SINOPSIS
Membesarkan Kids Zaman Now memiliki tantangannya sendiri karena sejak lahir, internet telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Bagaikan dua sisi mata uang, internet sangat memudahkan hidup kita sekaligus diam-diam menyimpan bahaya.
Duh bingung ya, sebenarnya boleh tidak ya anak-anak menggunakan gadget? Kalau boleh, lalu mengapa Mona Ratuliu justru menyita gadget dari Mima, putri sulungnya, justru di saat teman-teman Mima baru mulai diberikan gadget? Apa yang terjadi pada Mima ketika hidup tanpa gadget?
Melalui Digital ParenThink, Mona Ratuliu berbagi pengalamannya mengasuh anak-anak Generasi Z dan Alpha dengan memanfaatkan internet dan media sosial secara bijaksana. Selain contoh, tips dan trik, serta pendapat para pakar, Mona juga menyertakan kisah sukses anak-anak yang bisa memanfaatkan internet secara positif.
“Beli gadget aja dapat manual book, apalagi punya anak. Harus banget banyak baca buku dan ini salah satunya! Patut dibaca oleh semua orangtua ataupun calon orangtua.”
-Ayudia Bing Slamet, Artis, Mama dari Sekala (2 Tahun)
ARTIKEL TERKAIT
http://monaratuliu.com/index.php/kids-health/263-anak-dan-gadget
Anak dan Gadget
“Usia berapa sih anak boleh bermain gadget?”
“Kapan anakku boleh punya gadget sendiri?”
Belakangan ini banyak orangtua punya kebingungan yang sama. Alasannya macam-macam, ada yang takut si kecil gaptek karena melihat banyak anak yang sudah berinteraksi dengan gadget, ada juga yang berawal dari rong-rongan anaknya yang minta dibelikan gadget karena temannya sudah punya gadget sendiri. Belakangan, saya juga mendatangi banyak acara dengan tema seputar ini. Jadi, sekarang saya share ya pendapat para ahli mengenai anak dan gadget.
Gadget memang punya banyak manfaat positif. Misalnya, saat mendampingi anak-anak mengerjakan PR, atau saat mereka bertanya hal yang enggak dikuasai orangtua, Melalui gadget inilah, orangtua bisa mendampingi si kecil untuk mencari informasi bersama-sama. Atau, saat si kecil memiliki banyak kegiatan, biasanya orangtua memberikan telepon agar mereka mudah dihubungi. Sampai di situ sih, manfaat gadget masih masuk akal. Tapi, menurut pendapat beberapa psikolog, kebutuhan anak sebenarnya adalah bermain. Bermain itu banyak lho jenisnya, mulai dari bermain bola, bermain boneka, bermain slime, bermain squishy, tebak gambar, bermain sepeda, dan sebagainya.
Bermain game di handphone bisa jadi salah satu alternatif permainan. Tapi, yang terjadi belakangan justru porsi si kecil bermain game di handphone bisa sampai berjam-jam sehari sehingga mereka enggak melakukan aktivitas bermain lainnya. Sudah mulai jarang deh kayaknya saya melihat anak-anak yang janjian sore-sore untuk main sepeda, memanjat pohon, atau bermain bola di lapangan sekitar rumah seperti saya waktu kecil dulu. Janjian untuk saling bertemu usai jam sekolah juga sudah diganti dengan ngobrol-ngobrol di grup chat atau bertemu di media sosial. Padahal, secanggih-canggihnya gadget yang dipegang anak-anak kita, enggak akan bisa lho menggantikan hebatnya stimulasi kecerdasan yang terjadi saat anak bermain dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Malah dari artikel yang saya baca, berdasarkan penelitian dari Kementrian Sosial menyebutkan bahwa rata-rata anak Indonesia menghabiskan sampai 9 jam per harinya menggunakan gadget. Wah! Kalau anak sudah bermain gadget selama itu, menurut dokter orthopedi berisiko terhadap kesehatan tulang belakang dan juga tulang dan saraf pada lengan anak, lho! Bahkan, kesehatan matanya juga terancam. Sementara psikolog dan dokter kejiwaan juga mengkhawatirkan adanya gangguan pada otak bagian depan yang fungsinya; berpikir, mengamati, memahami bahasa sampai dengan mengendalikan fungsi motorik. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah: Apabila anak bermain gadget selama 8-9 jam sehari, apa mungkin selama itu pula orangtua mendampingi? Kalau si kecil bermain gadget sampai 8-9 jam per hari tanpa pendampingan orangtua, sepertinya ada kemungkinan mereka pernah atau bahkan sering menerima konten yang enggak sesuai umurnya.
Nah, saya juga tertarik dengan pernyataan seorang pakar telematika, yaitu abah Abimanyu Wahjoehidajat yang menyatakan bahwa orangtua harus bisa melihat fungsi gadget di rumah. Apabila gadget dirasakan sudah berubah fungsi menjadi senjata yang mematikan, pikirkan kembali untuk membiarkan gadget untuk digunakan oleh anak. Bahkan, seorang psikolog juga menyatakan bahwa ketika hal itu terjadi, orangtua harus berani mengambil tindakan tegas untuk mengevaluasi kembali penggunaan gadget pada anak. Enggak perlu takut merevisi aturan di rumah seputar penggunaan gadget. Memang sih, biasanya Si Kecil akan menunjukkan reaksi penolakan seperti marah, kesal, sampai tantrum. Tapi percaya deh, mereka akan segera beradaptasi dan mencari aktivitas baru yang lebih menyenangkan.
https://www.haibunda.com/mom-life/d-3953466/cerita-anak-mona-ratuliu-saat-berusaha-lepas-dari-gadget
Jakarta - Bukan hal yang mudah buat anak untuk lepas dari gadget. Tapi, dengan dukungan orangtua dan kemauan, anak juga bisa kok lepas dari gadget. Seperti dialami anak pertama Mona Ratuliu yang berumur 14 tahun. "Protes pastinya. Dia nanya, terus aku ngapain kalau enggak main gadget?" kata Mona Ratuliu saat ngobrol dengan HaiBunda.
Mona bercerita, awalnya anak pertamanya, Davina Syafa Felisa atau yang akrab disapa Mima, sering protes karena nggak bisa main gadget. Namun setelah dijalani, akhirnya Mima bisa menikmati hidupnya tanpa gadget kok.
"Aku kan lagi nulis buku kedua nih, Digital Parenting, di situ aku biarin Mima cerita 1 bab tuh. Dia nulis gimana awal kehidupan dia begitu diberhentiin gadget, terus lama-lama dia bilang dampak positifnya dia jadi lebih perhatiin lingkungan sekitar," kata penulis 'Parenthink' ini.
Selain itu, Mima juga jadi sering menulis blog. Enggak cuma itu, Mima juga jadi wakil ketua OSIS di sekolahnya dan berbagai kegiatan pun mulai dia ikuti. Mona bilang Mima jadi lebih aktif berkegiatan karena istilahnya Mima banyak 'nganggur'nya dibanding saat masih lekat dengan gadget.
Alhasil, Mima mulai mencari banyak kegiatan. Terlebih sang bunda berencana menjadikan tulisan Mima sebagai buku, Mima jadi lebih sering menulis deh sekarang. Menurut Mona tulisan Mima cukup bagus, salah satunya ketika Mima cerita betapa frustasinya dia di awal enggak pegang gadget. Tapi, ada hal positif yang dialami Mima, yaitu dia jadi lebih peduli pada lingkungan sekitar.
Mima juga sempat bete ketika temannya sibuk nge-gadget. Nah, di situ Mima baru sadar enggak enak juga dicuekin karena sibuk main gadget. Makanya, Mima mengajak teman-temannya untuk menaruh gadget kalau jam istirahat dan saat makan.
Saat Anak Berhasil 'Lepas' dari Gadget
Setelah lepas dari gadget, Mima pernah lho, Bun, mengutarakan keinginannya tinggal di desa. Kata Mima, kayaknya enak nih tinggal di desa dan enggak terlalu banyak mendapat input informasi.
"Soalnya dia mengakui ketika lihat medsos, dia follow berbagai idolanya, dia jadi merasa enggak puas sama dirinya sendiri karena melihat mereka lebih cantik atau lebih gaul," ungkap istri Indra Brasco ini.
Terlalu banyak informasi, kata Mona, bukan enggak mungkin bisa bikin anak kurang percaya diri, termasuk dengan gaya yang mereka pakai. Sekarang pun Mima lagi senang mencoba hal baru termasuk mencari lagu-lagu zaman dulu. Enggak cuma itu, dibanding pergi ke mal Mima juga jadi tertarik nih berkeliling Jakarta.
"Asli deh karena pakai gadget semua ide ada di gadget enggak repot nyari, tapi kalau tanpa gadget kita mesti pikirin kan, duh gue mau ngapain ya hari ini biar seru," tutur Mona Ratuliu.
Psikolog anak dari Tiga Generasi, Anastasia Satriyo atau akrab disapa Anas mengatakan kalau bunda dan ayah mau menyapih anak dari gadget, pertama kali yang mesti dimiliki adalah keyakinan. Ya, keyakinan kalau kita memang mau menyapih si kecil dari gadget, Bun.
"Pertama, orang tua harus yakin. Kedua, kalau kita mau mengurangi gadget, kurangi secara perlahan. Enggak tiba-tiba langsung diambil gitu gadget-nya. Karena anak akan merasa ada sesuatu yang hilang, dicabut dari hidupnya," kata Anas.
Setelah itu, kita juga perlu mencari kegiatan alternatif yang asyik untuk menggantikan aktivitas main gadget, Bun. Apalagi, untuk anak balita, mereka lagi suka-sukanya berhubungan sama orang lain. Jadi, aktivitas kayak main ular tangga bareng orang tua, cuddling, atau dibacain cerita, bisa bikin dia senang, lho. (rdn/vit)
Cerita Mona Ratuliu Tentang Anaknya: "Umur 6 Tahun, Davin Ingin Kabur dari Rumah"
TABLOIDBINTANG.COM - SATU setengah tahun terakhir, artis Mona Ratuliu (32) mengelola ParenThink, sebuah laman berisikan artikel yang ditulisnya sendiri, berdasarkan pengalaman pribadi, dengan menyertakan teori dari para ahli.
Fokus bahasannya mengenai parenting. Alasan Mona sederhana. Dia hanya ingin para orangtua, termasuk dirinya, lebih cerdas. Karena bagaimana bisa orang tua melahirkan anak-anak yang cerdas, jika diri sendiri tidak mau berpikir dan cerdas sebagai orang tua?
"Makanya ada 'think' yang menyertai 'parent'. Bukan sekadar parenting," buka Mona.
Mona pernah menjadi orangtua yang tidak tahu apa-apa. Wanita kelahiran Jakarta, 31 Januari 1982, menyebutnya "masa-masa gelap". Betapa dia sekali waktu sangat terkejut dengan pernyataan anak sulungnya, Davina Syafa Felisa (11), yang tidak menyukainya sebagai ibu.
"Aku enggak suka ibu kayak Bunda, aku mau pergi dari rumah. Dia bilang begitu sambil berkemas,” ungkap Mona. "Dari situ muncul bayangan seandainya Davina bicara seperti itu saat umurnya 16 atau 17 tahun. Sudah pasti kabur betulan," istri Indra Brasco ini merasa ngeri.
Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu bagi Mona untuk segera melakukan sesuatu.
"Untungnya saya tidak seperti orangtua kebanyakan di zaman dulu. Davina tidak saya hukum. Justru saya yang instropeksi diri dan mulai mencari tahu apa yang salah," ujar Mona yang langsung melahap buku-buku parenting dan berselancar di dunia maya untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi.
Sebagai orang yang termasuk malas membaca, belajar menjadi orangtua lewat seminar lebih menjadi favoritnya. Sayangnya, kegiatan seminar tidak selalu kompromi dalam hal waktu. Mona yang ketika itu cukup sibuk sebagai artis, sering luput mengikuti seminar yang diinginkan karena bentrok dengan jadwal kerja.
"Dari situ saya mulai menggagas untuk membuat seminar sendiri," kata Mona. "Saya ajak beberapa teman yang mempunyai kebutuhan sama. Dengan bareng-bareng teman, seminar jadi seru. Selain itu biaya yang dibutuhkan bisa ditekan karena patungan, hehehe," selorohnya.
(wida/adm)