Penentuan tarif cukai rokok selalu menjadi perdebatan dan mengundang polemik di kalangan masyarakat. Tak banyak yang tahu kalau dalam proses penyusunannya begitu kompleks dan melibatkan banyak pihak.
Berdasarkan 20 tahun pengalaman, penulis menguak secara transparan berbagai hal di balik proses penyusunan tarif cukai yang jarang diketahui masyarakat umum. Mulai dari latar belakang pertimbangan yang diambil, berbagai perubahan sistem, dasar kebijakan yang seolah saling berlawanan, cerita di balik peristiwa uji materiel PMK-167/PMK.011/2011, peta jalan simplifikasi struktur tarif cukai Hasil Tembakau, hingga pengenaan cukai untuk produk vape (e-liquid/e-juice).
Ditulis secara lugas dan popular, buku ini bisa menjadi panduan penyusunan dan pertimbangan kebijakan tarif cukai Hasil Tembakau di Indonesia bagi pemerintah, pembuat kebijakan, akademisi, pelaku industri, dan mahasiswa perpajakan, khususnya cukai Hasil Tembakau.
Endorsment
“Dinamika Kebijakan Tarif Cukai Rokok di Indonesia merupakan buku yang padat informasi. Terutama untuk yang ingin mengetahui berbagai teka-teki terkait berbagai hal di balik kebijakan cukai yang selama ini tidak terpublikasikan. Buku ini secara detail mengupas dasar alasan penggolongan besaran tarif cukai berdasarkan jumlah produksi untuk masing-masing jenis rokok SKM, SPM, dan SKT. Juga, dasar pertimbangan perbedaan klasifikasi usaha industri, di mana ada yang masuk PKP dan non-PKP. Termasuk memaparkan tantangan pemerintah dalam mengupayakan playing field yang tepat melalui stuktur tarif cukai berjenjang. Pasalnya, stuktur industri rokok Indonesia sangat majemuk dengan jumlah pabrik mencapai 800-an, sedangkan di negara lain tak lebih dari 10 pabrik. Untuk itu, buku ini dapat dijadikan referensi yang sangat berguna bagi semua pemangku kepentingan dalam menyusun roadmap tarif cukai ke depan yang proporsional dan berkeadilan. Dengan demikian, dapat mengakhiri kegaduhan setiap penetapan tarif cukai IHT, dan tidak perlu lagi Presiden turun tangan mengurus masalah cukai.”
--Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
“Kebijakan pemungutan cukai, terutama atas Hasil Tembakau, tak jarang menyulut kontroversi. Pertarungan kepentingan dan ketidakjelasan arah kebijakan kadang menyisakan ruang gelap yang penuh tanda tanya. Di sisi lain, institusi pemungut cukai terus menjadi tumpuan bagi pundi-pundi negara. Untuk itu, kompleksitas masalah di sektor ini perlu secara jernih diurai dan dipahami. Buku ini tidak sekadar penting, tapi juga hadir pada waktu yang tepat. Menampik tuduhan serampangan seolah kebijakan pemungutan cukai tak cukup matang, buku ini membuka tabir dan membabar banyak hal baru yang selama ini tersembunyi. Sikap penuh kehati-hatian ini patut dijadikan kiblat pergumulan para pengambil kebijakan.”
--Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
Nukilan Buku
Kata Pengantar
Frans Rupang
Direktur Cukai 2005-2009
Membaca buku Dinamika Kebijakan Tarif Cukai Rokok mengingatkan saya kembali pada 2006-2008, saat terjadi noise karena Kementerian Keuangan berencana memberlakukan sistem Tarif Cukai Rokok Spesifik dari sebelumnya Tarif Cukai Ad Valorem. Kegaduhan ini sampai dibahas antarmenteri, yaitu Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian. Bahkan dalam diskusinya sampai ada opsi pembahasan di level parlemen.
Untuk menjembatani situasi itu, Menteri Keuangan menyarankan untuk membuat roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT). Dari roadmap inilah menjadi awal dari kebijakan tarif cukai rokok yang memiliki pola baku dan terkonfirmasi ke seluruh stakeholder sektor rokok. Prioritas kebijakan disampaikan sesuai periode yang disepakati antara aspek penerimaan, tenaga kerja, dan kesehatan. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, roadmap IHT ini memiliki output yang terukur. Jumlah industri tidak terlalu besar yang menyulitkan pengawasan. Industri yang bertahan adalah yang benar-benar berusaha dengan baik di industri rokok dan bukan yang sekadar jual-beli pita.
