Ketersediaan : Tersedia

DEAR MILLENNIALS KAMULAH PEMIMPIN MASA DEPAN

Deskripsi Produk

^Kejahatan akan menang bila orang yang benar tidak melakukan apa-apa.^ -Panglima Soedirman Kutipan, Inspirasi, Pelajaran Tentang Etos Kepemimpinan

Baca Selengkapnya...

Rp 85.000

Rp 45.000

^Kejahatan akan menang bila orang yang benar tidak melakukan apa-apa.^ -Panglima Soedirman

Kutipan, Inspirasi, Pelajaran Tentang Etos Kepemimpinan

Tentang Sudirman Said

Resensi

ARTIKEL TERKAIT http://brebesnews.co/2014/10/menteri-esdm-sudirman-said-sejak-sd-hingga-sma-jadi-juara-kelas/ Menteri ESDM Sudirman Said, Sejak SD Hingga SMA jadi Juara Kelas Tanti Said, kakak Sudirman Said menteri ESDM di kabinet Jokowi-JK saat menunjukkan foto kenang-kenangan adiknya saat di wisuda sarjana BREBESNEWS.CO -Diumumkannya putra asal Brebes Sudirman Said yang berhasil duduk di jajaran kabinet kerja Jokowi-JK menjadi menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) ternyata mempunyai cerita sendiri bagi keluarganya yang berada di Desa Tegalagah Kecamatan Bulakamba. Menurut kakak kandungnya Tanti Said, adiknya beserta dirinya memang kelahiran Desa Slatri Kecamatan Larangan dengan orang tua Said Soewito Harjono alsi Tegalagah dan Tarnyu wanita asli Desa Slatri. Bapaknya sendiri seorang Kepala SDN di Desa Sitanggal Larangan dan mempunyai 6 orang anak. “Sejak kecil pada masa sekolah, kami beserta Sudriman Said di pupu (diangkat anak) oleh kakak tertua saya Ny Sarinten anak bapaknya lain ibu yang berada di Desa Tegalagah ini,” ujar Tanti Said saat ditemui BREBESNEWS.CO dirumahnya, Senin (27/10/2014). Menurut Tanti mereka berdua di pupu Ny. Sarinten dengan H. Anwar Yakup Rouf karena tidak mempunyai anak (keturunan). Saat di pupu anak oleh Ny. Sarinten, Sudirman Said berusia 5 tahun. Di usia 5 tahun itulah Sudirman mulai sekolah SD. Meski usianya belum mencukupi namun dirinya sudah bisa mengikuti pelajaran layaknya murid lainnya, “karena di rumah tidak ada teman kalau pagi, Sudirman Said diajak saudaranya bernama Dono sekolah SD. Karena waktu itu usia belum mencukupi maka Sudirman tidak masuk pada buku daftar sekolah. Baru pada kelas 2 Sudirman masuk daftar siswa,” terang Tanti. Sejak sekolah SD hingga SMA yang dilakoninya di SDN 1 Tegalagah Bulakamba, SMPN 1 Brebes hingga SMAN 1 Brebes, Prestasi Sudirman Said boleh dibilang gemilang, karena selalu juara kelas, “Prestasi Sudirman, Kalau tidak juara 1 pasti juara 2,” tambahnya lagi. Selepas SMA, adiknya mendaftar di jurusan Bahasa Inggris di UNS (Solo), meski sudah diterima namun Sudirman tidak mengambilnya karena saat itu jurusan tersebut masih D3, sedang Sudirman maunya S1. Dan akhirnya iapun mendaftar Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) dan di terima. Usai lulus STAN dia bekerja sebentar kemudian melanjutkan studinya di Master Bidang Administrasi Bisnis dari George Washington University, Washington, DC, Amerika Serikat. Dari pendidikannya inilah Sudirman Said dipercaya kerja di PT Pertamina, lalu pada tahun 2013 di PT Petrosea salah satu perusahaan pertambangan di bawah kelompok Indika Energy Group, hingga kemudian di percaya Menteri BUMN saat itu Dahlan Iskan untuk pegang kendali di PT Pindad (Persero). Cerita lainnnya, seperti yang dituturkan Tanti Said, berdasarkan cerita ibunya, saat mengandung Sudirman Said. Ibunya kepada bapaknya (Said) menceritakan kalau bermimpi memangku bulan dan patromak. Setelah diceritakan pada bapakanya, Said Soewito Harjono mengatakan kalau kelak anaknya Sudirman Said akan menjadi orang mulia. Sudirman Said lahir pas hari Jumat Kliwon Cerita lainnya yakni saat mereka berempat, antara dirinya, Sudirman Said dan kedua orang tua angkatnya H.Anwar Yakup Rouf dan Ny. Sarinten pergi bertamasya ke Puncak Bogor Jawa Barat beberapa waktu lalu sebelum orangtua angkatnya meninggal semua. Menurut Tanti, dirinya sempat keceplosan kalau kelak bila Sudirman jadi menteri malah akan mengalami kerepotan bila menemuinya karena akan melalui beberapa aturan protokol dan penjagaan. Pengalaman ini didasarkan saat adiknya kerja menjadi wakil presiden di PT. Petrosea bagaimana keluarganya mengalami kesulitan untuk menemuai adiknya dengan pengawalan dan penjagaan yang ketat. “Saat itu mungkin keceplosan, tapi nyatanya seiring perjalanan waktu, adiknya ternyata bisa menjadi menteri ESDM. Wallahu a’lam bi showab mas,” pungkas Tanti Said mengakhiri ceritanya. (AFiF.A)   NUKILAN BUKU Ibuku Keren! Tidak Sekolah, tetapi Visioner “KOWEN kabeh kudu sekolah. Emakmu wong melarat jeprat, ning aja nganti uripmu pada sengsara kaya kuli panggul kae.” (Kamu semua harus bersekolah. Meski ibumu orang yang amat miskin, tetapi jangan sampai hidup kalian sengsara seperti para kuli panggul itu). Itulah ucapan almarhumah ibu saya, suatu sore, pada 1973, di beranda rumah gedek berlantai tanah, beratap genteng, dengan wu wung an bocor di sana-sini. Kami enam bersaudara kebetulan sedang nge ruing sambil memandangi puluhan kuli panggul bekerja bertelanjang dada. Punggung mereka terbakar, luka tergores karung goni dan pikulan bambu. Mereka harus memindahkan puluhan ton padi hasil panen dari sawah ke pinggir jalan. Jalanan dari sawah menuju jalan besar penuh lumpur setinggi mata kaki hingga betis orang dewasa. Ketika itu, saya berada di kelas lima SD, setahun setelah apak saya, Said Suwito Harsono, wafat. Itu saat-saat tersulit dalam perjalanan hidup keluarga kami. Ketika wafat, Bapak adalah seorang pensiunan mantra guru, kepala sekolah yang sebenarnya memiliki kedudukan sosial terhormat. Namun, karena kebiasaan hidup dan kegemaran Bapak (yang kurang baik diceritakan di sini), ekonomi rumah tangga menjadi morat-marit. Saya ter ingat setiap bulan setelah hari gajian pensiunan hampir pasti terjadi pertengkaran antara Ibu dan Bapak. Ketika Bapak Masih Sugeng ... Pulang dari kantor pos mengambil uang pen siun, Bapak sering hanya membawa amplop kosong karena uang pensiun habis dipakai mem bayar utang. Ibu sangat sering tidak kebagian apa pun. Sementara itu, untuk bertahan menghidupi enam anak, Ibu terpaksa harus terus ngu tang ke warung-warung tetangga. Seluruh warung kelontong menjadi langganan utang Ibu. Kalau satu pemilik warung sudah tidak bersedia memberi, utangnya pindah ke warung lain. Sesekali, kalau sudah kepepet, Ibu menggadaikan apa saja yang dimiliki untuk men dapatkan uang tunai, mencicil utang agar “credit line”-nya hidup lagi. Ibu pergi ke kota kecamatan terdekat (Ketanggungan), membawa kain batik yang masih layak gadai, dandang tembaga, atau peralatan dapur apa saja yang masih ada nilainya. Barang yang paling tinggi nilai gadainya saat itu adalah sepeda. Namun, kami hanya punya sepeda satu-satu nya dan itu pun dipakai Bapak ke mana-mana. Keadaan keuangan keluarga sedikit membaik kalau Bapak mendapat uang pensiun lebih atau rapel kenaikan. Utang-utang yang menunggak pun dapat dibayar. Ibu menjadi lebih percaya diri, tetapi untuk kemudian menumpuk utang lagi. Sesekali Bapak memenangi lotere nalo—salah satu kegemaran yang merusak keuangan keluarga. Meski tentu lebih banyak kalahnya, saat-saat menang lotere ini adalah saat yang menyenangkan karena kami bisa makan lebih enak dengan lauk ikan atau telur. Saat makan enak lainnya adalah kalau ada keluarga atau tetangga punya hajat, mantu, atau nyunati. Biasanya, Bapak diundang selamatan dan pulang dengan membawa nasi berkat berlauk-pauk lengkap: sayur, mi, ikan, telur, bahkan sekerat daging kalau yang berhajat orang yang berkecukupan. Dalam suasana seperti itulah, kami dibesarkan. Dan, dalam suasana begitu pula, tiba-tiba Bapak harus pergi meninggalkan kami semua pada 1972. Usia Bapak kala itu 62 tahun. Beliau lahir tahun 1910. Ketika menikah, beda usia Ibu dan Bapak cukup lebar. Ibu lebih muda 29 tahun daripada Bapak. Ibu masih sangat muda, sementara Bapak adalah seorang guru yang kebetulan pernah mengajar Ibu di Sekolah Rakyat desa tetangga (Sitanggal), desa yang lebih maju daripada Desa Slatri. Di Slatri ketika itu belum ada sekolah. Perjuangan Ibu Belum Berakhir Sepeninggal Bapak, kehidupan kami makin memburuk. Mengurus hak pensiun janda ketika itu seperti memasuki kotak hitam, apalagi bagi seorang warga desa tulen seperti Ibu yang Sekolah Rakyat pun tak tamat. Ibu harus bolak-balik ke Kota Kabupaten (Brebes), lantas ke Kota Karisedenan (Pekalongan), dan selanjutnya ke ibu kota Provinsi (Semarang). Jadi, dapat dibayangkan, betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi seorang perempuan desa yang pergi ke kecamatan saja hanya untuk ke kantor pegadaian. Bukan saja keberanian yang tidak ada, yang tentu akan rentan dikerjai para calo pengurusan pensiun, tetapi juga uang untuk sekadar ongkos transport yang belum tersedia. Alhasil, proses pengalihan hak pensiun memakan waktu lebih dari setahun karena Ibu harus menunggu cukup uang untuk bisa pergi ke Brebes, Pekalongan, atau Semarang. Banyak cerita Ibu yang menakutkan ketika mengurus hak pensiun jandanya. Banyak koleganya ketika menerima rapel yang sudah ditunggu setahun lamanya hanya menerima setengah karena ternyata disunat oleh petugas pembayar. Bulan-bulan dan tahun-tahun sesudah Bapak wafat adalah saat yang memberi pelajaran mendalam tentang perjuangan seorang Ibu membesarkan anak-anaknya. Ibu bekerja serabutan apa saja yang penting mendatangkan upah, meski hanya berupa nasi jagung sebakul kecil (cething) plus lauk-pauk ala kadarnya. Yang penting bisa menyediakan makanan bagi anak-anaknya. Kadang-kadang menjadi buruh penyiang padi, menanam bawang merah, atau ikut memanen padi untuk mendapatkan bagian. Pada saat paceklik di desa kami, tak jarang Ibu harus meninggalkan anak-anak untuk “kurung” atau merantau beberapa bulan agar mendapatkan pekerjaan. Daerah Patrol dan Haurgeulis, lumbung padi nasional di Jawa Barat itu, sering menjadi tujuannya merantau karena daerah ini menanam padi hampir sepanjang tahun. Jadi, tidak mengenal paceklik. Untuk pergi ke Haurgeulis, Ibu naik kereta ekonomi (sepur trukthuk, kereta yang berhenti di setiap stasiun) dari Stasiun Ketanggungan. “Ritual” Ibu sebelum berangkat adalah mencari pinjaman uang untuk membeli karcis, dengan janji setelah pulang dari merantau pada bulan berikutnya akan dikembalikan dari sebagian upah yang diterima.   