Ketersediaan : Tersedia
Lembaga Ulama Di Kerajaan Sambas 1913-1976 Peran Maharaja Imam Muhammad Basiuni Imran (POD)
Deskripsi Produk
Peran Maharaja Imam Muhammad Basiuni Imran Basiuni Imran (1885-1976) adalah seorang ulama terkenal di wilayah Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sambas, meski kurang begitu dikenal dalam konteks-luas Indonesia. Sosok Basiuni Imran menarik untuk dikaji sekurang-kurangnya karena tiga hal. Pertama, posisinya sebagai maharaja imam atau pejabat agama yang punya wewenang eksekutif…
Baca Selengkapnya...
Rp 103.245
Peran Maharaja Imam Muhammad Basiuni Imran
Basiuni Imran (1885-1976) adalah seorang ulama terkenal di wilayah Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sambas, meski kurang begitu dikenal dalam konteks-luas Indonesia. Sosok Basiuni Imran menarik untuk dikaji sekurang-kurangnya karena tiga hal. Pertama, posisinya sebagai maharaja imam atau pejabat agama yang punya wewenang eksekutif untuk mengatur urusan keagamaan di wilayah Kerajaan Sambas. Kedua, pertemuan dan pertukaran gagasan Basiuni Imran dengan Rasyid Ridha—lokomotif reformisme Islam pada masa itu—ketika dia belajar agama di Mesir telah menginspirasi berkembangnya gagasan pembaruan Islam di Sambas, terutama di bidang pendidikan modern. Ketiga, terkait posisinya maharaja imam, bagaimana menempatkan Islam sebagai sumber hukum bagi kebijakan publik di Kerajaan Sambas melalui tiga zaman yang berbeda: era Belanda, era Jepang, dan era Indonesia merdeka.
Buku ini merupakan karya sejarah lokal (local historiography)yang berfokus pada bagaimana peran ulama lokal pada isu-isu modernisme dan pembaruan di Nusantara pada awal abad ke-20. Ditunjukkan juga di sini bagaimana jaringan ulama Indonesia-Arab pada masa itu tidak hanya berpusat di satu atau dua daerah, tetapi telah menyebar di seluruh Kepulauan Nusantara, termasuk di Sambas.
Kata Pengantar Moch Nur Ichwan, Ph.D.
“Mengapa Umat Islam Mundur dan Umat Lain Maju?”
Merefleksikan Kembali Pertanyaan Basiuni Imran dan Jawaban Syakib Arslan di Awal Abad ke-21
A wise man’s question contains half the answer.
—Solomon Ibn Gabirol
A good question is never answered. It is not a bolt to be tightened into place but a seed to be planted and to bear more seed toward the hope of greening the landscape of idea.
—John Ciardi
Pada 21 Rabi‘ al-Akhir 1348 H, bertepatan dengan 25 September 1929, Syaikh Muhammad Basiuni Imran (1885-1976), “Maharaja Imam” Kerajaan Sambas Borneo (Kalimantan) Barat mengirimkan suratnya kepada editor majalah al-Manâr di Kairo, Mesir, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), dan memintanya agar surat tersebut dijawab oleh Amir Syakib Arslan. Surat itu berisi beberapa pertanyaan yang secara ringkas dibahasaulangkan oleh al-Amir Syakib Arslan (1869-1946) dalam judul artikel serialnya di majalah al-Manâr, “Limâdza ta,akhkhara al-Muslimûn
wa limâdza taqaddama ghairuhum?" Artikel ini lalu diterbitkan menjadi buku dengan judul yang sama oleh Penerbit al-Manâr (1348/1930). Pertanyaan ini ikut melambungkan nama sang penanya, karena dijawab oleh Syakib Arslan, yang di dunia Arab diberi gelar "Amir al-Bayan" (yang secara letterlijk berarti ‘prince of eloquence’, pangeran penjelas), karena penanya yang tajam. Pertanyaan itu dan jawaban Syakib Arslan menggemparkan Dunia Islam yang pada awal abad ke-20 itu sebagian besar berada dalam cengkeraman penjajah Barat dan berada dalam kemunduran yang hebat—setelah sebelumnya mengenyam peradaban maju pada Abad Pertengahan dan pra-Pencerahan Barat. Buku Syakib Arslan itu dicetak beberapa kali, karena sambutan masyarakat Muslim yang luar biasa dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia.