Pembahasan pada buku ini, perihal beralihnya Sistem Tarif Cukai Ad Valorem ke Tarif Cukai Spesifik menjadi sangat menarik dan bisa ditelaah secara umum oleh masyarakat. Asumsi yang menjadi rekomendasi dan dampak kebijakan bisa diukur sesudah diberlakukan. Ini yang menurut saya bisa menjadi catatan dengan disusunnya buku ini.
Pada 2006-2008, pegiat anti-tembakau baru dalam tahap awal concern dengan kebijakan tarif cukai rokok sebagai instrumen dominan. Itulah mengapa salah satu pertimbangan roadmap adalah aspek kesehatan. Kebijakan tarif cukai mulai saat itu tidak lagi bisa bersifat eksklusif yang hanya dibahas internal Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun menghadiri dan mengikuti berbagai workshop dalam rangka meminta masukan dan memberi informasi kebijakan cukai yang telah dilakukan.
Terakhir, selamat membaca buku ini. Khususnya bagi mereka yang interested dengan dunia cukai, buku ini sangat urgent dibaca. Dengan jumlah literatur cukai yang minimal di berbagai toko buku, maka buku ini bisa menjadi semacam oase.
Marisi Zainuddin Sihotang
Direktur Cukai 2015-2018
Dari keseluruhan pengabdian saya di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), saya memiliki paradigma baru terkait peran DJBC bagi Indonesia. Dari aspek kewenangan, maka kewenangan DJBC sangat luas dan tak terbatas hanya di pelabuhan atau kawasan lain yang secara undang-undang memang diatur. Khusus untuk sektor cukai, maka kewenangan DJBC adalah seluruh wilayah Indonesia. Mengapa demikian? Karena seluruh peredaran Barang Kena Cukai menjadi tanggung jawab DJBC dalam hal kepatuhan pembayaran cukainya.
Dari aspek kontribusi penerimaan, DJBC harus mengoptimalkan sektor cukai agar lebih bisa berkontribusi ke negara ini. Data OECD menyatakan, kita masih ketinggalan jauh dibanding negara lain. OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) merupakan sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Di dunia, kontribusi penerimaan cukai tertinggi terhadap PDB adalah Bolivia, yaitu sebesar 7,8% disusul Turki sebesar 5%. Kontribusi penerimaan cukai Indonesia hanya 1,2% terhadap PDB. Ini bisa dimaklumi karena jumlah barang kena cukai sangat sedikit, yaitu Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Hasil Tembakau. Masih jauh dari negara lain yang jumlahnya 5 sampai dengan 10 Barang Kena Cukai. Bagi DJBC, masih sangat luas potensi cukai yang bisa dioptimalkan sebagai sumber penerimaan. Lebih jauh lagi, sebagai penopang Tax Ratio selagi sektor perpajakan yang dikelola Ditjen Pajak justru mengalami penurunan dari 11,4% pada 2012 menjadi hanya 10,1% pada 2017. Gerakan sadar cukai harus menjadi jiwa seluruh aparat DJBC dalam bertugas di samping tugas berat DJBC di bidang kepabeanan.
Dengan kontribusi cukai ke PDB 1,2% atau 10,2% ke APBN serta mempertimbangkan besarnya dominansi penerimaan cukai rokok (95%) maka diperlukan kecermatan dalam pembuatan kebijakan tarif cukai rokok. Kita memiliki jenis Hasil Tembakau sigaret, rokok daun, cerutu, dan tembakau iris. Untuk lebih adilnya, sigaret kita kategorikan menjadi Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Putih Mesin, dan Sigaret Kretek Tangan. Dengan mempertimbangkan skala industrinya, bahan bakunya, padat karyanya, dan aspek lainnya, kebijakan tarif cukai rokok dirumuskan.
Dalam prosesnya, selalu melibatkan stakeholder terkait baik dari pemerintah maupun dari pelaku usaha dengan dikoordinasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal dalam pembahasannya. Untuk objektivitasnya dilibatkan akademisi untuk menjaga independensi. Semua pihak berhak mengusulkan kebijakan sebagai bahan pertimbangan. Sebagaimana rutinitas tahunan, Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai menerima berbagai tanggapan dan masukan untuk proses penyusunan kebijakan tarif cukai rokok. Untuk lebih rinci bagaimana mengelola dan mempertemukan berbagai kepentingan tersebut, maka buku Dinamika Kebijakan Tarif Cukai Rokok bisa menjadi jawaban.
Bagaimana golongan perusahaan dibuat dan dipertimbangkan? Menyalahi prinsip penarifan cukaikah? Lalu, kenapa grafik dari pergerakan tarif cukai tidak linear atau bahkan menyerupai gelombang sinus? Dan yang tak kalah menarik, kenapa sampai pemerintah kalah ketika PMK 167/PMK.011/2011 diuji materiel? Banyak Untold Story yang perlu diketahui.
Muhamad Purwantoro
Direktur Cukai 2012-2015
Topik mengenai arah kebijakan pemerintah terhadap pertembakauan sudah sering menjadi bahan diskusi dan sering menjadi bahan perdebatan di banyak forum. Namun, referensi mengenai topik tersebut dalam bentuk buku masih sangat jarang kita temukan. Catatan-catatan mengenai kebijakan pemerintah terhadap pertembakauan terserak di masing-masing Kementerian Teknis, sehingga tidak banyak masyarakat yang bisa memanfaatkan dan menjadikannya bahan pelajaran. Apalagi, kebanyakan catatan-catatan tersebut tersaji dalam bentuk yang terlalu teknis sehingga sulit untuk dicerna.
Kebijakan terkait rokok atau Hasil Tembakau di Indonesia adalah jalan yang panjang dan penuh liku. Ada banyak pihak yang berkepentingan dan peduli dengan persoalan rokok tersebut. Fakta bahwa sampai saat ini Indonesia belum menandatangani dan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau mengisyaratkan bahwa persoalan rokok di Indonesia ini benar-benar multidimensi.
Kementerian Kesehatan memiliki banyak program agar kesehatan masyarakat membaik. Kementerian Perindustrian peduli pada angka pertumbuhan industri rokok, sehingga suaranya cenderung untuk memberikan iklim yang ramah bagi industri. Kementerian Tenaga Kerja fokus pada penyerapan tenaga kerja, sehingga beberapa kebijakan kementerian lain yang mengancam pemutusan hubungan kerja cenderung untuk ditolak. Bahkan beberapa kepala daerah juga bersuara keras setiap ada rencana kebijakan pemerintah terkait tembakau tersebut, karena dinilai akan berdampak negatif terhadap rakyatnya. Meskipun kadang penilaian atas dampak tersebut sering dilihat dari satu sudut pandang saja, misalnya dari sisi tenaga kerja. Bagaimana dengan posisi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kementerian Keuangan?
Kerasnya pertentangan antara para stakeholder pada persoalan rokok ini telah membawa instrumen tarif cukai rokok yang dikelola Kementerian Keuangan, dalam posisi yang strategis. Kementerian Keuangan justru bisa menempatkan diri untuk menjadi tempat berkumpulnya semua kepentingan kelompok dengan keyakinannya masing-masing yang sudah membelenggu. Tarif cukai rokoklah yang membuat banyak pihak tersebut terpanggil untuk selalu turut serta membahas dan mendiskusikannya.
Mereka terpanggil untuk tidak melewatkan pembahasan terkait tarif cukai rokok karena bisa memengaruhi banyak hal. Tarif cukailah yang diharapkan akan mendukung efektivitas pengendalian konsumsi tembakau, tarif cukailah yang diharapkan mendorong penyerapan tenaga kerja, tarif cukailah yang diharapkan ramah terhadap keberlangsungan industri rokok, tarif cukailah yang diharapkan bisa menekan peredaran rokok ilegal, bahkan tarif cukailah yang diharapkan bisa melindungi keberadaan “warisan budaya” berupa kretek, dan tarif cukai jugalah yang akhirnya bisa menjadi salah satu titik temu penting yang menentukan banyak harapan dalam kebijakan pertembakauan di Indonesia.
Kehadiran buku ini layak mendapat sambutan positif. Selain akan memperkaya referensi terkait pertembakauan, buku ini juga penting untuk membuka cakrawala masyarakat mengenai kebijakan hasil tembakau, dan lebih objektif dalam menilai saat nanti ada lagi (dan lagi) pembahasan mengenai pertembakauan, khususnya tarif cukai rokok yang biasanya selalu “panas” dan seolah-olah tak berujung.
Heru Pambudi
Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
Fungsi pengenaan cukai atas suatu barang ada dua hal, yaitu regullerend (pengaturan) dan budgetair (penerimaan). Instrumen yang digunakan dalam menjalankan dua fungsi tersebut adalah tarif cukai. Dalam implementasinya, selain sebagai alat pengendalian konsumsi rokok, tarif cukai di Indonesia juga sebagai instrumen fiskal supaya persaingan industri rokok fair sehingga pabrik besar tidak “memakan” pabrik menengah atau kecil. Bahkan untuk jenis rokok yang sifatnya labour intensive, dengan tarif cukai bisa digunakan untuk membantu melindungi tenaga kerja dengan memberi preferensi tarif yang rendah.
Dua fungsi cukai regullerend (pengaturan) dan budgetair (penerimaan) oleh Kementerian Keuangan dijalankan secara paralel. Industri rokok di Indonesia berbeda secara karakteristik dengan negara lain. Kontribusi cukai masih signifikan dibanding negara lain. Di antara negara ASEAN, kontribusi cukai rokok di Indonesia masih tertinggi. Kontribusi cukai rokok kepada APBN mencapai 10%, dan ini di atas Filipina yang hanya 4%. Thailand di angka 2%, sedang negara lainnya paling tinggi 1%. Demikian juga halnya dengan kontribusi terhadap tenaga kerja. Penelitian Ernst & Young mencatat bahwa kontribusi tenaga kerja di sektor rokok mencapai 5,98 juta orang. Oleh karenanya, kita tidak bisa hanya mengedepankan faktor regullerrend.
Mempertimbangkan hal tersebut di atas, dalam merumuskan kebijakan tarif cukai rokok terdapat empat aspek pertimbangan kebijakan, yaitu aspek pengendalian konsumsi, penerimaan, tenaga kerja, dan rokok ilegal. Empat aspek ini yang disebut Empat Pilar Kebijakan Tarif Cukai Rokok.
Dalam implementasinya, fungsi pengendalian konsumsi tercapai dengan ditandai tren produksi rokok (slope) negatif -0,017. Dari aspek penerimaan juga berhasil mengingat target cukai secara umum tercapai. Dengan demikian, dua fungsi utama cukai tercapai, dan dari aspek tenaga kerja dampak kebijakan tarif cukai rokok masih bisa di-handle.
Aspek rokok ilegal adalah aspek yang sangat perlu dipertimbangkan dalam membuat kebijakan tarif cukai rokok. Pertama, kita tidak ingin pengendalian konsumsi hanya bagus secara formalitas, tetapi juga realitas. Kedua, di beberapa wilayah, masyarakatnya telah memiliki kebiasaan membuat rokok secara turun-temurun. Jika beban tarif cukai sangat memberatkan, mereka berpotensi memproduksi rokok ilegal karena tak mampu membayar cukai. Survei Universitas Gadjah Mada telah menunjukkan, peredaran rokok ilegal pada 2018 menurun dari 2016, yang semula 12,1% menjadi 7,04%. Peran kebijakan tarif cukai rokok yang baik telah mendukung pengendalian rokok ilegal, di samping aspek penindakan. Situasi ini harus dijaga dan aspek kebijakan tarif cukai rokok ada di dalamnya.
Membaca buku ini, kita akan ikut memahami betapa aspek kebijakan tarif cukai rokok di Indonesia sangat kompleks. Membukukan dan mendokumentasikan adalah langkah bagus agar semua pihak bisa mengetahui. Meskipun menggunakan kata “Untold Story” dalam judulnya, tetapi secara konten boleh dibaca dan dinikmati.