Sekembali dari Haurgeulis, biasanya Ibu membawa padi (gabah) dan upah panen. Aturan main yang berlaku kala itu, kalau memanen padi delapan baskom, si buruh panen memper oleh bagian satu baskom (8:1). Juragan yang dermawan biasanya menerapkan aturan lebih longgar 7:1 atau memberi tambahan beberapa baskom gabah pada waktu membagi hasil panen. Gabah hasil bagian dijemur di perantauan dan dibawa pulang naik kereta ketika sudah dalam keadaan kering. Kalau merantau sebulan lamanya, Ibu bisa membawa pulang satu atau dua karung kecil gabah kering. Ketika digiling menjadi beras, bisa menghasilkan 10-20 kilogram. Tak semua beras itu dimasak sendiri. Separuhnya kadang ditukar dengan jagung untuk di campur, baru dimasak. Harga jagung jauh lebih murah. Dengan begitu, beras yang sudah di campur dengan jagung itu bisa dipakai untuk bertahan hidup lebih lama sebelum Ibu harus pergi lagi. Pada tahun-tahun tertentu, Ibu harus bekerja lebih keras dan menghabiskan waktu lebih lama di rantau. Pasalnya,sebagian upahnya harus dijual untuk mem bayar uang sekolah kami yang sudah beberapa bulan tertunggak. Menunggak uang sekolah 3 – 4 bulan itu sudah menjadi langganan. Para guru pun sudah hafal kondisi keuangan keluarga kami. Syukurlah, be berapa guru kami adalah mantan murid Bapak sehingga mereka “pangerten”, tidak mengejar bayaran uang sekolah terlalu menekan ke kami. Sesekali Ibu berganti “profesi“ membuat kue dan dijajakan keliling kampung. Kuenya macam-macam. Ada yang sederhana, yakni singkong diparut, dicampur gula, dibungkus daun pisang, lalu dikukus (sekarang saya mengenalnya se bagai “timus”). Ada pula gemblong singkong ditaburi kelapa parut, atau kolak pisang. Di lain waktu, biasanya ketika memulai bulan puasa sampai menjelang lebaran, Ibu membuka warung kecil di emperan rumah; menyediakan candil, kembang pacar, dan makanan pembuka puasa lainnya. Ketika orang-orang kaya tertentu punya hajat, Ibu sering diminta bantuan mem buat kue-kue kering: rengginang, kembang go yang, atau kue semprong. Kalau menggunakan kacamata manajemen, mungkin inilah yang disebut jejaring (networking). Hubungan baik dengan beberapa keluarga kaya itulah yang membuat mereka sering memberikan pertolongan pada saat Ibu sangat kepepet dan tak ada jalan lain. Bantuan yang diberikan berupa pinjaman uang SPP atau beras dan jagung untuk menyambung makan keluarga. Dalam urusan pinjam-meminjam, sepanjang pengetahuan saya, Ibu selalu berusaha menepati janji untuk mengembalikan pinjaman, meskipun harus meminjam lagi ke orang lain. “Gali lubang tutup lubang” memang. Namun, dengan itu, Ibu menjaga kepercayaan orang untuk memenuhi janjinya. Dan, karena kepercayaan itu lah, setiap kali Ibu membutuhkan bantuan, mereka jarang sekali menolak. Penggugah Rasa Syukur Dua kisah sulitnya hidup berikut ini acapkali saya ceritakan ke anak-anak saya sebagai pengingat dan penggugah rasa syukur. Suatu kali, Sartono, adik laki-laki yang persis di bawah saya, sakit diare. Dia terpaksa harus bolak-balik buang air besar sepanjang malam. Karena hanya punya persediaan minyak satu “senthir”, kami semua (bertujuh) tidur di salah satu bilik. Ibu dan adik-adik yang kecil tidur di atas, yang lain tidur di lantai beralas tikar pandan. Pada saat Sartono harus buang air, senthir itu harus menyertainya ke kali di seberang jalan. Kala itu, keluarga yang kaya pun belum mengenal peturasan atau jamban dalam rumah. Semua warga buang air di sungai. Warga yang lebih kaya punya “jobong”, tempat buang air dari bilik bambu atau anyaman daun kelapa (ble ketepe) yang dibangun dengan tiang dan dudukan bambu di tepi tanggul sungai. Semua anak pun jadi ikut ke sungai, menemani Sartono karena tidak berani ditinggal dalam kegelapan. Selesai buang air, kami semua ikut ke sumur mengikuti lampu senthir. Setelah Sartono bersih-bersih, kami ramai-ramai masuk bilik lagi untuk tidur. Beberapa waktu kemudian,  Sartono mules dan minta diantar ke sungai lagi. Kami semua dibangun kan Ibu untuk mengikuti Sartono ke kali, ke sumur, dan kembali ke bilik tidur lagi. Malam itu berkali-kali, semua anak harus berjalan dalam kantuk, berpindah-pindah karena hanya ada satu lampu penerangan, sebuah senthir yang dibuat dari kaleng cat cap sepeda ukuran gelas air mineral. Cerita kedua adalah saat adik kami nomor empat lahir. Keluarga kami harus mengadakan kenduri member nama. Nama adik keempat kami adalah Emy. Dia lahir dalam situasi paceklik, saat harga beras begitu tinggi dan langka. Krisis ekonomi setelah sanering dan inflasi gila-gilaan sedang melanda Indonesia. Untuk membeli bahan makanan dan minyak penerangan setiap keluarga harus antre di balai desa dan mengambil kupon. Karena tidak cukup beras, untuk memasak tumpeng dicampurlah dengan jagung. Setelah nasi masak, mulailah usaha membuat tumpeng dengan nasi beras bercampur jagung. Setiap kali cetakan tumpeng dari kukusan bambu diangkat, pada saat bersamaan puncak tumpeng berguguran karena ikatan antara nasi dan jagung terlalu pera. Berkali-kali Ibu mencoba sambil mencucurkan air mata. Saya masih terbilang sangat kecil ketika itu dan belum paham sepenuhnya mengapa Ibu menangis. Setelah cukup besar, apalagi seteLah dewasa menjalani hidup, saya baru paham makna tangisan itu. Tekanan hidup yang harus dihadapi, rasa malu karena tak mampu menyediakan hidangan yang layak pada hari penting, dan juga gelapnya memandang hari depan anak-anaknya, rupanya menghantui perasaan Ibu. Membantu, Meski Serba Terbatas Kata sejumlah sanak-famili di kampung, ketika muda, Ibu cantik. Meskipun tidak cukup uang, Ibu pintar berdandan dan menjahit. Keteram pilan menjahitnya membantu beliau mampu membuat berbagai model pakaian, seperti rok, rok span, kain kebaya, sampai daster, bahkan baju dan celana untuk anak-anaknya. Pakaian favorit saya di masa kecil adalah angsop, sejenis celana pendek terusan mirip baju montir berkantong di dada. Yang istimewa dari angsop adalah kuat dan awet karena terbuat dari kantong bekas tepung terigu. Anak-anak sebaya saya sering memakainya tanpa di-wenter (diwarnai) sehingga cap kunci atau segitiga biru dengan tulisan “Bogasari” masih terbaca. Pada saat-saat tertentu, keterampilan menjahit Ibu juga menolong keuangan, terutama menjelang hari lebaran. Tak sedikit tetangga yang meminta tolong Ibu menjahitkan baju model angsop. Keterampilan menjahit menjadi hiburannya. Dengan itu, beliau punya perasaan bisa membantu orang. Kepada keluarga yang jauh lebih susah, Ibu sering menjahitkan baju gratis bagi anak-anaknya. Bahannya diambil dari kain cita, potongan-potongan kecil sisa orang menjahitkan baju. Mendapat baju “baru” gratis, para tetangga bahagianya bukan main, meski tampilan baju baru itu tampak kurang normal karena banyak sekali jahitan sambungan dan tata-warna yang kerap jauh dari matching. Kalau itu terjadi sekarang, niscaya disebut sebagai daur-ulang atau penjahit ramah lingkungan. Ini juga salah satu pelajaran hidup yang penting. Dalam keadaan serba terbatas pun, Ibu tetap terdorong untuk membantu orang lain. Kemampuan kita bukan prasyarat untuk membuat diri ringan tangan membantu sesama. Kemauan meringankan beban orang yang lebih menderita dari kitalah yang seyogianya menjadi pendorong utama, sekecil apa pun bentuk bantuan kita. Tradisi Ngenger Ibu saya, Tarnju, terlahir pada 1939 (hanya tahun yang beliau ingat, tidak ada keterangan tanggal lahir—KTP orang-orang doeloe terkadang tanpa tanggal dan bulan lahir). Sepenuhnya orang desa. Lahir, dibesarkan, menikah, beranak-pinak, hingga wafat di desa yang sama: Slatri, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes. Karena keadaan, Ibu tidak tamat Sekolah Rakyat. Kalau ukuran zaman sekarang, kira-kira hanya sampai kelas 3 SD.   Beliau wafat pada 2000, di saat semua anaknya sudah “sekolah”: seluruh kakak dan adik menyelesaikan SLTA, seturut cita-citanya. Ibu saya adalah istri kedua Bapak, yang dinikahi setelah istri pertamanya wafat karena sakit. Dari istri pertama, Bapak memiliki 4 anak: 1 laki-laki, 3 perempuan. Sikap Ibu yang ngemong kepada anak-anak Bapak dari istri pertama (usia anak tertua dari istri pertama bahkan lebih tua dari ibu saya) membuat kami bersepuluh bergaul selayaknya saudara kandung. Mereka jauh lebih mampu karena keluarga Ibu mereka tergolong keturunan orang kaya. Hubungan persaudaraan yang demikian membuat banyak masa sulit kami lewati dengan pertolongan kakak-kakak sambung kami. Beratnya kesulitan ekonomi membuat satu per satu dari kami secara bergiliran ngenger (menumpang hidup) di salah satu anak Bapak dari istri pertama. Sejak sebelum sekolah, saya sudah ngenger sambil bantu-bantu pekerjaan rumah, seperti mencuci dan menyetrika baju, menyiram tanaman, serta sesekali bekerja di sawah. Praktis sejak sekolah, hidup saya ditopang oleh keluarga tempat saya ngenger itu. Saya sendiri adalah produk pengecualian dalam keluarga besar Ibu dan Bapak. Selepas SMA, meski mendaftar ke sana kemari, saya sadar sepenuhnya tak akan mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sampai suatu hari setelah bersiap menjadi pengangguran, saya membaca iklan di Koran Suara Karya yang ditunjukkan oleh kakak lain Ibu, yang berprofesi guru. Iklan maklumat penerimaan mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) lah yang belakangan mengubah total perjalanan hidup kami sekeluarga. Saking awamnya, mengeja STAN pun saya tak bisa. Ketika ditanya oleh teman-teman yang sama-sama sedang memeriksa kesehatan di rumah sakit kabupaten, saya menyebutnya “Es-Te-A-En”. Oleh teman-teman yang sudah lebih tahu, diluruskan, “Mas, maksudnya STAN, kan?” Perjalanan kuliah di STAN juga tak kalah menarik. Seperti meneruskan tradisi, saya ngenger lagi di seorang famili, seorang perwira polisi yang tinggal di kompleks berukuran terbatas. Dengan anak tiga dan keponakan yang menumpang tiga orang ditambah saya, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk mengelola tempat tidur dan ruangan interaksi. Tiga orang-orang “penumpang” laki-laki diberi tempat tidur di balik lemari makan yang membelah ruang makan berukuran 3x3 meter. Karena di belakang lemari makan terdapat dipan yang sudah digunakan oleh “senior”, saya ke bagian tidur di kolong dipan itu dengan alas lampit daun pandan, tanpa kasur. Alhamdulillah, saya dapat melewati masa-masa indah itu dengan selamat, tanpa sakit, hingga beroleh status CPNS atau Calon Pegawai Negeri Sipil. Di titik inilah, saya merasa seperti sudah menjadi manusia seutuhnya. Dalam artian, su dah memiliki penghasilan dan bisa mengirim sebagian penghasilan untuk Ibu dan adik-adik untuk meneruskan sekolah. Sepeninggal Ibu ... Saat Ibu wafat, syukurlah, keadaan kami sudah jauh berbeda. Sudah beberapa tahun saya undur diri dari PNS. Ibu bahagia karena saya masih “memaksakan” diri terus mengajar di STAN. “Man, STAN berjasa besar menyelamatkan kehidupan keluarga kita. Jangan pernah melupakan STAN,” begitulah wejangan Ibu suatu ketika. Program beasiswa yang disediakan oleh Kementerian Keuangan membawa saya ke jendela dunia. Aktivitas profesional dan sosial saya memberi kesempatan untuk terus berkontribusi, baik di sektor publik, swasta, maupun organisasi nirlaba. Secara ekonomi, keadaan keluarga besar kami telah mentas alias keluar dari kubangan