Pertanyaan Basiuni Imran itu mewakili kegundahan hati umat Islam pada masa itu. Mengapa umat yang disebut Tuhan “khairu ummah”, umat terbaik, dan mempunyai ‘izzah (kemuliaan) berada dalam kemunduran peradaban? Yang dimaksud “ghairuhum” (selain kaum Muslim) dalam pertanyaan Basiuni Imran ini tidak lain Eropa, Amerika, dan Jepang, yang secara agama mereka non-Muslim. Pada saat itu merekalah yang dianggap negara maju. Namun, walaupun hampir berusia satu abad, pertanyaan itu dan jawabannya masih penting dan relevan untuk dipikirkan kembali pada saat ini, karena faktanya umat Islam masih dalam kemunduran dan keterbelakangan. World Economic Outlook (WEO) mengklasifikasikan negara-negara ke dalam dua kelompok utama, yakni negara berekonomi maju (advanced economies) dan negara yang pasar dan ekonominya sedang berkembang cepat (emerging market and developing economies). WEO 2019 mencatat bahwa dari 39 negara berekonomi maju, tak satu pun negara Muslim masuk di dalamnya. Tujuh negara terbesar dalam hal GDP berbasis market exchange rates adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Prancis, Italia, Inggris, dan Kanada, yang biasanya disebut the Group of Seven (G7) (International Monetary Fund 2019). Semua negara Muslim masuk dalam negara berpasar yang sedang muncul dan ekonomi yang sedang berkembang.
Memang sejumlah ahli, seperti Andre Gunder Frank (1998) dan Kishore Mahbubani (2008), memprediksikan bandul peradaban akan bergayut ke Timur. Itu tentu kabar baik. Namun kabar buruknya, bagi umat Islam tentu bahwa Timur itu bukan negara-negara Muslim, tetapi negara-negara yang secara keyakinan dipengaruhi oleh Konfusianisme dan Hindu, yakni Tiongkok, Jepang, dan India. Dalam konteks inilah pertanyaan Basiuni Imran itu, dan jawaban Syakib Arslan, penting untuk kita renungkan dan pikirkan kembali.
Basiun Imran, Rasyid Ridha, Syakib Arslan
Syaikh Muhammad Basiuni Imran lahir pada 16 Oktober 1885 di Sambas, Borneo Barat (Kalimantan). Dia lahir di tengah keluarga religius dan terpelajar di dalam lingkaran Kerajaan Sambas. Ayah dan kakek-kakeknya adalah “Maharaja Imam” dan “Imam” dari Kerajaan Sambas. Dalam kitabnya Risâlât al-Nusûs wa al-Barâhîn (1344/1925) dia menyebutkan nama dan silsilahnya “Maharaja Imam Muhammad Basiuni bin Maharaja Imam Muhammad ‘Imran bin Maharaja Imam Muhammad ‘Arif bin al-Imam Nur al-Din bin al-Imam Mustafa.” Masa kecil dan remajanya dihabiskan di Sambas. Dia belajar keagamaan kepada orangtuanya, bersekolah di Sekolah Rakyat, dan madrasah Sulthaniyyah di sana. Setelah itu dia pergi ke Makkah untuk belajar selama lima tahun (1901/1902-1906 M). Di sana dia belajar kepada sejumlah ulama, seperti Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali al-Maliki. Setelah belajar selama lebih kurang lima tahun atas perintah ayahnya, dia kembali ke Sambas pada 1324 H (1906 M).
Sepulang dari Makkah pada 1906, Basiuni Imran melanggan majalah al-Manâr. Al-Manâr adalah majalah yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha pada 1898, setahun setelah kedatangannya di Mesir untuk belajar kepada Syaikh Muhammad Abduh (Hourani 1983, 226).2 Rasyid Ridha berasal dari Tripoli yang sekarang berada di wilayah Lebanon. Majalah al-Manâr-lah yang melambungkan nama Rasyid Ridha ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia (Bluhm-Warn, Jutta. 1983; Abaza, 1998; Azra 1999; Burhanuddin 2005; Abu Shouk 2006). Melalui majalah inilah dia berkenalan dengan pemikiran Rasyid Ridha, bukan dengan Muhammad Abduh yang saat itu dia sudah meninggal dunia (1905). Majalah al-Manâr-lah yang membuatnya terobsesi untuk kuliah di Mesir. Pada 1910 dia berangkat ke Mesir untuk belajar di Al-Azhar. Beberapa bulan setelah dia belajar di Al-Azhar, Rasyid Ridha mendirikan Dar al-Da‘wah wa al-Irsyad, sebagai penerjemahan gagasan pembaruan pendidikan tinggi Muhammad Abduh (Hourani 1983, 227) dan Basiuni Imran mendaftar juga di perguruan tinggi baru ini. Di sinilah Basiuni Imran dididik secara langsung oleh Rasyid Ridha (Ichwan 2001, 148-9). Baru belajar selama tiga tahun, dia harus pulang pada 1913 karena ayahnya sakit keras. Dia pun akhirnya diangkat sebagai Maharaja Imam Kerajaan Sambas, setelah ayahnya meninggal dunia tak lama setelah dia pulang (Pijper 1984: 142-49; van Bruinessen 1992; Laffan 2003:138, 255 n.).
Yang menarik, Rasyid Ridha menyebut muridnya ini, “al-mursyid al-syaikh Muhammad Basiuni Imran”. Kata al-mursyid di situ bukan gelar guru tarekat, tetapi gelar yang diberikan oleh Dar al-Da’wah wa al-Irsyad bagi mahasiswanya yang telah menempuh studi tiga tahun. Sedangkan bagi yang dapat menyelesaikan studi selama enam tahun diberinya gelar al-da’i. Al-mursyid itu mempunyai kompetensi menyampaikan dakwah dan bimbingan kepada kaum Muslim, sedangkan al-da‘i mempunyai kompetensi dapat melakukan dakwah di kalangan non-Muslim. Dar al-Da’wah wa al-Irsyad menawarkan pendidikan gratis untuk mahasiswa berusia 20 sampai dengan 25 tahun (saat masuk Dar al-Da’wah itu Basyuni Imran berusia 25 tahun), dan diutamakan untuk mahasiswa dari luar daerah dan luar negeri. Namun Dar al-Da’wah tidak dapat bertahan lama, karena harus tutup di awal Perang Dunia I pada 1914 karena alasan keuangan.
Sekembalinya dari Mesir, Basiuni Imran tetap berlangganan majalah al-Manâr. Pada saat inilah dia mengirimkan sejumlah pertanyaan kepada al-Manâr yang dijawab oleh Rasyid Ridha dalam rubrik “Fatawa al-Manâr”. Selama penerbitan al-Manâr (1898-1936), terdapat 26 artikel dan 135 permintaan fatwa (istifta’) dari Jawa- Nusantara (Bluhm-Warn 1997: 297), di antaranya pertanyaan yang ditulis oleh Basiuni Imran ini. Karena pertanyaan-pertanyaannya ini, nama Sambas juga dikenal luas. Namun, ada pertanyaan yang secara khusus diajukan kepada Syakib Arslan melalui Rasyid Ridha, yakni tentang kemunduran umat Islam, sebagaimana saya singgung di paragraf pertama tulisan ini. Siapakah Syakib Arslan, sehingga Basiuni Imran meminta pertanyaannya dijawab olehnya?
Al-Amir Syakib Arslan (1869-1946) adalah seorang pemimpin (amir) Druz, sebuah kelompok Syi‘ah Isma'iliyah Fathimiyah, Lebanon, yang juga seorang sastrawan, politisi, polemisis dan intelektual publik. Gelar “al-amir” di depan namanya itu merujuk kepada kepemimpinan Druz ini, di samping memang dia, sebagaimana disebutkan sebelumnya, diberi gelar publik sebagai “Amir al-Bayan” karena ia seorang penulis prolifik yang tulisan-tulisannya tidak hanya gamblang, tetapi juga kritis dan tajam. Dia menulis 20 buku dan sekitar 2.000 artikel dalam bahasa Arab dan Prancis. Meskipun seorang penganut Druz, pandangan-pandangannya dekat dengan pandangan Sunni. Bahkan Makram Rabah (2018) mengatakan bahwa, kendatipun seorang Druz, dia secara ketat mengikuti cara keagamaan Sunni. Dia sangat terinspirasi oleh gagasan pembaruan Jalaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta bersahabat erat dengan Muhammad Rasyid Ridha. Syakib Arslan juga seorang pendukung kebijakan Pan-Islamik Sultan Abdul Hamid II dan pendukung gagasan bahwa keberlangsungan Imperium Usmani adalah satu-satunya jaminan untuk menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah dan berada di bawah penjajahan Eropa. Saat Imperium Usmani runtuh, dia tetap mencita-citakan “nasionalisme Islam”. Dia juga mengadvokasi pemahaman bahwa Islam mempunyai asertivitas politik dan moral, serta meyakini bahwa iman dan modernitas bukanlah dua hal yang kontradiktif, namun dapat disatukan dan saling melengkapi (Cleveland, 1985). Karena itu, tidaklah salah jika Basiuni Imran meminta Syakib Arslan untuk menjawab pertanyaannya itu.
Pertanyaan Basiuni Imran dan Jawaban Syakib Arslan
Yang menarik adalah mengapa terkait dengan isu kemunduran umat Islam ini Basiuni Imran meminta Syakib Arslan menjawabnya, dan bukan Rasyid Ridha sendiri? Dari penuturan Rasyid Ridha dalam pengantar terhadap artikel Syakib Arslan, “Limâdza Ta’akhkhara al-Muslimûna wa limâdza taqaddama ghairuhum? (al-Manâr, 31 (5), 1930, 353-54), yang kemudian menjadi Kata Pengantar buku Syakib Arslan (1930, 3-5) dengan judul yang sama, jelaslah bahwa berdasarkan surat-surat Basiuni Imran sebelumnya, dia telah mengetahui pendapat-pendapat tentang masalah ini dari tulisan Muhammad Abduh, terutama Al- Islam wa Nashraniyyah ma’a al-Ilmi wa al-Madaniyyah (Islam dan Kristen terkait Ilmu dan Peradaban) dan Rasyid Ridha melalui tulisan di majalah al-Manâr atau tafsir al-Manâr. Selain itu, topik ini juga menjadi perbincangan di Dar al-Da’wah wa al-Irsyad, dan Ridha yakin, Basiuni Imran mendengarnya juga di sana. Tetapi dia menginginkan pendapat Amir al-Bayan Syakib Arslan untuk, sebagaimana dikatakan Rasyid Ridha, “memperbarui pengaruh dalam jiwa umat Islam terkait dengan hal yang relevan dengan mereka saat ini, untuk menjelaskan kepada mereka yang lupa, mengajari mereka yang belum tahu, menggerakkan yang pasif, dan menyemangati yang aktif.” Kata Rasyid Ridha, kemunduran umat Islam dan majunya non-Muslim telah menjadi topik hangat yang dia anggap sebagai “syubhat atas agama” bagi orang-orang awam, karena dapat berdampak meragukan agama. Sehingga ini perlu mendapatkan respons yang memadai dari orang yang mempunyai pandangan luas tentang Dunia Islam dan Eropa, dan orang yang tepat menjawabnya adalah Syakib Arslan.
Keingintahuan Basiuni Imran yang besar tentang bagaimana Syakib Arslan menjawab pertanyaan tentang kemunduran umat Islam itu tampak sekali dalam pengantar suratnya kepada Rasyid Ridha. Di pengantar suratnya, dia menyebutkan bahwa siapa pun yang membaca tulisan-tulisan Syakib Arslan, sang Amir al-Bayan, yang diterbitkan di majalah al-Manâr dan berbagai harian di Dunia Arab, pastilah tahu bahwa Syakib Arslan adalah salah satu penulis Muslim yang besar dan pelindung Islam, dan bahwa dia adalah penopang yang kokoh al-Manâr bersama editornya, Rasyid Ridha, dalam berkhidmah untuk Islam dan kaum Muslim. Dia memohon kepada Rasyid Ridha agar meminta Syakib Arslan untuk menjawab dua pertanyaan utamanya. Dua pertanyaan utama itu (Al-Manâr, 31 (5), 1930, 353-54; Arslan 1930, 4-5) adalah:
1) Apa yang menyebabkan kaum Muslim (termasuk juga di Jawa dan Melayu)5 lemah dan mundur dalam urusan-urusan keduniaan dan keagamaan, dan kita menjadi hina yang tiada daya dan kekuatan, sedangkan Allah berkata: Dan kemuliaan bagi Allah, bagi Rasul- Nya dan bagi kaum Muslim (QS. 63:8)? Di mana kemuliaan kaum Muslim saat ini? Dan apakah benar bagi seorang mukmin untuk mengklaim mulia, meskipun kenyataannya hina dan rendah yang tidak mempunyai sedikit pun sebab-sebab kemuliaan, kecuali bahwa Allah telah berkata, “Dan kemuliaan bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi kaum Muslim”?
2) Apa sebab orang-orang Eropa, Amerika, dan Jepang maju secara luar biasa? Dan apakah mungkin kaum Muslim mencapai kemajuan serupa, jika mereka mengikuti langkah-langkah mereka dengan tetap berpegang teguh pada agama mereka, Islam?
Pertanyaan yang diajukan Basiuni Imran itu adalah pertanyaan banyak orang saat itu—dan juga sekarang. Syakib Arslan menjawabnya dalam beberapa edisi majalah al-Manâr (31: 5, 1930, 355-70; 31: 6, 1931, 449-64; 31: 7, 1931, 529-39).
Syakib Arslan melakukan klarifikasi bahwa kemunduran Eropa pada Abad Pertengahan dan kebangkitan Eropa tidak ada hubungannya dengan faktor agama, karena agama (dalam pengertian Gereja) di Eropa menganggap temuan-temuan ilmu pengetahuan pada awal Abad Pencerahan sebagai bid‘ah-bid‘ah yang bertentangan dengan ajaran gereja. Dari situlah muncul sekularisme yang memandang agama tidak lagi relevan dengan peradaban maju. Tetapi, menurutnya, tidak demikian dengan Islam. Kebangkitan dan kemunduran umat Islam pada masa lalu, ada hubungannya dengan agama Islam itu sendiri.
Syakib Arslan membedakan antara masalah cabang (furû‘) dan pokok (ushûl) dalam mencapai peradaban tinggi itu (Arslan 1930, 100). Mempelajari ilmu pengetahuan Eropa, seperti menguasai teori-teori yang berkembang dalam bidang fisika, kimia, biologi, kedokteran dan sebagainya itu adalah masalah cabang. Itu adalah dampak dari hal yang pokok. Kalau yang pokok dilakukan, maka hal-hal yang cabang ini akan secara otomatis akan terjadi juga. Apa itu hal yang pokok? Hal pokok itu adalah “jihad atau pengorbanan (tadhhiyyah) dengan harta dan jiwa”. Penting digarisbawahi bahwa Syakib Arslan menyebut “jihad atau pengorbanan”, bukan “jihad dan pengorbanan”. Ini penting, karena baginya, jihad haruslah dipahami secara luas dan kontekstual sehingga ia sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya, dan itu adalah jihad dalam makna pengorbanan. Di antara sebab kemunduran umat Islam adalah kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, mudah putus asa, dan hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian, serta kebekuan berpikir (jumud). Namun, ini sebenarnya penyebab cabang saja. Penyebab pokoknya adalah hilangnya semangat jihad, yakni berkorban dengan harta dan jiwa.
Hal lain yang menjadi perhatian Syakib Arslan, dan ini menjawab pertanyaan kedua, yakni bahwa kaum Muslim dapat menjadi maju dengan jihad pengorbanan harta dan jiwa dalam mencapai ilmu pengetahuan dan peradaban tinggi dengan tetap mempertahankan agamanya. Arslan meminta Muslim melihat bagaimana Eropa dan Jepang berjihad dan berkorban untuk mencapai peradaban, namun tetap menjaga identitas mereka masing-masing. Ini untuk mengkritik negeri-negeri Islam yang tidak mau berkorban untuk kemajuan, dan malah meniru identitas orang lain dan meninggalkan identitasnya sendiri. Dia menunjukkan bahwa orang-orang Eropa sendiri tidak ingin kehilangan identitas mereka dan menjadi orang lain. Inggris tetap menjadi Inggris, Prancis tetap menjadi Prancis, dan seterusnya. Demikian juga Jepang. Sampai pada 1868 Jepang masih belum tampil sebagai bangsa yang maju. Tetapi kemudian mereka bangkit mengejar ketertinggalan dan mulailah mereka mempelajari ilmu-ilmu Eropa dan mendirikan industri sebagaimana orang-orang Eropa. Dalam rentang waktu 50 tahun hal itu mereka lakukan secara konsisten dan berhasil, namun tetap berpegang pada keyakinan dan tradisi yang mereka yakini.
Hal serupa dapat dilakukan oleh umat Islam, yakni maju dan berperadaban tinggi kembali sebagaimana pada Abad Pertengahan dengan tetap berpegang pada iman dan Islam.
Syakib Arslan percaya bahwa al-Qur’an dapat menjadi “inspirasi”, ketimbang “aspirasi”, bagi bangunan peradaban tinggi, sebagaimana pernah terjadi pada Abad Pertengahan sampai pra-modern. Syakib Arslan tidak menunjukkan bagaimana pembacaan terhadap al- Qur’an yang cocok dengan peradaban. Namun, tentu cara baca terhadap al-Qur’an tidaklah cukup dengan mengutip pendapat-pendapat sebelumnya (bi al-riwâyah). Pembacaan al-Qur’an mesti menjadikannya inspirasi bagi pembangunan peradaban masa kini dan masa depan, bukan kembali ke masa lalu.
Masihkah Relevan?
Tentu tidak memadai untuk memikirkan kembali pertanyaan dan jawaban besar tersebut dalam ruang yang sempit ini, sebuah Kata Pengantar. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi. Pertama, inti gagasan Syakib Arslan adalah bahwa peradaban mundur atau maju bergantung pada apa yang dia sebut sebagai ushûl (hal-hal pokok) dan al-‘ilm al-a‘lâ (ilmu yang tinggi), yakni “jihad atau tadhhiyah” (dia selalu mengunakan kata “au” [atau] di antara dua kata itu, bukan “dan”) (pengorbanan) dalam harta (amwâl) dan jiwa (anfus). Dengan kata lain, inti gagasan Syakib Arslan itu adalah jihad–qua–pengorbanan dana dan sumber daya manusia untuk ilmu pengetahuan dan peradaban, agar peradaban bisa maju, seperti di Eropa, Amerika, dan Jepang, kuncinya itu. Orang-orang Eropa, Amerika, dan Jepang menginvestasikan dana (amwâl) yang sangat besar untuk pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga muncul sumber daya manusia (anfus) yang mengabdikan diri mereka untuk ilmu pengetahuan dan peradaban. Untuk kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi, bangsa-bangsa itu harus mengeluarkan dana dan sumber daya yang besar.
Kedua, Syakib Arslan melakukan apa yang dalam bahasa Kuntowijoyo disebut “objektivikasi”, yakni objektivikasi jihad sebagai pengorbanan. Objektivikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal dalam kategori-kategori objektif yang dapat diterima lintas golongan dan lintas agama. Bisa saja gagasan, konsep, atau teori itu muncul dari pengalaman internal kebudayaan atau agama tertentu. Tetapi, ketika gagasan, konsep, dan teori itu dibicarakan dan disumbangkan dalam konteks yang lebih luas, perlu digunakan istilah yang dapat diterima bersama. Istilah “tadhhiyah” dalam bahasa Arab adalah bahasa yang dapat diterima lintas agama, sebagaimana kata “pengorbanan” dalam bahasa Indonesia dan sacrifice dalam bahasa Inggris. Dalam konteks jihad dengan harta dan jiwa, objektivikasinya adalah pengorbanan dalam menginvestasikan dana yang besar dan sumber daya yang mumpuni dan berdedikasi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Ketiga, sejauh ini, setelah seruan Syakib Arslan hampir satu abad yang lalu, umat Islam belum banyak mengadopsi konsep jihad sebagai pengorbanan dana dan sekaligus sumber daya manusia untuk ilmu pengetahuan dan peradaban ini. Banyak dana umat Islam masih digunakan untuk hal-hal yang secara harfiah tampak sebagai ibadah dan bersifat keagamaan, seperti membangun masjid-masjid baru, atau memperbaiki, memperluas, dan mempercantik masjid-masjid yang telah ada karena mengharap pahala istana di surga. Mengalokasikan dana besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban seakan-akan bukan merupakan ibadah dan bukan merupakan kewajiban keagamaan. Memang, harus diakui, banyak juga dana dialokasikan ke lembaga-lembaga pendidikan, seperti madrasah, pondok pesantren (ma‘had), dan perguruan tinggi Islam. Namun, belum banyak dana yang dialokasikan untuk riset-riset yang melahirkan teori-teori atau temuan-temuan baru. Sampai saat ini negara-negara Eropa, Amerika, Jepang—yang disebut-sebut Syakib Arslan—dan juga Tiongkok, menginvestasikan dana yang sangat besar untuk ilmu pengetahuan dan peradaban. Mereka, misalnya, berinvestasi besar sekali untuk riset dan eksplorasi luar angkasa atau, akhir-akhir ini, artificial intelligence (kecerdasan buatan), nano-teknologi, dan teknologi komunikasi mutakhir. Dengan dana yang besar itu para ahli juga berlomba-lomba dalam mendedikasikan diri pada ilmu pengetahuan dan peradaban. Ilmuwan-ilmuwan Muslim pun banyak yang hijrah ke negara-negara itu untuk melakukan penelitian-penelitian serius mereka. Di antara mereka, ada yang mendapatkan penghargaan Nobel. Umat Islam cukup menunggu hasil penelitian mereka, dan kemudian menjadi konsumennya yang setia di satu sisi, dan mengecam mereka sebagai bangsa yang bergelimang dalam kekafiran di sisi lain. Atau, setelah mengetahui hasil penelitian mereka, umat Islam cukup mengonternya dengan ucapan “Itu sudah ada dalam al-Qur’an 14 abad yang lalu.” Ini sebuah klaim yang murah meriah dan bahkan tanpa biaya.
Jawaban Syakib Arslan atas problem kemunduran, atau keterbelakangan, umat Islam muncul karena pertanyaan cerdas yang dilontarkan oleh Syaikh Muhammad Basiuni Imran, Maharaja Imam Kerajaan Sambas, Kalimantan Barat. Namanya pada awal abad ke-20 dikenal luas di Arab dan Dunia Islam, terutama di negera-negara di mana majalah al-Manâr beredar dan berpengaruh. Namun, ironisnya, beliau tidak banyak dikenal di negerinya sendiri. Buku Sunandar ini memberikan gambaran yang jelas siapa Syaikh Basiuni Imran, dan bagaimana pemikiran serta perannya dalam sejarah Islam Indonesia, serta kaitannya dengan gerakan pembaruan (tajdîd) Mesir, terutama ala Rasyid Ridha. Membicarakan Islam Indonesia atau Islam Nusantara haruslah melampaui “Jawasentrisme”, yakni dengan menggali dan memunculkan ulama, cendekiawan, tokoh dan budaya Muslim dari berbagai pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian, kita juga mengakui, memperkenalkan dan mengapresiasi pemikiran dan warisan, serta sumbangan keilmuan dan kebudayaan mereka terhadap bangunan peradaban Islam Indonesia dan Nusantara, bahkan dunia. Pertanyaan Basiuni Imran tersebut adalah contoh bagaimana seorang ‘alim dari Sambas, sebuah kerajaan kecil yang jauh dari pusat kekuasaan politik Hindia Belanda di Batavia kala itu, dengan caranya sendiri, berinteraksi dengan perkembangan pemikiran Islam global.[]
Spesifikasi Produk
SKU | POD-146 |
ISBN | 978-602-402-190-9 |
Berat | 300 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 22 Cm / 15 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 152 |
Jenis Cover |
Ulasan Produk
Tidak ada ulasan produk