang sedang berkumpul di ruang tengah. Suara mengaji terdengar begitu jelas. Dari dalam kamar kudengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Aku beranjak, dari balik jendela aku melihat dengan jelas sebuah mobil putih. Ada beberapa orang yang langsung menghampiri mobil tersebut. Mataku tajam menatap ke luar jendela. Tampak seorang perempuan yang mendadak pingsan. Orang-orang langsung memapahnya masuk ke rumah. Dia adalah bibiku. Bibi sangat shock karena kakak satu-satunya yang sangat disayanginya telah meninggal. Malam semakin larut. Dan, aku masih terdiam di dalam kamar. Tak beranjak, mataku tak mengeluarkan tangisan sedikit pun. Aku masih belum mengerti. Malam itu aku juga tak melihat Mama, aku tak tahu Mama ada di mana, Mama tak menghampiriku. Mungkin beliau sedang menangis atau mungkin sedang menidurkan Tiara, adikku yang baru berusia 1 tahun. Aku beranjak menuju pintu, melihat orang-orang lalu-lalang. Tak ada seorang pun yang memperhatikanku. Keesokannya, aku melihat jenazah Bapak sudah berada dalam keranda. Para tetangga dan saudara telah berkumpul di halaman rumah. Mereka bersiap membawa Bapak ke masjid untuk dishalati. Ada banyak rombongan yang ikut menshalati Bapak. Setelah selesai dishalati, kembali rombongan bergerak pergi membawa jenazah Bapak. Aku ikut bersama mereka berjalan menuju sebuah tempat. Ada beberapa tetangga mendekatiku dan menemani langkah kecilku. Beberapa di antara mereka terlihat baik kepadaku. Mereka aku kenali sebagai teman Bapak. Dan, di antara mereka ada yang memegang tanganku, memegang kepalaku, menuntunku dan berkata, “Kasihan sekali, anak sekecil ini sudah menjadi anak yatim ....” Kakiku terus melangkah mengikuti orang-orang yang berjalan pelan, menerobos jalan kecil yang dipenuhi pepohonan. Hingga akhirnya orang-orang berhenti pada sebuah tempat. Di depannya ada tanah seukuran 2 x 1 meter yang sudah digali. Dengan perlahan dan hati-hati jenazah Bapak dikeluarkan dari keranda. Semuanya aku lihat dengan jelas. Saat azan dan doa berkumandang, tubuh Bapak menghilang, ditimbun tanah, terkubur di peristirahatannya yang terakhir. Sekelilingku penuh dengan suara tangisan. Dan, aku hanya membisu terdiam tanpa suara. Ada bisikan kecil pelan terucap dalam hatiku .... Bapak telah pergi .... Mulai saat itu, akhirnya aku tahu satu cerita kehidupan yang pasti dialami oleh semua manusia. Cerita yang mampu memisahkan kita dengan orang yang sangat dekat dengan kita. Seseorang yang kita sayangi dan menyayangi kita, bisa kapan saja pergi meninggalkan kita. Tak ada lagi senyumannya, juga pelukannya. Sebuah cerita yang mengakhiri cerita. Cerita itu bernama kematian. Semua tak lagi sama setelah Bapak tiada. Mama harus berjuang membesarkan kami seorang diri, berperan sebagai ibu dan bapak sekaligus. Menjadi seorang single parent dengan empat orang anak tentu tak pernah mudah. Aku melihat begitu besar perjuangan Mama untuk anak-anaknya. Aku, dua orang kakakku yang masih sekolah, dan adikku yang masih kecil tentu sangat membutuhkan kasih sayang seorang bapak. Kami harus berjuang bersama membangun keluarga ini. Akan tetapi, hidup memang harus terus berlanjut, dengan atau tanpa Bapak. Setahun setelah Bapak tiada aku mulai masuk ke sekolah dasar. Hari pertama awalnya begitu bahagia karena aku bisa mengenakan sebuah seragam merah putih. Dahulu aku senang sekali melihat tetanggaku, teman mainku yang sudah masuk sekolah. Pergi tiap pagi dengan menggendong tas di belakang, dan pulang pada siang hari dengan wajah riang. Ya, ini adalah hari pertama sekolah. Mama menyiapkan semuanya pada pagi hari. Aku berangkat sendirian ke sekolah. Awalnya semua terasa baik-baik saja. Sampai aku tiba di depan gerbang sekolah, ada kesedihan yang mulai terasa. Saat melihat sekeliling, ternyata aku adalah satu-satunya siswa baru yang tiba di sekolah tanpa didampingi oleh orang tua. Berbeda dengan anak-anak lain yang diantarkan oleh orang tuanya dengan gembira. Aku tak bisa merasakan hal yang mereka alami. Aku mengerti Mama memang terlampau sibuk mengurusi banyak hal, sejak subuh beliau harus pergi ke pasar untuk berdagang sehingga tak bisa mengantarku ke sekolah. Dan, pada masa depan aku harus mengerti dengan keadaan-keadaan seperti ini, bahwa aku memang tak sama dengan anak lain yang memiliki seorang bapak. Hidupku berlalu dengan cepat hingga tahun berganti tahun. Akhirnya, kakak pertamaku, Rani Yulianti, lulus SMA. Teh Rani, begitu aku memanggilnya, adalah seseorang yang memiliki banyak impian. Teteh ingin melanjutkan kuliah, ingin sekolah yang tinggi, juga ingin menjadi penopang keluarga. Suatu hari ia berkata di hadapan Mama dan saudara-saudaranya, “Izinkan Rani melanjutkan kuliah, Rani bisa mencari uang sendiri untuk kuliah. Dengan sekolah tinggi kita bisa memiliki cita-cita yang lebih tinggi,” kata Teteh penuh