kemiskinan absolut. Tidak semua berkecukupan, tetapi sudah jauh dari suasana kekurangan. Kebiasaan Ibu menolong sesama terus berlanjut tatkala kami berkemampuan membahagiakan beliau. Sering kali kami, anak-anaknya, merasa gemas. Semula bermaksud memberikan ini-itu kepada Ibu, ujung-ujungnya apa pun yang beliau telah miliki selalu dibagikan lagi ke orang sekeliling. Setiap kali dihadapkan pada kesempatan ber buat sesuatu untuk orang banyak, saya selalu teringat pesan Ibu, “Kamu bisa seperti ini karena jasa negara danbanyak orang membantumu.” Sesekali saya tak berpikir panjang untuk meninggalkan pekerjaan yang mapan, memasuki wilayah pelayanan publik. Ketika menyelesaikan tulisan ini, saya dilanda kerinduan yang mendalam kepada Ibu. Beberapa malam berselang, saya sampai bermimpi bertemu Ibu, entah dalam suasana apa. Banyak hal yang menjadi kenangan. Banyak pula yang menjadi sumber pelajaran hidup. Pendidikan dan Pendidikan ... Saya, kebetulan, sering membagi pengetahuan tentang manajemen organisasi, manajemen human capital, dan hal-hal terkait kepemimpinan. Salah satu cerita favorit saya adalah sikap Kaisar Hirohito setelah Jepang kalah dari Sekutu dalam Perang Dunia II. Setelah mengumpulkan para petinggi negara, yang ditanya pertama adalah “Berapa guru yang masih hidup?” Dengan pendidikanlah Jepang memulai pembangunannya untuk bangkit kembali. Belakangan, Jepang terbukti menjadi raksasa ekonomi dunia. Korea Selatan pun berhasil naik kelas, dari semula negara berkembang menjadi negara industri maju karena investasi besar-besaran dalam pendidikan dan teknologi. Begitu pula Singapura, desain pemba ngun an yang disiapkan pertama kali ketika Inggris menghadiahinya ke merdekaan adalah menyelaraskan rencana pembangunan ekonomi dengan rencana pembangunan pendidikannya. Lihatlah sekarang, negara kota yang luasnya hanya seperempat DKI Jakarta itu kini telah menjadi pusat pergaulan bisnis dunia. Semua karena pendidikan. Ibu saya tentu tak pernah ke Korea, Singapura, apalagi Jepang. Tidak juga membaca literatur atau berita dunia. Keterbatasan pendidikannya yang hanya setingkat kelas 3 SD tidak membuat Ibu berhenti memikirkan masa depan anak-anaknya. Tekadnya kuat nian: apa pun yang terjadi, kalian mesti sekolah. Tekad itu pulalah yang telah mengubah keadaan seluruh keluarga, bukan hanya keluarga inti, tetapi seluruh keluarga besar kami. Hari-hari ini, semua sepupu dan keponakan berlomba menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Seperti ada kesepakatan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas, dalam keadaan apa pun. Dr. Anies Baswedan, seorang pendidik dan pemimpin pergerakan, dalam berbagai kesempatan sering menyebut, “Pendidikan adalah eskalator bagi setiap manusia Indonesia untuk naik kelas, bukan saja bagi dirinya, tetapi bagi lingkungan yang lebih luas.” Dalam perenungan, saya merasakan kehadiran Ibu. Seorang perempuan desa, tidak berpendidikan, tetapi ternyata beliau telah membuktikannya. Perjalanan hidup yang sarat penderitaan, kesulitan, dan serba terbatas, sedikit pun tidak menyurutkan tekad Ibu untuk mengentaskan anak-cucunya dari perangkap keterbelakangan. Saya berdoa, semoga surgalah tempat beliau di alam abadinya. Dirgahayu kaum Ibu Indonesia. Ditulis di Jakarta, 22 Desember 2013. Pernah dimuat detiknews (https://news.detik.com/berita/3278684/sudirman-said-ibuku-keren-tidak-sekolah-tapi-visioner).

Spesifikasi Produk

SKU ND-342
ISBN 978-602-385-422-6
Berat 150 Gram
Dimensi (P/L/T) 12 Cm / 18 Cm/ 0 Cm
Halaman 148
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk