Mengapa ide “khilafah”, yang dorman selama hampir satu abad, tiba-tiba menyeruak ke permukaan? Penyebabnya tentu kompleks, tetapi sekurang-kurangnya bisa dilacak pada dua faktor: faktor internal umat Islam dan faktor eksternal.
Secara internal, ide khilafah berpaut dengan ide tentang Islam kaffah yang meyakini Islam mesti menjadi panduan hidup di segala bidang, termasuk politik. Tafsir politik atas Islam kaffah itulah yang, antara lain, melahirkan konsep tentang khilafah. Namun, konsep khilafah tersebut ternyata berwajah majemuk dan sama sekali tidak monolitik.
Adapun secara eksternal, hegemoni politik-ekonomi dan dominasi epistemologi Barat terhadap Dunia Islam memberi tekanan kuat bagi umat Islam untuk merumuskan sendiri politik Islam secara genuine dan powerful.
Persis di sinilah signifikansi buku ini, yang hendak menyoroti pelbagai argumen seputar khilafah itu dan bagaimana pula ide-ide tersebut bekerja dalam realitas sejarah umat Islam, sejak era Khulafaur Rasyidin hingga Kekhalifahan Utsmani, serta kemunculan HTI di Indonesia.
Isi Buku
PENDAHULUAN
1 KHILAFAH PADA MASA AL-KHULAFÂ’ AL-KHAMSAH
Khalifah Abu Bakar Shiddiq
Khalifah Umar bin Khattab
Khalifah Utsman bin ‘Affan
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Hassan bin Ali bin Abi Thalib
2 KHILAFAH PADA MASA BANI UMAYAH
Kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan
Kekhalifahan Yazid bin Muawiyah
Kekhalifahan Muawiyah bin Yazid
Kekhalifahan Marwan bin Hakam
Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan
Kekhalifahan Walid bin Abdul Malik
Kekhalifahan Sulaiman bin Abdul Malik
Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz
Kekhalifahan Yazid bin Abdul Malik
Kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik
Kekhalifahan Walid bin Yazid bin Abdul Malik
Kekhalifahan Yazid bin Walid bin Abdul Malik (Yazid III)
Kekhalifahan Marwan Al-Ja’di
3 KHILAFAH PADA MASA DAULAH ‘ABBASIYAH
Pertumpahan Darah di Era Daulah ‘Abbasiyah
4 KHILAFAH PADA MASA DAULAH FATHIMIYAH
5 KHILAFAH PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH
6 KHILAFAH PADA MASA DINASTI TURKI UTSMANI
7 DEFINISI DAN KONSEP KHILAFAH
8 SISTEM PENGANGKATAN KHALIFAH
9 FORMAT PEMERINTAHAN KHILAFAH
10 SYARAT-SYARAT KHALIFAH
11 GERAKAN KHILAFAH DI INDONESIA
HTI dan Daulah Khilafah
Islam Indonesia: Islam Yes, Khilafah No!
PENUTUP
KEPUSTAKAAN
INDEKS
TENTANG PENULIS
https://www.merdeka.com/abdurrahman-abdullah/
https://www.dompubicara.com/2012/08/anggota-dpr-ri-jadi-khatib-idul-fitri-di-dompu/
https://www.bimakini.com/2012/04/abdurrahman-abdullah-dukung-funbike-kota-bima/
Buku dan tulisan sejenis:
https://www.kompasiana.com/ziaulkausar/5c9087953ba7f761836ef392/review-buku-islam-yes-khilafah-no-jilid-1-nadirsyah-hosen?page=all
https://media.neliti.com/media/publications/139954-ID-kontroversi-khilafah-islam-negara-dan-pa.pdf
Excerpt:
PENDAHULUAN
Perjalanan panjang sejarah kekhalifahan diwarnai berbagai peristiwa dan banyak pertumpahan darah di dalamnya, baik yang disebabkan pertikaian dan peperangan di antara sesama Muslim itu sendiri maupun yang melibatkan pihak lain. Pertikaian tersebut, jika ditelusuri lebih mendalam umumnya bermuara pada masalah “kekuasaan”.
Pertikaian terjadi sejak pertama kali konsep khilafah ini diterapkan, yaitu pada masa Abu Bakar Shiddiq. Di saat Nabi Saw. wafat dan jenazahnya belum dikuburkan, umat berduka, sahabat dan keluarga Nabi Saw. pun larut dalam kesedihan mendalam. Namun, tiga sahabat Muhajirin (Abu Bakar, Umar, dan Abu ‘Ubaidah) berkumpul dengan kalangan sahabat Anshar di rumah Saqifah Bani Sa‘idah untuk memperbincangkan siapa penerus Nabi Saw. Adu mulut dan saling klaim tentang siapa yang layak menggantikan Nabi Saw. apakah dari Muhajirin atau Anshar, dan siapa sosok yang layak dari perwakilan kedua pihak tersebut tak dapat dihindari. Umar bin Khattab yang memiliki sifat tegas mendominasi percakapan di forum tersebut dengan memunculkan sosok Abu Bakar sebagai tokoh yang menurutnya paling layak sebagai pengganti Nabi Saw. sebagai pemimpin umat. Kalangan Anshar menawarkan opsi untuk menunjuk dua orang pemimpin, satu orang dari Muhajirin dan satu orang dari Anshar namun ditolak keras oleh Umar. Akhirnya muncullah baiat di forum itu kepada Abu Bakar Shiddiq.
Suksesi kepemimpinan Abu Bakar ini tercatat di banyak kitab tarikh. Bukti catatan sejarah, atas peristiwa di Saqifah ini ada. Tidak ada perbedaan signifikan antar-ahli sejarah. Ibnu Qutaibah misalnya, menulis dalam kitab Al-Imâmah wa al-Siyâsah, kejadian lengkap tentang suksesi Abu Bakar tersebut dengan alur cerita sangat terperinci disertai dialog-dialog panas yang terjadi antara pihak Muhajirin dan Anshar. Begitu pula Jalaluddin As-Suyuthi, penulis kitab tarikh terkemuka, Târîkh al-Khulafâ, juga mencatat peristiwa ini.
Ibnu Atsir, dalam kitab Al-Kâmil fi at-Târîkh, pun menuliskan bab khusus dengan sangat terperinci mengenai peristiwa di Saqifah dengan judul Hadits as-Saqifah wa Khilafah Abi Bakar Radiyallahu ‘Anhu wa Ardhahu. Begitu pun Ath-Thabari, dalam Târîkh al-Umam wa al-Muluk (Târîkh ath-Thabarî), menuliskan lengkap tentang peristiwa di Saqifah dalam bab khusus Al-Khabar ‘Amma Jara Baina al-Muhajirin wa al-Anshar fi Amr al-Imarah fi Saqifah Bani Sa‘idah. Kitab tarikh lain seperti Al-Ya‘qubi, Ibnu Hisyam, dan Ibnu Khaldun sama-sama mencatat hal tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya pun mengutip hadis yang panjang mengenai peristiwa Saqifah ini dengan judul Hadits as-Saqifah.
Banyak pihak yang tidak setuju dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Saw. Bahkan, putri Nabi Saw. yang paling dicintai, Fathimah Az-Zahra r.a., tidak merestui Abu Bakar dan menolak keras untuk berbaiat sampai akhir hayatnya. Fathimah juga menolak untuk berbicara dengan Abu Bakar hingga akhir hayatnya setelah dia dan ‘Abbas menemui Abu Bakar untuk meminta harta peninggalan Nabi, yaitu tanah Fadak dan bagian dari Khaibar namun ditolak oleh Abu Bakar dengan alasan bahwa Nabi Saw. tidak mewariskan apa pun.
Peristiwa penolakan ini dimuat pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya dengan sumber yang sama (yang di dalamnya terdapat Bisyr, Ubaidillah bin Umar, Zaid bin Aslam, dan ayahnya) namun isi atau matannya sedikit berbeda. Imam Ahmad bin Hanbal mencantumkan dialog antara Umar bin Khattab yang menyampaikan mengenai kecintaannya kepada Nabi dan kepada Fathimah, namun setelahnya tidak mencantumkan apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab untuk membakar rumah Fathimah, hanya dengan ungkapan wakallamaha (dan Umar bin Khattab menyampaikan sesuatu pada Fathimah).
Târîkh al-Umam wa al-Muluk (Târîkh ath-Thabarî) mencantumkan peristiwa tekanan dan ancaman pembakaran rumah yang dilakukan Umar bin Khattab terhadap orang-orang yang berada di rumah Fathimah untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Namun, Thabari menyebutnya tidak secara langsung dengan sebutan rumah Fathimah, tetapi dengan sebutan rumah Ali bin Abi Thalib (suami Fathimah Az-Zahra). Thabari menulis, bahwa Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali dan di rumah tersebut terdapat Thalhah, Zubair, dan beberapa orang lain dari kalangan Muhajirin. Umar berkata: “Demi Allah akan kubakar kalian atau keluarlah kalian untuk berbaiat.” Maka keluarlah Zubair dengan pedang terhunus, namun terpeleset hingga pedangnya terjatuh dari tangan. Maka mereka (orang-orang yang bersama Umar) mengerumuni Zubair. Umar lalu memerintahkan untuk mengambil pedang Zubair dan memukulkan pedang-nya ke batu.
Ali bin Abi Thalib, Zubair, ‘Abbas, Salman al-Farisi, dan para sahabat besar dari kalangan Muhajirin pun tidak menerima untuk berbaiat ter-hadap Abu Bakar. Meskipun kemudian mereka berbaiat setelah Ali bin Abi Thalib berbaiat, yaitu enam bulan setelah baiat Abu Bakar di Saqifah dan setelah Fathimah Az-Zahra wafat.10 Dari kalangan Anshar, Sa‘ad bin ‘Ubadah selaku pemimpin kaum Khajraz Anshar yang hadir di Saqifah Bani Sa‘idah, sampai akhir hayatnya tidak membaiat Abu Bakar dan mengasingkan diri ke Syam. Ketika Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab, Sa‘ad pun tidak mau membaiat Umar. Ibnu Khaldun menceritakan, bahwa Sa‘ad tidak mau berjamaah shalat, tidak mau terlibat dalam perbincangan dan tidak mau menunaikan haji bersama mereka setelah peristiwa itu hingga Abu Bakar meninggal dunia. Sa‘ad lalu pergi ke Syam dan kemudian wafat dibunuh oleh jin. Ibnu Khaldun menyebutkan versi yang lain bahwa Sa‘ad meninggal karena dibunuh dengan cara dipanah oleh dua busur panah.
Selain itu, bermunculan para kelompok kaum Muslim yang enggan membayar zakat. Terhadap golongan ini, Abu Bakar Shiddiq memerintahkan untuk memerangi pembangkang zakat. Artinya, peperangan pertama era pemberlakuan khilafah adalah peperangan yang terjadi di antara kaum Muslim sendiri karena adanya perbedaan pandangan tentang penerapan khilafah. Dalam kitab Târîkh ath-Thabarî dikatakan bahwa alasan kelompok yang tidak mau membayar zakat adalah dikarenakan semasa Nabi Saw. hidup, mereka menyerahkan zakat kepada Nabi sebagai pengakuan kepemimpinan Nabi. Adapun sepeninggal Nabi, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan tidak mau menyerahkan zakat kepadanya. Bahkan, kaum Anshar atau sebagian dari Anshar, pada saat peristiwa di Saqifah awalnya bersikukuh untuk tidak berbaiat kepada Abu Bakar. Mereka mengatakan secara tegas: “Kami tidak akan berbaiat kecuali kepada Ali bin Abi Thalib.”
Sejarah terus berjalan, khilafah dari masa ke masa memang memiliki dampak positif, di antaranya wilayah Islam semakin meluas, perkembangan ilmu dan peradaban, serta munculnya banyak pemikir dari kalangan Muslim pada era kekhalifahan yang hasil karyanya banyak diadopsi oleh para pemikir modern. Namun, penerapan sistem kekhalifahan juga banyak diwarnai pembantaian nyawa manusia, baik yang berbeda agama atas dasar motif ekspansi wilayah kekuasaan maupun atas dasar motif penumpasan kelompok-kelompok yang berbeda dengan kemauan khalifah yang berkuasa. Kelompok-kelompok yang ditumpas tersebut kebanyakan dari kalangan Muslim sendiri.
Asy-Syahrastani dalam Kitab Al-Milâl wa an-Nihâl menyebutkan mengenai pertumpahan darah dalam perebutan kekuasaan, “Tidak pernah suatu pedang terhunus dalam Islam atas dasar prinsip agama seperti terhunusnya pedang atas dasar kepemimpinan (al-imâmah) pada setiap zaman”.