Setelah Dahlan Iskan tak lagi menulis di Jawa Pos, banyak pembacanya yang kehilangan. Atas usulan temannya, Dahlan bersedia menulis kembali dalam media yang benar-benar baru baginya: disway.id. Tak disangka, artikel pertamanya di hari pertama tak bisa diakses karena begitu banyak netizen yang mengakses.
Kini setahun hampir berlalu, lebih dari 5 juta orang telah membaca DI’s Way. Setiap pagi, follower-nya setia menanti tulisan-tulisannya tentang berbagai hal: ideologi, jurnal kesehatan, catatan perjalanan, hingga cerita tentang orang-orang yang ditemuinya.
Puluhan kisah tentang orang-orang hebat dipilih untuk buku ini . Di antaranya, Rustono, pengusaha tempe di Jepang; Nurhayati, pemilik brand kosmetik lokal yang mendunia; Imam Shamsi Ali, pendiri pesantren pertama di Amerika; Irwansyah, pengusaha pupuk sederhana yang menjelma menjadi bulog desa dan menyelamatkan hidup petani di desanya. Pantaslah jika Dahlan menyebut mereka sebagai Pribadi-Pribadi yang Menginspirasi, yang kemudian dihadirkan Dahlan untuk menginspirasi kita semua.
Kutipan Buku
Profesor Egaliter untuk yang Tanpa Kasir
Inilah profesor yang ideal: badannya langsing, tidak pernah masuk rumah sakit, tidak pernah minum obat, dekat dengan mahasiswa, egaliter, aktif di penelitian, menciptakan sesuatu, dan semua hal yang ideal-ideal.
Di kartu namanya tidak dicantumkan gelar apa pun. Hanya: Raldi Artono Koestoer. Gelar akademisnya entah disimpan di mana: profesor, doktor, MSc, insinyur.
Waktu saya masuk ruangannya, Prof. Raldi lagi asyik di depan komputer. Dr. Ir. Mohammad Aditya memberitahukan kedatangan saya. Wakil Direktur Pusat Riset Universitas Indonesia ini baru berumur 40 tahun. Lulusan UI dan Jerman.
Prof. Raldi terjungkit saat melihat saya datang. ''Dapat rezeki apa saya didatangi Pak Dahlan,'' ujarnya.
Saya merasa bersalah. Baru sekali ini bertemu Prof. Raldi. Saya akan terus menulis namanya "Prof Raldi". Biarpun Prof. Raldi minta agar saya jangan memanggil begitu.
Saya pun dirangkulnya. Saya lirik kakinya: pakai sandal jepit.
Di ruang sebelahnya, di Gedung Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini, seorang mahasiswa memainkan laptop. Bisa saya lihat lewat sekat kaca di ruangan itu. Di depan mahasiswa itu tergolek sesosok bayi. Dalam sebuah inkubator. Agak aneh: bayi itu bule. Seperti bayi pasangan suami–istri Prancis.
Ternyata, itu boneka.
Saya pun digandeng ke ruang sebelah. Mahasiswa tadi tidak terusik. Ternyata, lagi bikin software. Untuk digitalisasi inkubator tersebut.
Itulah inkubator hasil desain Prof. Raldi. Yang lahir akibat banyaknya kejadian: meninggalnya bayi prematur dari keluarga miskin.
Kekhususan inkubator UI ini: hanya butuh listrik 50 watt. Cocok untuk rumah orang miskin di Indonesia. Bandingkan dengan yang impor: 400 watt.
Aneh, kata profesor 64 tahun ini, di negara tropik ada inkubator dengan power 400 watt.
Kalau itu di Barat, bisa dimengerti. Di sana, suhu udara bisa sangat dingin. Tapi dasar mental importir, yang tidak logis pun diimpor.
Kelebihan lain: beratnya hanya 13 kg. Bisa ditenteng dari desa ke desa. Dibuat knock-down pula.
Tidak menimbulkan suara sama sekali. Tidak dipasangi kipas di dalamnya. Dan ... harganya hanya Rp3,5 juta. Bukan Rp40 juta. Atau, Rp50 juta. Seperti harga impor.
Kakaknyalah yang sebenarnya yang berhasil mengetuk sanubarinya. Sang Kakak menantang Prof. Raldi untuk mengatasi kematian bayi miskin. Bayi prematur.
Prof. Raldi pun mempelajari prinsip-prinsip dasar inkubator: penghangat, merata dan cukup udara.
Begitu simpel. Pikirnya.
Kenapa begitu mahal. Pikirnya.
Kok boros listrik. Pikirnya.
Berpikir.
Ciri intelektual memang berpikir.
Dan, intelektual egaliter berpikir lebih keras: karena harus disertai misi.
Misi utama ia tetapkan: hanya untuk menolong orang miskin. Di kartu namanya memang tertulis: Socio-technopreneur. Peminjaman inkubator gratis untuk Nusantara.
Saya bayangkan: betapa larisnya inkubator UI ini kalau dijual untuk umum.
Tapi, Prof. Raldi sudah teguh: hanya melayani pembeli khusus. Yakni, pembeli yang mau jadi relawan UI: meminjamkan inkubator itu untuk orang miskin. Termasuk mau mengantarkan ke rumah bayi. Dan, mengambilnya kembali.
Tidak boleh si orang miskin mengambil sendiri. Atau, harus mengembalikan. Itu akan menimbulkan biaya. Bisa-bisa bayinya mati. Karena, tidak punya uang untuk mengambil inkubator.
Kini sudah ada 70 relawan seperti itu. Di 70 kota. Relawan di Jember misalnya, mengantar inkubatornya sampai ke Banyuwangi.
Permintaan inkubator itu bisa langsung ke relawan. Atau lewat UI: ada nomor telepon yang bisa di SMS atau WhatsApp. Ada di kartu nama Prof. Raldi.
Dari mana tahu kalau yang kirim SMS itu miskin atau tidak?
''Kita kirimkan sejumlah pertanyaan,'' ujar Prof. Raldi. Lulusan UI dan Prancis itu.
Penjelasan Prof. Raldi berikutnya membuat saya tertawa ngakak.
''Kalau jawaban SMS itu kacau pasti dia miskin,'' ujarnya.
Ada juga rumah sakit yang ingin membeli. Lalu, dilayani. Tanpa diteliti apakah rumah sakit itu kaya atau miskin. Prof. Raldi cukup melihat nama rumah sakit itu: Rumah Sakit Tanpa Kasir. ''Tahu sendiri kan, apa artinya?'' ujar Prof. Raldi.
Lokasinya di Tangerang Selatan.
Atau, rumah sakit di Bandung ini. Namanya: RSBC. Singkatan dari Rumah Sakit Bersalin Cuma-Cuma.
Masih ada beberapa lagi ciptaan Prof. Raldi. Tapi, acara mahasiswa Teknik Mesin ini segera dimulai: MME Summit. Dekan FT UI yang juga egaliter itu, Prof. Dr. Ir. Hendri DS Budiono sudah menunggu.
Meski mengaku belum profesor, saya memanggil beliau begitu. Yang belum itu kan hanya administratif saja. Kelas dan kualitasnya, kan, sudah.
Dan lagi, kami belum shalat zhuhur. Prof. Raldi mengajak saya ke mushala. Saya kumandangkan iqamah. Prof. Raldi yang jadi imam.
Penuh sekali mushala itu.
Doa ribuan orang miskin memberkahinya. (Dahlan Iskan)
KOMENTAR
Dear Abah,
Izinkan saya mewakili mental importir hihihi .…
Dikarenakan tidak dijual bebas, maka bagaimana lagi? Jadi, mau tidak mau kami impor. Padahal, jika mahakarya Prof. itu bisa dimassalkan tentunya biaya ke rumah sakit akan turun. Minimal begitu.
Tentunya, pembiayan BPJS akan sedikit turun karena harga inkubator relatif lebih murah.
Tentunya, tidak ada istilah BPJS nunggak bayar ke rumah sakit. Kasihan Bah, banyak rumah sakit yang kolaps gara-gara BPJS tidak mencairkan dananya.
Ujung-ujungnya malah berselisih dengan mengatakan bahwa rumah sakit curang membuat data fiktif. Ayolah, minta BPJS atau Pak Presiden. Biar membantu biaya rumah sakit.
Salam impor. Hehehe.
Saeful
budksunda@gmail.com
In reply to saeful.
Like this comment .…
Reality shows absolutely right .…
Harusnya jika BPJS mau diberlakukan luas ... perluaslah investasi di bidang kesehatan. Berikan beasiswa seluas-luasnya bagi orang tidak mampu untuk sekolah kedokteran maupun spesialis bagi dokter yang memang mau melanjutkan studinya.
Hapuskan pajak barang mewah dari alat kesehatan yang nilainya ratusan juta. Bila perlu investasi juga ke rumah sakit dengan sistem yang menguntungkan. Investasi stok obat dengan subsidi obat-obat mahal.
Buat iklim yang nyaman bagi fasilitas kesehatan untuk tumbuh dengan wajar. Jangan semua dibalik. Nunggu duit dari BPJS kumpul, baru kasih palayanan. Apa bedanya sama swasta murni?
Lagian ini juga buat rakyat dan manfaatnya akan sangat luas. Pasien kritis tak perlu lagi dirujuk ke center karena alasan alat tidak ada, fasilitas tidak lengkap.
Andrian
mazz.rian88@gmail.com
Dari komentar di atas satu komentar “negeri mental importir ...” sangat perlu diperhatikan. Semoga pemimpin dan konsumen segera dapat berubah. Berpikir dan bertindak untuk negerinya.
Pemimpin berpikir bagaimana agar barang luar negeri yang diburu konsumen bisa diganti dengan buatan dalam negeri.
Pembeli/konsumen suka dan dapat mengganti barang luar negeri dengan produk dalam negeri. Ahli dalam negeri bisa membuat alat yang competible dengan produk luar negeri.
Pedagang suka menjual produk dalam negeri.
Hanya satu saja dari organ di atas yang bekerja, niscaya tidak akan sebaik yang diharapkan.
Jadi, semua komponen harus bekerja dan bersedia melakukan demi negeri. Jangan hanya orang miskin saja. Begitu sudah jadi kaya, tidak mau lagi. Begitu seterusnya.
Sarno
sarno@wands-law.com
Anak bangsa yang baik, yang berkontribusi, yang berpotensi memberikan manfaat besar ... yang “melawan arus” … sepertinya memang banyak. Mungkin tidak banyak atau kurang terekspos. Mungkin “membutuhkan bantuan” yang masif agar kebaikan dan kontribusinya mengalahkan “arus duniawi saja” ….
Terima kasih, Abah. Salam sehat dan berkah selalu. Dari kami anak-anak muda yang selalu ingin mendapatkan bimbingan dan pencerahan seperti ini.
Tidofriends Kids
tidofriends@gmail.com
“Dasar mental importir, yang tidak logis pun diimpor.” Good quote.
Taufik WB
taufikwb78@gmail.com
Pak, saya mau jadi relawan UI untuk daerah Magetan, Jawa Timur, dan sekitarnya. Bagaimana caranya? Saya harus apa?
Salahudin al Ayubi
saladinal86@gmail.com
Ingin ikut berkomentar mewakili mental importir. Bila seseorang ingin membuat rumah sakit yang komersial dan ada NICU atau ruang perawatan bayi, lalu mencari penyedia inkubator di pasaran, yang ada hanya inkubator buatan luar negeri yang tidak logis.
Kabarnya ada inkubator lokal yang logis, cuma tidak bisa dibeli karena rumah sakitnya komersial. Pilih buka rumah sakitnya batal atau pilih inkubator impor dan rumah sakit tetap buka? (Silakan lihat dari perspektif tenaga kesehatan yang sedang mencari pekerjaan).
Bila memang tetap memilih impor inkubator yang tidak logis, otomatis biaya investasi membengkak sehingga biaya perawatan akan menyesuaikan untuk pengembalian investasi.
Apakah tetap salah pemerintah kalau hal ini sampai terjadi? Apakah bukan salah penemu dan peneliti kita yang tidak mau penemuannya dijual komersial dan bersaing dengan produk impor?
Gunawan Eka Putra
gunawaneka.p@gmail.com
Saya dan teman-teman dari SR Kendal tertarik untuk jadi relawan inkubator di daerah kami. Mohon info lebih lanjut agar harapan kami terlaksana.
Ariyani
ariyani.pujiastuti@yahoo.co.id