semangat. Keluarga kami kembali melihat setitik cahaya. Dan, kami melihat senyuman di wajah Mama. Senyuman yang menular kepada kami semua. Aku sudah naik ke kelas III saat itu. Tiba-tiba saja ada berita menghebohkan di keluarga kami. Teteh akan dilamar oleh salah seorang teman kuliahnya. Dengan berbagai pertimbangan yang aku tak mengerti, akhirnya Teteh memutuskan menerima pinangan lelaki tersebut. Mama juga setuju Teteh menikah. Kata Teteh, “Kalau Teteh menikah sekarang, Teteh bisa mempercepat mimpi untuk membantu keluarga, bisa bantu sekolahkan Athar.” Usia Teteh masih tergolong sangat muda, baru 20 tahun. Namun, dia sudah memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Mungkin, keadaan yang memaksanya untuk berpikir lebih dewasa dibandingkan teman-teman seusianya. Teteh adalah sosok perempuan yang luar biasa. Perempuan yang tangguh, berkarakter, cerdas, dan tegas saat berbicara. Di sisi lain, dia juga sosok yang menyenangkan. Dia selalu memberikan motivasi kepadaku agar rajin belajar dan wajib memiliki impian yang tinggi. Teteh adalah orang yang paling aku kagumi. Diam-diam dia menjadi idolaku. Role model-ku dengan segala mimpi-mimpinya. Aku senang membaca tulisan dalam diary-nya yang berisi cita-cita, harapan, dan impiannya yang tinggi. Tetehku juga orang yang berani mengambil keputusan. Selama keputusannya itu ada dasarnya, tak melanggar agama, juga diridai oleh Mama. Termasuk keputusan menikahnya pada usia muda meski tadinya Teteh berniat ingin sekolah tinggi. Namun, Teteh yakin, keputusannya untuk menikah pada usia muda adalah untuk kepentingan keluarga, untuk kebaikan kami semua. Dan, itu memang menjadi kenyataan. Teteh menikah dengan seorang lelaki yang baik. Pernikahannya berlangsung dengan sederhana di rumah kami. Kami semua sangat bahagia. Cahaya terang seperti menyinari rumah kami kembali. Suami Teteh bernama Roy. Kami semua memanggilnya dengan panggilan Aa Roy. Aa Roy adalah seorang lelaki yang berperawakan tinggi besar, berkulit sawo matang, dan memiliki senyum yang manis. Setelah menikah, Teteh dan Aa Roy memutuskan tinggal bersama kami. Aa Roy sudah bekerja dengan penghasilan yang cukup tinggi. Kami sangat terbantu secara ekonomi. Setiap hari, aku diberi uang tambahan oleh Teteh untuk bekal sekolah. Aa Roy orang yang sangat baik kepada kami. Dia tak hanya menyayangi Teteh, tetapi juga menyayangi kami. Waktu berjalan dengan cepat. Keluarga kami terus merasakan kebahagiaan. Teteh hamil! Kabar ini membuat kami semakin tersenyum bahagia. Akan hadir anggota baru dalam keluarga kami. Kami mempersiapkan semuanya dengan sukacita. Menghitung usia kehamilannya hari demi hari seperti menghitung waktu untuk berpesta. Kami tak sabar melihat bayi Teteh lahir. Kehidupan bergerak menuju sempurna untuk kami. Kami sangat bersyukur. Ketika kehamilan menginjak bulan kelima, akhirnya Teteh dan Aa Roy memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Rumahnya masih satu kota dengan kami, bisa ditempuh hanya tiga puluh menit. Di satu sisi kami sedih karena harus berpisah dengan Teteh, tetapi di sisi lain kami juga bahagia karena Teteh akan tinggal di rumahnya sendiri. Tentu ini baik untuk keluarga Teteh, mengingat tak lama lagi Teteh akan segera melahirkan. Kalau Teteh dan suaminya tetap tinggal di rumah kami, akan kurang nyaman karena keadaan kamar yang terbatas. Apalagi, ketika diperiksa USG oleh dokter, Teteh diprediksi akan memiliki bayi kembar! Wah ... aku sangat senang karena akan memiliki dua keponakan sekaligus. Mama juga akan langsung memiliki dua cucu yang lucu. Terbayang betapa indahnya .... Bulan ketujuh kehamilan Teteh. Saat itu aku sedang bermain sepak bola bersama teman-teman. Waktu sudah hampir sore. Saat sedang asyik-asyiknya menendang bola, terdengar suara lantang di ujung lapangan. “Athar, cepat pulang! Kita ke rumah Teteh!” Kudengar teriakan kakak keduaku, Rizky. Aku langsung menghampiri, meninggalkan permainan. “Ada apa?” tanyaku. “Ada kabar Teteh sudah melahirkan!” Wah, senangnya. Akhirnya, aku bergegas pulang ke rumah meski dengan rasa heran karena ini, kan, baru bulan ketujuh? Sampai di rumah aku melihat sudah banyak orang yang berkumpul. Ada satu mobil yang siap berangkat—bersiap mengangkut kami sekeluarga. Pak RT juga terlihat di sana, akan ikut bersama kami. Tanpa sempat mengganti baju aku langsung naik ke mobil. Semuanya terlihat terburu-buru. Mama tidak ada di mobil karena katanya sudah duluan berangkat. Suasana hening dalam perjalanan. Semua orang membisu, membuat aku merasa bingung sendiri. Harusnya, kan, orang-orang ini bahagia? Kenapa semua terdiam? Pertanyaan yang tak lama lagi akan segera terjawab.

Spesifikasi Produk

SKU BA-519
ISBN 978-602-291-488-4
Berat 320 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 384
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk