Ilmu agama yang tidak dibarengi khasyyatullâh (rasa takut kepada Allah), akan melahirkan kesewenangan. Pernah suatu kali ada acara bahtsul masâil—pembahasan masalah keagamaan—tentang rokok, yang memfatwakan rokok itu makruh tahrîm (makruh yang mendekati haram). Rupanya, salah seorang yang hadir adalah pemilik pabrik rokok. Dia pun memprotes, “Kalau rokok saya dimakruhkan, kantor ini tidak akan jadi. Sebab, kantor ini dibangun dari hasil pabrik rokok saya,” katanya, “coba dirundingkan lagi.”
Akhirnya, bahtsul masâil membuat keputusan baru: hukum rokok adalah makruh tahrîm, kecuali rokok produksi si pemrotes—tentu dengan alasan yang bermacam-macam.
***
Dalam buku ini, K.H. Hasyim Muzadi memaparkan kegelisahannya melihat carut-marut kehidupan beragama umat Islam di Indonesia khususnya, dan negara-negara Muslim pada umumnya. Melalui cerita-cerita ringan yang menyentil, kiai yang dikenal moderat ini menyadarkan kita betapa umat Islam telah jauh meninggalkan esensi ajaran agamanya. Pesan-pesannya yang sangat penting, layak disimak pada masa sekarang, saat umat menghadapi berbagai tantangan zaman.
Artikel Terkait
Jejak Cinta K.H. Hasyim Muzadi pada Santri, Saat Sakit pun Masih Sempatkan Mengajar
Kecintaan K.H. Hasyim Muzadi terhadap santri ditunjukkan ketika dirinya masih sempat mengajar kitab Al Hikam kepada para santri meski saat itu dirinya sedang sakit. Hingga masa terakhirnya, Hasyim Muzadi masih meninggalkan jejak cinta pada santrinya.
Sang guru masih menyempatkan mengajar para santri angkatan ketiga Pondok Pesantren Al Hikam. Sebagai seorang pengajar, Hasyim Muzadi merupakan sosok guru yang tegas dan disiplin. Dirinya tidak segan-segan menegur murid yang tidak mampu menangkap pelajaran.
Ketegasan sosok Hasyim Muzadi dirasakan oleh seorang muridnya, Wan Safawi Halimi Zamzami. Ia merasakan gemblengan Hasyim Muzadi kala mondok di Mahad Ali Pondok Pesantren Al Hikam I, Malang. Mahad Ali merupakan lembaga pendidikan untuk para lulusan pondok pesantren. Wan mendapatkan pengajaran kitab Ihya Ulumudin karya Imam al-Ghazali dan kitab Al Hikam langsung dari Hasyim Muzadi. Dirinya mengajar setiap hari seusai shalat shubuh. Kini Wan menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren Darul Marhamah, Aceh Singkil. Dirinya mengaku selalu menerapkan cara yang diterapkan oleh sang guru.
Ngaji di Makam Sang Guru Selama 40 Hari
LANTUNAN Surah Al-Rahman terdengar merdu dari mulut Aulia Rahman (24), tepat di depan makam K.H. Hasyim Muzadi di kawasan Pondok Pesantren Al Hikam I, Kukusan, Depok, Jawa Barat, Jumat (17/3/2017).
Sudah satu setengah jam Aulia membaca ayat suci Al-Quran di depan pusara sang guru yang terus didatangi oleh peziarah dari berbagai daerah. Di belakangnya, tampak teman Aulia yang mengenakan baju takwa, siap menunggu giliran mengaji.
Aulia merupakan santri Pondok Pesantren Al Hikam yang didirikan oleh K.H. Hasyim Muzadi. Mahasiswa jurusan tafsir ini mengaku menjalankan permintaan pihak keluarga dan pengurus pesantren untuk mengaji hingga 40 hari terkait wafatnya mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI tersebut.
Sebelum meninggal di kediamannya, Pondok Pesantren Al Hikam I, Jl Cengger Ayam, Lowok Waru, Malang, Jawa Timur, Kamis (16/3/2017), K.H. Hasyim Muzadi juga pernah meminta kepada para santri untuk mengaji di sampingnya. Saat itu K.H. Hasyim sedang dirawat di Rumah Sakit Lavalette, Malang. Sekitar 22 santri didatangkan dari Pondok Pesantren Al Hikam I, Depok, untuk mengaji hingga akhir hayat sang kiai. "Yang diberangkatkan angkatan ketiga. Mereka mengaji 30 juz nonstop," tambah Aulia.
Santri Pondok Pesantren Al Hikam II saat ini berjumlah sekitar 300 orang dari tujuh angkatan. Nantinya seluruh santri akan bergantian mengaji di depan makam Hasyim Muzadi. Pondok pesantren itu didirikan pada 2011. Tanah untuk pesantren telah dimiliki oleh Hasyim Muzadi sejak 1999. Ia lebih dulu membangun masjid pada 2005.
Menurut menantu Hasyim Muzadi, Arif Zamhari, hal ini dilakukan sesuai tradisi pesantren yaitu masjid merupakan pusat kegiatan. Dalam pembangunan pesantren tersebut, Hasyim menggunakan dananya sendiri. "Abah membiayai pesantren ini dari pribadi dia. Dia pakai gaji dia sendiri," ujar Arif.
Kecintaan Hasyim Muzadi terdapat santri dan pesantrennya sangat besar. Oleh karena itu Hasyim berwasiat agar dimakamkan di wilayah Pondok Pesantren Al Hikam II. Wasiat ini diberikan beberapa pekan sebelum meninggal.
Saat itu dirinya dibawa berkeliling menggunakan kursi roda oleh anaknya, Yusron Shidiq. Dirinya menunjuk sebidang tanah yang berada di samping bangunan pesantren mahasiswa.
"Abah mau dimakamkan di sini," ujar Arif menirukan Hasyim Muzadi.
(tribun network/fahdi fahlevi)
Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/03/18/jejak-cinta-kh-hasyim-muzadi-pada-santri-saat-sakit-pun-masih-sempatkan-mengajar?page=2
Perjalanan K.H. Hasyim Muzadi Selama Masa Hidupnya
Tokoh politisi yang berperan besar dalam membela agama Islam, K.H. Ahmad Hasyim Muzadi, mengembuskan napas terakhir pada 16 Maret 2017 sekitar pukul 06.00 WIB. Sebagai seorang tokoh penting di Indonesia, Hasyim Muzadi memiliki peran yang besar yang secara konsisten ia jalani selama masa hidupnya.
Hasyim Muzadi lahir di daerah Tuban, Jawa Timur pada 8 Agustus 1944. Beliau dipercayakan untuk menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdiaful Ulama (NU) di tahun 1999. Namun ketika dipilih untuk menjadi Calon Wakil Presiden pada tahun 2004, mendampingi Megawati Soekarnoputri sebagai Calon Presiden pada partai PDI-P, Hasyim Muzadi nonaktif sebagai ketua Umum NU.
Setelah nonaktif, pada periode dua, Hasyim Muzadi terpilih kembali menjadi Ketua Umum NU. Masa aktif pada periode tersebut dari tahun 2004 sampai 2009. Selain sebagai tokoh penting bagi presiden, Hasyim Muzadi juga berperan penting sebagai ulama. Sosoknya dikenal sebagai orang yang memiliki pendirian nasionalis dan pluralis.
Selain menjadi sosok penting, Hasyim Muzadi pun menjadi pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam di Malang. Semasa hidupnya, ada sosok pendukung beliau demi membela agama di Indonesia. Sosok tersebut adalah sang istri bernama Hj. Muthomimah.
Sebelum menjadi tokoh masyarakat, Hasyim Muzadi menghabiskan waktunya berada di Jawa Timur, Masuk pada pendidikan dasar beliau berada di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950. Pendidikan tertinggi beliau selesai pada tahun 1969 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang.
Organisasi pertama yang diikuti adalah ikut dalam organisasi Kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor). (Jeannet Valentin)***
Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/03/16/perjalanan-kh-hasyim-muzadi-selama-masa-hidupnya-396371
Nukilan Buku
Meneladani Nabi dalam Hati, Pikiran, dan Tindakan
Sebelum menghormati kelahiran (maulid) junjungan kita, Nabi Muhammad Saw., serta mengikuti ajaran dan meneladaninya, hal yang harus kita siapkan terlebih dulu adalah hati dan pikiran kita. Karena, ternyata tidak semua orang, bahkan tidak semua orang Islam, mampu meneladani beliau secara utuh. Ada syarat di dalamnya, seperti difirmankan Allah Swt., Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (QS Al-Ahzâb [33]: 21).
Rasulullah Saw. adalah teladan, tetapi untuk siapa? Seperti dikatakan pada ayat tadi, beliau adalah teladan untuk orang yang punya pengharapan terus-menerus kepada Allah Swt. Dia merasa hidupnya milik Allah Swt. Dia datang dari Allah Swt., diproses oleh-Nya, dan kembali kepada-Nya. Perasaan seperti ini harus ada. Kalau tidak, maka cerita Rasulullah Saw. tinggal dongeng tentang beliau saja, tidak bisa kita resapi dan maknai dengan baik.
Rasulullah Saw. juga teladan untuk orang yang percaya Hari Akhir (Kiamat). Orang yang memiliki kesadaran bahwa kelak dia akan segera pergi menuju akhirat, tempat seluruh tindakan kita dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Rasulullah Saw. juga teladan untuk orang yang banyak mengingat Allah Swt. (zikir). Pada ayat di atas, Allah Swt. menegaskan dengan kata “katsîran” (banyak). Suatu ketika, seorang santri bertanya pada kiainya, “Apakah yang dimaksud dengan banyak berzikir itu, seseorang tidak boleh bekerja, tidak pergi ke sawah atau ke kantor? Apakah juga berarti tidak boleh mencari nafkah dan mencari ilmu? Kenapa kita disuruh banyak berzikir, yang berarti lebih dari separuh waktu hidup kita diisi hanya dengan berzikir?” Kiai terkenal ini—Imam Zainuddin Abdul Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali r.a., yang dikenal sebagai sang Hujjatul Islam—menjawab, “Tidak begitu pengertiannya. Zikir itu adalah ingat kepada Allah Swt., bisa ingat dengan lisanmu, dengan akalmu, dengan hatimu, dan dengan tindakan amalmu.” Kalau ingat dengan lisan, berarti membaca wirid lâ illâha illallâh, lâ illâha illallâh (tidak ada Tuhan selain Allah).
Ketika kita berpikir menggunakan akal, apakah itu ingat Allah Swt. atau tidak? Karena, orang pintar itu ada dua macam; ada orang yang pintar saja (intelektual), ada juga orang pintar sekaligus benar. Orang yang pintar saja adalah orang yang ilmunya banyak. Kalau orang yang pintar dan benar adalah orang yang ilmunya banyak sekaligus digunakan dengan benar. Ilmunya menjadi bermanfaat. Kalau manfaatnya terus dirasakan maka menjadi cahaya hidup. Kita berdoa semoga ilmu yang kita miliki bermanfaat. Tidak cukup mengaminkan doa ini, tetapi harus ada yang dilakukan (action). Sebagai contoh, selain mendoakan kebaikan untuk ibu dan ayah kita, serta agar rezeki yang diberikan kepada kita halal, kita juga mesti mengontrol tindakan kita.
Imam Ibn Athaillah r.a. mengatakan bahwa ilmu akan bermanfaat jika diiringi dengan khasyyatullâh (takut kepada Allah). Khasyyah artinya takut dengan menaati. Kalau hanya takut saja disebut khauf. Selama orang itu taat kepada Allah Swt., maka setiap ilmu yang menetes akan tumbuh menjadi ilmu yang bermanfaat. Tidak ada bedanya, ia itu ilmu umum atau ilmu agama, sama saja. Karena, semua ilmu itu hakikatnya berasal dari Allah Swt.
Kiai Halawani mengatakan bahwa Al-Quran memiliki ayat sejumlah enam ribu lebih. Kemudian ayat-ayat tersebut dibagi-bagi menjadi ayat tentang hukum, sejarah, ibadah, muamalah (relasi sosial), negara (pemerintahan atau politik), alam gaib (metafisik), dan alam zahir (fisik). Kalau alam zahir ini diselidiki, maka akan tumbuh ilmu sendiri. Karena, pada setiap benda ada ilmu yang dititipkan Allah Swt. Kalau ilmu itu digali, tidak akan pernah habis. Air, misalnya, bagi orang yang tidak memiliki ilmunya, ia dilihat semata-mata sebagai air. Namun, bagi orang yang meneliti kandungannya, ia bisa menjadi bom, hidrogen namanya. Inilah yang diistilahkan Allah Swt. dengan “iqra’” (bacalah), tetapi diikuti “bismirabbika” (dengan nama Tuhanmu). Iqra’ artinya bacalah; yang dibaca adalah ayat Allah Swt., baik itu berupa bukti kekuasaan-Nya, maupun rahasia-Nya yang ditempelkan pada seluruh benda-benda fisik. Allah Swt. berfirman, Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah (QS Al-Baqarah [2]: 115).
Semakin bertambah objek yang diselidiki, ilmu juga akan semakin bertambah, tidak ada habisnya. Fisik manusia (biologis), misalnya, kalau diselidiki lebih jauh menjadi ilmu kedokteran. Kalau tidak ada manusia, mana bisa tukul (tumbuh); tidak akan tumbuh ilmu pada diri seseorang. Jika ilmu itu tumbuh, maka jadilah ilmu kedokteran. Kalau ilmu itu masih taraf kedokteran, itu masih rendah, baru tingkat dokter umum. Kalau ingin lebih tinggi lagi, harus spesialis. Tidak semua dokter bisa ke tahap itu. Spesialis berarti khusus; spesialis mata berarti hanya menangani mata, spesialis gigi berarti hanya gigi. Mungkin juga ada spesialis idep (bulu mata) saja. Atau spesialis-spesialis lainnya. Jadi, mungkin ada dokter spesialis bulu di situ. Jadi, semakin ilmu dikejar tinggi, semakin tidak ada habisnya. Semakin didalami, semakin tidak tahu dalamnya. Subhânallâh ‘adada mâ khalaqa (Mahasuci Allah sebanyak makhluk-Nya).
Ilmu agama, kalau tidak dibarengi dengan amal agama dan khasyyatullâh, hanya jadi berita agama. Banyak orang yang mengerti agama, tetapi amal agamanya tidak seperti ilmu agamanya. Apakah ada yang seperti itu? Banyak. Semua mengerti kalau shalat itu sehari lima kali, tetapi banyak yang melakukannya lima hari sekali. Sudah mengerti sesuatu itu haram, tetapi dengan dalih-dalih tertentu, tiba-tiba berubah jadi tidak haram. Hal ini terjadi karena dia mengerti tetapi tidak ada khasyyatullâh di situ.
Salah satu kegunaan (fungsi) tarekat adalah membimbing orang dari ilmu pengetahuan menjadi rasa dan pemilikan, menjadi khasyyatullâh. Orang yang bersekolah umum, tetapi tidak memiliki khasyyatullâh, dia akan menyeleweng dengan ilmunya. Kita lihat, banyak hakim malah diadili, banyak jaksa dituntut, banyak polisi disidik, banyak hansip diamankan, juga satpam ditangkap. Ini bagaimana ceritanya, apa mereka kurang pintar? Padahal mereka itu sarjana hukum, kenapa bisa dihukum? Jadi sebetulnya, apa yang kurang dari mereka? Bukan ilmu hukumnya, melainkan tidak ada khasyyatullâh yang membungkus ilmu hukumnya.
Ada ilmu yang bermanfaat. Ada juga ilmu yang mubazir, yaitu ilmu yang banyak, tetapi tidak terasa manfaatnya. Hal ini terjadi, karena ilmu yang dimiliki tidak menancap kepada khasyyatullâh, tetapi kepada hati yang kosong. Akibatnya, gerakan ilmu itu juga menjadi kosong. Pintar tetapi pelupa, karena ketika hatinya guncang ilmunya pun hilang. Saya punya teman seorang doktor. Doktor itu titel yang paling tinggi. Doktor ini pintar hanya kalau di sekolah. Sampai di rumah, dimarahi istrinya, langsung jadi bodoh mendadak. Rupanya banyak istri yang dapat membuat laki-laki jadi merasa bodoh. Cerita seperti ini juga terjadi pada kiai. Sekalipun kiai, terkadang ada takutnya juga pada istrinya. Ini cerita rahasia, tidak perlu diungkap. Ini sekadar guyon. Kiai itu kalau menghadapi pejabat tinggi tidak pernah takut, tetapi kalau menghadapi istrinya belum tentu berani.
Jadi, ketika hati guncang, ilmu pun menjadi oleng. Kalau hatinya jahat, ilmu pun berubah menjadi kejahatan. Indonesia ini rusak dan ruwet sesungguhnya bukan karena orang bodoh, melainkan karena banyaknya orang pintar tetapi tidak benar. Kita lebih kekurangan orang benar daripada orang pintar. Orang pintar dikeluarkan oleh universitas, lantas siapa yang memproduksi orang benar di Indonesia? Tidak lain tempatnya pada khasyyatullâh. Sekalipun mengerti ilmu agama, jika tidak ada khasyyatullâh, fiqihnya bisa dipakai sekehendak hati.
Ada cerita guyon. Di Kediri ada acara bahtsul masâil (pembahasan masalah keagamaan) tentang rokok. Pada pembahasan itu diputuskan bahwa rokok dihukumi makruh tahrîm (makruh yang mendekati haram). Rupanya, yang ikut bahtsul masâil ada yang punya pabrik rokok. Dia mengatakan, “Kalau rokok saya dimakruhkan, kantor NU tidak akan jadi. Sebab, kantor dibangun dari hasil pabrik rokok saya.” Pabrik rokok itu namanya Minna. Katanya, “Coba dirundingkan lagi di bahtsul masâil.” Akhirnya, bahtsul masâil mendapat kesimpulan baru; hukum rokok adalah makruh tahrîm, kecuali rokok Minna. Dilengkapi dengan alasan yang bermacam-macam.
Salah satu kehebatan ulama kita (NU) adalah keluasan ilmu mereka. Selalu ada aspek fiqih, dakwah, dan tasawuf di dalamnya. Alhamdulillah, saya sudah keliling ke mana-mana, dan tidak ada organisasi yang isinya selengkap NU. Saking lengkapnya, sehingga membuat orang NU tidak bisa menjalankan semua. Ibaratnya orang yang masuk restoran yang menyediakan semua makanan. Inginnya melahap semua makanan, tapi baru makan beberapa sudah kekenyangan.
Coba perhatikan baik-baik, ulama Timur Tengah menyukai fiqih, tetapi terkadang tidak suka tasawuf. Kalau bicara fiqih harus jelas; halal atau haram. Begitulah fiqih, tidak bisa diutak-atik demi alasan tertentu. Jika sudah tepat, ya sudah. Namun, selain fiqih ada dakwah yang bukan soal hukum halal-haram melainkan bagaimana cara menarik orang yang berada pada sesuatu yang haram berpindah kepada sesuatu yang halal. Inilah dakwah. Oleh karena itu, ulama kita tidak suka mengkafirkan, menyebut orang sebagai musyrik, atau membid‘ahkan orang dan menganggapnya dhalâlah (sesat) sehingga masuk neraka. Semua orang masuk neraka, yang masuk surga hanya dia. Apa dia tidak takut masuk surga sendirian? Padahal luasnya surga itu, seperti dikatakan Allah, Surga yang luasnya seluas langit dan bumi (QS Âli ‘Imrân [3]: 133). Jadi, surga itu sama dengan alam semesta yang sekarang, bukan sama dengan dunia. Seluas alam semesta itu jangkauan rentangnya.
Kalau ulama kita, Ahli Sunnah, tidak seperti mereka. Kita memiliki fiqih untuk anak pondok yang harus ditaati. Contohnya, tidak bangun pagi disiram air. Hal itu karena dia melanggar, dia berdosa. Namun, kalau kepada tetangga yang masih suka minum minuman keras (mabuk), main (judi), main dadu, atau hal-hal sejenisnya, dan baru ingin masuk Islam, kita jangan mengharam-haramkan begitu. Kepada orang yang shalatnya seminggu satu kali, misalnya, kita katakan, “Cobalah sekarang tambah seminggu dua kali.” Kemudian, kepada orang yang gemar minum minuman keras (mabuk) setiap hari, kita katakan, “Coba minumnya seminggu satu kali saja.” Ini bukan berarti menghalalkan yang haram. Ini adalah bentuk pendekatan ilmu dakwah, bukan pendekatan ilmu fiqih.
Melalui pendekatan ilmu dakwah ini, akhirnya seluruh orang yang tadinya sangat nakal, pondok-pondok yang asalnya di daerah-daerah mesum, di daerah kejahatan, menjadi santri semua. Jadi, para kiai ini pekerjaannya mengislamkan orang kafir. Sementara, pekerjaan orang-orang itu mengkafirkan orang yang sudah Islam. Habislah sudah Islam. Membuat orang kafir jadi masuk Islam malah dicaci-maki. Muncul pertanyaan, kalau begitu di mana posisi nahi munkar (mencegah kemungkaran) yang diperintahkan agama? Apakah diam saja melihat kemungkaran di depan mata? Tentu saja tidak. Kemungkaran tetap harus diberantas. Tapi, nahi munkar itu dilakukan dengan cara yang makruf, jangan dengan cara yang mungkar, akibatnya menjadi dobel kemungkaran.
Oleh karena itu, para kiai punya kesabaran yang tinggi. Tidak ada kiai yang suka mengamuk. Tidak ada kiai yang seperti itu. Yang suka ngamuk itu adalah orang yang sudah melewati sebagai santri tapi belum jadi kiai, yang kedudukannya gak jelas. Kalau kiai mesti sabar. Sabar ini bukan berarti tidak bisa marah. Kalau sudah mentok sampai tidak bisa lagi mundur, dia harus bergerak maju, seperti difirmankan Allah, Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda (QS Al-Anfâl [8]: 60). Pimpinlah umat itu untuk melawan siapa pun yang akan merobohkan syariat Nabi Muhammad Saw. Namun demikian, kalau masih dalam rangka mengajar dan sebagainya, tidak bisa dengan muring-muring (marah). Maka, gabungan antara dakwah dan fiqih ini adalah “amunisi” dari Nabi Muhammad.
Selanjutnya, tasawuf itu untuk apa? Tidak lain supaya ilmu harfi (huruf, teks, tulisan) menjadi ilmu qalbi (hati). Ilmu tulisan menjadi ilmu yang menancap di dalam hati.
Jika tiga komponen tadi (fiqih, dakwah, dan tasawuf) ada pada diri para ulama, maka ulama itu menjadi uswah hasanah (suri teladan yang baik). Jadi, antara firman Allah Swt., Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (QS Al-Ahzâb [33]: 21) hingga melahirkan hamba Allah yang siap untuk menerima itu dan menjadi seperti itu, itulah para alim ulama. Alim ulama dan kiai itu berbeda, meskipun tampaknya sama. Kalau kiai, siapa pun asal disebut kiai, jadilah dia kiai. Bisa saja seseorang yang pada waktu pagi, sebelum ada konferensi MWC (Majelis Wakil Cabang) NU, belum disebut kiai. Pada waktu zhuhur terpilih menjadi ketua MWC NU, setelah ashar sudah dipanggil kiai. Jadi, ada kiai dadakan. Apalagi di Solo, nama-nama benda yang dikeramatkan semua dipanggil kiai. Jadi, seseorang menjadi kiai karena dipanggil kiai, sesederhana itu saja.
Adapun ulama, dia melakukan sesuatu dengan ilmunya, bersikap istiqamah dan mengerti keadaan zamannya. Jadi, ilmunya adalah ilmu amaliah, bukan ilmu ilmiah. Sementara amalnya adalah amal ilmiah. Karena orang yang melaksanakan ilmu, melakukan apa yang diajarkan Allah Swt., sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw. Maka, hatinya menjadi di dalam hati itu sendiri. Setelah itu, dia istiqamah (konsisten). Ini yang paling berat, bersikap lurus.
Sekadar guyon, saya punya saudara namanya Istiqamah, tapi dia menggak-menggok (belok-belok). Ada lagi teman saya namanya Abdul Syukur, pekerjaannya hanya mengeluh, padahal namanya Abdul Syukur (hamba yang bersyukur). Ada pula yang namanya Muhammad Sabar, tetapi marah-marah terus (tidak sabar). Ada lagi teman saya namanya Slamet (selamat), tetapi berkali-kali terserempet motor. Saya juga punya kiai, namanya Kiai Shaim, di Tuban. Kenapa disebut Kiai Shaim? Karena dia puasa terus, jadi cocoklah dengan namanya. Sementara ada juga teman saya di Depok, namanya Muhammad Shaim, tetapi makan terus, akhirnya kena kolesterol.
Ilmu amaliah ini berat. Setelah itu, ada yang lebih berat lagi, yaitu istiqamah. Di atasnya ada yang berat lagi, yakni mengerti dan memahami bagaimana keadaan zaman, bagaimana kondisi umat ini. Saya menyeret umat ini. Apakah saya akan seret mereka dengan kasar; atau saya ajak mereka perang, atau saya didik mereka dan lain sebagainya, semua itu mesti sesuai dengan kondisi yang ada (muqtadhâl-hâl). Umat memerlukan ulama yang mengerti zamannya. Ulama yang seperti ini akan berubah menjadi hakim, orang yang bijaksana.
Rasulullah Saw. adalah teladan kita, meskipun kita tidak pernah bertemu beliau. Jangankan bertemu beliau, bertemu sahabat beliau saja kita tidak pernah. Jangankan bertemu sahabat beliau, bertemu para imam mazhab saja tidak pernah. Ayah-ayah kitalah yang pernah bertemu wali songo. Sementara kita bertemunya dengan wali kota, sama-sama “wali”.
Dalam hal meneladani Rasulullah Saw., ada patokan-patokan tersendiri. Pertama, yarjullâh (mengharapkan Allah). Kedua, yarju yaumal-âkhir (mengharapkan Hari Akhir). Ketiga, dzakarallâh katsîran (banyak mengingat Allah). Semua ini turun kepada ulama, lalu mereka membeberkannya ke mana-mana. Karena mereka mampu meneladani Rasulullah Saw., pokok-pokok ajaran beliau pun disampaikan secara tertib, tartil (baik), komprehensif, dan utuh.
Dalam Islam diajarkan soal tauhid, mengesakan Allah Swt. Patokannya satu, yaitu lâ ilâha illallâh (tidak ada Tuhan selain Allah). Ini adalah kata kunci (password). Sedikit saja password-nya bergeser, bubarlah syariat. Kalimat lâ ilâha illallâh ini menunjukkan keesaan Allah. Jadi, dalam hal ini seperti membuka komputer. Kalau password-nya keliru, komputernya tidak bisa dibuka. Sekalipun amal seseorang banyak, jika kunci utama ini rusak, rusaklah amal itu. Lâ ilâha illallâh adalah kunci untuk kehidupan dunia dan akhirat. Tiada Tuhan selain Allah. Selain Allah berarti bukan Tuhan. Kalau bukan Tuhan berarti ia alam. Tidak ada unsur alam dalam Dzat Allah, dan tidak ada unsur Dzat Allah dalam alam.
Ada orang NU yang suka bersikap sembrono. Dia pergi ke Laut Selatan. Padahal mazhabnya Imam Syafi‘i, tetapi datangnya kepada Nyi Roro Kidul. Ini repot. Saya sendiri tidak tahu Nyi Roro Kidul, karena tidak pernah bertemu dengannya. Seandainya dia ada, pastilah dia makhluk Allah. Namun, karena khasyyatullâh (rasa takut kepada Allah) pada orang itu guncang, jadilah Nyi Roro Kidul dituhankan. Karena itulah, harus rajin mengucapkan lâ ilâha illallâh supaya pikiran dan hati kita tidak miring.
Tauhid yang dibawa Islam, dibawa Rasulullah Saw., ada rumusannya. Yaitu al-hanifiyyah al-samhah (lurus yang toleran), inilah kunci tauhid. Hanif berarti lurus. Jadi kalau namanya Muhammad Hanif harus lurus sikapnya, jangan belok-belok. Hanif ini dibarengi dengan al-samhah, bahasa sekarang toleransi. Al-hanifiyyah dan al-samhah jadi satu, maka orang harus lurus berislam sekaligus yakin bahwa Allah tidak menyediakan Islam di dunia ini untuk umat Islam saja, tetapi juga orang di luar Islam. Karena di dalam Al-Quran, misalnya, disebutkan perihal orang Nasrani (Kristen). Kalau mereka disebut, berarti mereka ada. Al-Quran juga menyebut Yahudi, artinya mereka juga ada. Al-Quran juga menyebut orang zalim, orang bertakwa, orang fasik, orang fâsid (perusak), dan sebagainya. Semua itu ada.