Ketersediaan : Tersedia

GREAT EXPECTATIONS (REPUBLISH 2022)

Deskripsi Produk

Sebagai bocah yatim piatu yang tinggal bersama kakak perempuan dan suaminya, Pip tidak pernah memiliki harapan. Namun ketika dia mulai mengunjungi seorang wanita tua kaya raya, Miss Havisham, dan keponakan angkatnya, Estella, mulailah Pip mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Kemudian Pip mewarisi sejumlah besar uang dari seseorang misterius, dan dia…

Baca Selengkapnya...

Rp 129.000

Rp 109.650

Sebagai bocah yatim piatu yang tinggal bersama kakak perempuan dan suaminya, Pip tidak pernah memiliki harapan. Namun ketika dia mulai mengunjungi seorang wanita tua kaya raya, Miss Havisham, dan keponakan angkatnya, Estella, mulailah Pip mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Kemudian Pip mewarisi sejumlah besar uang dari seseorang misterius, dan dia pun pindah ke London untuk belajar menjadi pria terhormat.

Charles Dickens, salah satu penulis yang paling dicintai dalam Sastra Inggris, telah menikmati kemasyhuran selama hidupnya. Selain dikenal lewat novel-novelnya, Dickens juga bekerja sebagai jurnalis serta menulis esai dan drama. Karya-karya Dickens dipuji karena mempunyai daya tarik bagi semua kalangan. Lewat potretnya terhadap tokoh utama yang tak terlupakan dan mengundang simpati, tokoh antagonis yang menyeramkan, serta karakter-karakter jenaka, dia mengomentari sisi baik dan buruk manusia dalam masyarakat.

 

Great Expectations adalah kisah yang fantastis dan kita dapat becermin di dalamnya.”

-The New Yorker

 

“Salah satu novel paling brilian yang pernah ditulis.”

-Jenny Hartley, Pengarang dan Profesor Sastra Inggris

di Roehampton University

 

BAB 1

Nama keluarga ayahku Pirrip, dan nama baptisku Philip, tetapi yang bisa diucapkan secara singkat dan jelas oleh lidah bayiku adalah Pip. Maka, aku menyebut diriku Pip dan semua orang pun me manggilku Pip. Aku mengetahui bahwa Pirrip adalah nama keluarga ayahku, selain dari batu nisannya, juga dari kakakku, Mrs. Joe Gargery, yang menikah dengan pandai besi. Aku tidak pernah berjumpa dengan ayah atau ibuku dan tidak mengetahui wujud mereka (karena mereka hidup lama sebelum foto ditemukan), bayangan pertamaku mengenai sosok orangtuaku mau tidak mau kuperoleh dari batu nisan mereka. Bentuk abjad di batu nisan ayahku memberiku gagasan aneh bah wa dia berbadan tegap, kekar, berkulit gelap, dan berambut ikal hi tam. Dari lekak-lekuk tulisan, “Terbaring Juga, Georgiana, Istri Pria di Atas,” otak kanak-kanakku menyimpulkan bah wa ibuku sakit-sakitan dan wa jah nya berbintik-bintik. Untuk lima batu nisan belah ketupat kecil, masing-masing setinggi sekitar setengah meter, yang berderet r a pi di samping makam orangtuaku dan menyimpan kenangan sa kral k elima adik lelakiku—yang menyerah pada tahap sangat dini da lam perjuangan menghadapi kehidupan—aku yakin seyakin-yakin nya bah wa mereka semua terlahir dalam posisi berbaring dan mengan-tongi tangan, tanpa pernah mengeluarkannya di dunia ini.

Kami tinggal di desa berawa dekat sungai, sekitar dua pu luh mil dari laut. Ingatan terjelas pertamaku mengenai iden titas sepertinya ku dapatkan pada suatu sore yang berkesan. Ketika itulah aku tahu bahwa tempat sunyi yang dipenuhi paku-pakuan ini adalah ku bur an gereja; dan bahwa Philip Pirrip, mantan jemaat gereja ini, juga Geor-giana istrinya, su dah meninggal dan dikubur; dan bahwa Alexander, Bartho  lomew, Abraham, Tobias, dan Roger, bayi mereka, juga sudah me ninggal dan dikubur; dan bahwa dataran liar dan gelap di dekat ku buran, yang hanya dipisahkan oleh tanggul, gundukan-gunduk an tanah, dan gerbang, dan sesekali dikun jungi hewan ternak, adalah rawa; dan bahwa garis kelabu di bawa hnya adalah sungai; dan bahwa sarang makhluk ganas di ke jauhan, tempat angin berasal, adalah laut; dan bah wa bun tal an kecil yang gemetar dan takut pada semuanya, lalu mu lai menangis, adalah Pip.

“Jangan berisik!” seru suara parau milik pria yang men dadak ber diri di tengah kuburan di dekat teras gereja. “Diam, Iblis Kecil, atau kugorok lehermu!”

Tampaklah seorang pria garang berpakaian abu-abu kumal dengan belenggu besi besar di kakinya. Dia tidak bertopi, sepatunya jebol, dan kain kumal membungkus kepalanya. Pria itu basah kuyup, berlepotan lumpur, kakinya luka akibat menginjak-injak batu, dan tubuhnya lecet-lecet akibat belenggu besi, duri, dan semak-semak gatal; dia pincang, ge   metar, memelotot, dan menggeram; dan giginya ber  gemeletuk saat dia menyambar daguku.

“Oh! Jangan gorok leherku, Sir,” aku memohon dengan ngeri. “Tolong, jangan lakukan itu, Sir.”

“Sebutkan namamu!” ujarnya. “Cepat!”

“Pip, Sir.”

“Sekali lagi,” pria itu memelototiku. “Yang keras!”

“Pip. Pip, Sir.”

“Tunjukkan rumahmu,” katanya. “Tunjukkan tempat itu!” Aku menunjuk desa tempat tinggal kami, dataran di antara pepo honan alder dan pollard, sekitar satu mil dari gereja.

Pria itu, setelah menatapku sejenak, menjungkirbalikkanku se-hingga isi sakuku berjatuhan. Tidak ada apa-apa di dalamnya selain se  potong roti. Begitu gereja kembali tegak—saking perkasanya dia, se konyong-konyong badanku sudah terbalik sehingga menara ge reja seolah-olah pindah ke bawah kakiku—aku duduk di atas se-bu ah batu nisan tinggi, gemetar, sementara dia menyantap rotiku de  ngan lahap.

“Hei, Bocah,” kata pria itu sambil menjilati bibir, “pipimu tem  bam.”

Pipiku memang tembam walaupun badanku termasuk kecil dan lemah untuk anak seumurku.

“Menggiurkan sekali,” kata pria itu dengan gelengan mengancam, “aku gila kalau tidak ingin memakannya.”

Dengan jujur, kuungkapkan harapanku agar dia tidak memakan pipi ku. Aku berpegangan erat pada batu nisan yang kududuki, se-bagian agar tidak jatuh, dan sebagian untuk menahan tangis.

“Lihat ke sini!” perintah pria itu. “Di mana ibumu?”

“Di situ, Sir!” jawabku.

Dia terhenyak, mundur beberapa langkah, lalu berhenti dan me nengok ke belakang.

“Di situ, Sir!” terbata-bata, aku menjelaskan. “Terbaring Juga Georgiana. Itu ibuku.”

“Oh!” dia kembali. “Dan ayahmukah yang dikubur bersama-nya?”

“Ya, Sir,” jawabku, “dia juga sudah meninggal; mantan jemaat gereja ini.”

“Ha!” gumamnya sambil berpikir. “Jadi, kau tinggal de ngan siapa—kalau aku membiarkanmu hidup walaupun itu be lum ku-putuskan.”

“Kakakku, Sir—Mrs. Joe Gargery—istri Joe Gargery, si Pandai Besi, Sir.”

“Pandai besi, ya?” katanya. Dia menunduk mantap ke kaki nya. Setelah beberapa kali mengalihkan pandangan suramnya antara aku dan kakinya, dia mendekati batu nisan yang kududuki, meme-gang kedua lenganku, dan mendorongku ke belakang sejauh mungkin agar tatapannya kepadaku kian tajam dan tatapanku kepadanya kian ke habisan daya.

“Lihat ke sini,” katanya, “ini masalah hidup dan matimu. Kau tahu kikir?”

“Ya, Sir.”

“Kau juga tahu belati?”

“Ya, Sir.”

Sehabis melontarkan setiap pertanyaan, dia mendorongku se  makin jauh, sehingga aku semakin merasa tidak berdaya dan ter-a n cam bahaya. 

“Ambilkan kikir untukku.” Dia mendorongku. “Dan belati.” Dia mendorongku lebih jauh. “Bawakan keduanya kemari.” Lagi-lagi dia mendorongku. “Kalau kau tak ingin jantung dan hatimu ter  burai.” Dia terus mendorongku.

Aku benar-benar ketakutan dan lemas. Aku berpegangan ke-pa da  nya dengan kedua tanganku dan berkata, “Mohon tegakkan ba  dan  ku dahulu, Sir, agar aku tidak mual, dan mungkin bisa lebih mem  bantu.”

Dia mendadak menjungkirbalikkanku, sehingga gereja seolah-olah melompati ayam jantan penanda angin di atapnya. Kemudian, dia mencengkeram lenganku dan menegakkanku di atas batu nisan sebelum menyampaikan pesan sarat an cam an:

“Besok pagi, berikan kikir dan belati itu kepadaku. Bawa ke dua nya ke Battery tua di sana. Lakukan saja, jangan coba-coba 

menga ta kan atau mengisyaratkan apa pun bahwa kau pernah bertemu de ngan ku atau siapa pun, dan kau akan tetap hidup. Jika tidak, atau ka lau kau membocorkan omonganku kepada orang lain, sesedikit apa pun, hati dan jantungmu akan kucongkel, lalu kupanggang dan ku makan. Ingat, aku tidak sendirian, kalau itu yang kau kira. Aku ber sembunyi de ngan seorang pemuda, dan dia menganggapku Malai kat. Dia mematuhi semua omonganku. Pemuda itu punya rahasia. Dia pernah menculik seorang bocah, lalu memakan jantung dan hati nya. Percuma saja kalau bocah yang sudah diincarnya mencoba ka bur. Bocah itu bisa saja mengunci pintu, lalu berbaring di ranjang, me nutupi badannya dengan selimut, menutupi kepalanya dengan baju, mengira dirinya aman dan nyaman, tapi pemuda itu akan meng endap-endap dan merobek-robek badan si Bocah. Walaupun harus bers   usah pa yah, aku akan menjauhkan pemuda itu darimu untuk saat ini. Meskipun sulit untuk melarangnya mengincar jeroanmu. Nah, ba ga i mana menurutmu?”

Aku berjanji untuk membawakannya kikir dan makanan seadanya, dan menemuinya di Battery pada pagi buta.

“Katakan, Tuhan akan menyambarmu sampai mati kalau kau ber  bohong!” perintahnya.

Aku mematuhinya, dan dia menurunkanku.

Spesifikasi Produk

SKU QA-67
ISBN 978-602-441-284-5
Berat 560 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 692
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk