Patung-patung Menjerit telah dienyahkan dari Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey. Kini saatnya memperkenalkan Burung Api. Namun, burung yang pintar bicara itu selalu melontarkan ejekan kepada siapa pun yang berani dekat-dekat sehingga mustahil menampilkannya ke muka publik. Padahal, atraksi Jenderal Farnum juga harus batal karena 100 kutunya tewas. Sang tertuduh adalah Erskine, si pembasmi hama, yang kemudian ditemukan mati terbunuh. Jenderal Farnum pun menjadi tersangka!
Thomas, Pippa, Sam, dan Max kembali bertindak sebagai detektif. Namun, penyelidikan itu malah mengarahkan mereka kepada plot kejahatan yang jauh lebih mengerikan: pembunuhan besar-besaran di New York City! Dan, siapa lagi yang punya ide jahat seperti itu selain musuh abadi mereka, Nicholas Rattigan?
Buku ketiga yang memiliki lebih banyak lagi KEAJAIBAN MENARIK di dalamnya, seperti:
- Mata-mata KEJI yang menyusup ke museum
- Sirkus kutu yang sangat NAHAS
- Georgie Rawls yang MENAKJUBKAN, dari karakter asli Last Chance
- NONA BERTATO yang cantik dan misterius
YANG MASIH TIDAK AKAN KAU TEMUKAN DALAM BUKU INI:
- Ulasan lebih MENDETAIL mengenai daftar 10 sikat gigi paling laku
- Mangkuk sereal bebas gula yang MENGGUNUNG
- LIBURAN KELUARGA yang panjang dan membosankan
- Sweter wol buatan tangan yang membuat GATAL
NUKILAN
1
“Sam!”
Terperanjat gara-gara suara yang menggemuruh di loteng sempit, Sam tak sengaja meremas model kapal Viking kecil berskala sesuai aslinya, alhasil meremukkannya hingga berkeping-keping.
“Luar biasa.” Thomas mengerutkan kening. “Sekarang kita harus menggunakan apa sebagai Pemundur?”
Thomas dan Sam sedang bermain Jebakan Maut, permainan kompleks ciptaan Thomas sendiri yang memanfaatkan motif bergelombang di karpet sebagai papan dan beragam benda pampasan dari museum sebagai pion. Kapal Viking memiliki peran kritis nan penting: kapal mesti diputar sampai berhenti dan, tergantung kepala naganya menghadap ke mana, pemain bisa saja harus mundur beberapa langkah atau bahkan memulai dari awal.
“Maaf.” Sam dengan hati-hati mengambili serpih-serpih kayu dari tangannya dan menumpuknya dengan rapi di karpet. “Aku tidak berniat merusak.”
“SAM!” Goldini sang pesulap menyembul dari balik labirin rak buku yang mendominasi bagian tengah loteng. Dia serupa jack-in-the-box sinting.
Pipinya merah padam, sedangkan ujung kumisnya yang melengkung bergetar. “Kalau tidak salah, monster ini milikmu?” Dia menyodorkan Freckles—kucing putih berbulu lebat yang dulunya milik Siegfried Eckleberger sang pematung terkenal—dengan wajah berkerut-kerut jijik seperti sedang memegangi kaus kaki lama yang teramat bau.
“Aduh, tidak.” Sam buru-buru berdiri. Lantai sekejap berguncang di bawah tekanan bobotnya. Sekalipun Sam baru saja berulang tahun ketiga belas dan berbadan sekurus kacang panjang, dia memiliki kemampuan demikian: pagar tangga remuk menjadi serbuk ketika dia pegang, pintu roboh ketika dia dorong. Sebagai anak laki-laki terkuat di dunia, itulah sejumlah efek samping kesaktiannya.
Dalam kurun dua bulan terakhir, Freckles si kucing—dan Sam juga, secara tidak langsung—telah menyulut rasa permusuhan hampir semua penghuni tetap Museum Aneh, tapi Nyata Dumfrey gara-gara ulahnya. Kucing itu menggigiti sikat rambut favorit Betty sang Nyonya Janggut sampai hancur, merontokkan bulu-bulunya ke kasur Smalls sang Raksasa tidak sampai sehari setelah Smalls menyatakan bahwa dia alergi parah terhadap bulu kucing, dan mencakar-cakar selendang yang lazimnya disampirkan Caroline dan Quinn, si Kembar Albino, ke pundak mereka selagi tampil di panggung. Ia meneror kakaktua piaraan Mr. Dumfrey, Cornelius. (Cornelius masih memekikkan “Pembunuhan, pembunuhan!” kapan pun Freckles sekadar menjejakkan kaki ke dalam kantor Mr. Dumfrey.) Freckles bahkan sempat mengencingi sandal favorit Danny setelah sang Manusia Kerdil keras-keras membicarakan keunggulan anjing dibandingkan kucing.
“Kali ini,” kata Goldini sambil menegakkan tubuhnya yang setinggi 170 sentimeter, “makhluk buas ini meneror burungku.” Sang pesulap mengacungkan jari pucat ke sangkar, tempat seekor burung merpati mengepak-ngepakkan sayap dengan kalut sambil memandangi Freckles seakan kucing itu mungkin saja melompat dari pelukan Sam dan menerkamnya sekonyong-konyong. Burung tersebut merupakan bagian penting dari trik terbaru Goldini, Incrediballoon. Dalam trik tersebut, Goldini meletuskan sebuah balon dengan jarum jahit panjang dan alhasil menampakkan seekor merpati hidup, atraksi yang niscaya menyenangkan penonton.
“Maafkan aku, Goldini,” kata Sam tulus. Dia tidak pernah mendengar Goldini meninggikan suara sebelum ini. Biasanya, sang pesulap berbicara dengan nada setengah bergumam setengah serak, bahkan ketika di atas panggung. “Akan kupastikan supaya kejadian ini tidak terulang lagi.”
“Awas saja kalau terulang,” kata Goldini sambil mendengus dongkol. “Mana bisa aku mengubah balon menjadi burung kalau burung itu masuk ke sistem pencernaan kucingmu?”
Dengan hati-hati, dengan lembut—masih teringat jelas bagaimana kapal kayu Viking kecil retak di tangannya—Sam menggendong Freckles ke tempatnya yang biasa di atas kasur Sam. Untuk itu, Sam mesti berbelok-belok ke sela-sela beragam barang berantakan yang, seiring berjalannya waktu, mendekam permanen di loteng: rak-rak kayu dan tumpukan laci terbalik, meja-meja berkaki tiga, lemari-lemari rusak, bahkan sebuah kulkas mati.
Itu adalah Minggu siang nan sempurna pada awal September. Semua jendela dibuka sehingga angin sepoi-sepoi membawa masuk bau dari jalanan dekat sana—hot dog dan kacang panggang, minyak oli dan asap knalpot, semerbak toko bunga dan secercah aroma sampah yang belum diambil.
Museum akhir-akhir ini sedang untung. Pertunjukan siang sukses besar. Kursi bertambalan di lantai pertama Odditorium hampir semuanya penuh. Goldini tidak gagap mengerjakan triknya barang sekali pun. Aksi lempar pisau Max, yang kini dia tampilkan dengan mata ditutup, meraih tepuk tangan meriah dari hadirin, bahkan ada yang sampai berdiri. Philippa berhasil membaca semua isi dompet penonton, sampai ke bungkus permen peppermint Life Savers yang tinggal setengah. Selepas pertunjukan, Pippa dikerumuni sekelompok perempuan lajang yang menyodorkan koin seperempat dolar ke telapak tangannya dan menanyakan kapan serta di mana mereka akan berjumpa calon suami, bahkan setelah Pippa menjelaskan dengan sabar bahwa membaca pikiran dan meramal masa depan merupakan dua disiplin yang berlainan.