Ketersediaan : Tersedia

LOST CHILD : PERMINTAAN TOLONG SI GADIS PEMBOHONG

Deskripsi Produk

“Dia ingin membunuh. Membunuh. Membunuh. Hingga semua orang mati,” kata Jessie. “Itulah sebabnya dia harus berada di sini, karena ada setan dalam dirinya.” Di sudut Wales yang terlupakan, seorang gadis kecil mendekam di rumah singgah untuk anak-anak bermasalah. Jessie yakin setan sudah merasukinya ketika masih dikandung sang ibu. Dia percaya…

Baca Selengkapnya...

Rp 105.000

Rp 55.000

“Dia ingin membunuh. Membunuh. Membunuh. Hingga semua orang mati,” kata Jessie. “Itulah sebabnya dia harus berada di sini, karena ada setan dalam dirinya.”

Di sudut Wales yang terlupakan, seorang gadis kecil mendekam di rumah singgah untuk anak-anak bermasalah. Jessie yakin setan sudah merasukinya ketika masih dikandung sang ibu. Dia percaya itulah penyebab kenakalan dan kepiawaiannya memintal cerita bohong. Itulah mengapa orangtuanya menelantarkannya. Itulah mengapa tidak ada yang menyayanginya.

Berbekal kesabaran dan kasih sayang, Hayden mulai menangani Jessie seminggu sekali. Namun, ketika Jessie menuduh salah satu staf rumah singgah melecehkannya, pekerjaan Hayden jadi berlipat ganda. Kini, selain mencari tahu akar permasalahan Jessie, Hayden juga harus mengungkap kebenaran tuduhan itu. Apakah Jessie benar-benar korban kekerasan seksual? Atau tuduhan itu lagi-lagi hanyalah kebohongannya saja?

Penulis dan terapis anak, Torey Hayden, sukses menuturkan kisah nyatanya menangani anak-anak didik luar biasa. Setelah membagikan kisah seorang gadis berusia 6 tahun yang membakar anak lelaki berusia 3 tahun sampai nyaris mati, dalam buku Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, Torey Hayden merilis buku terbarunya, Lost Child yang mengisahkan Jessie, seorang anak yang tampaknya tak bisa membedakan antara realitas dan kebohongan.

Ikutilah cerita Hayden dan Jessie, seorang anak bermasalah yang melindungi diri di balik tembok kebohongan. Bagaimana perjuangan Hayden menguak rahasia-rahasia Jessie? Berhasilkah Hayden menyelamatkannya?

BAB I

Pada bulan Maret, aku melihat burung skylark pertama. Bukan burung aslinya, tentu saja. Di sini, di atas padang rumput lebat yang tersapu angin, masih terlalu dini jika burung itu bermunculan sekarang. Burung yang kulihat ini digambar pada sehelai kertas A4, jenis kertas biasa untuk printer, dan sekilas, aku sama sekali melewatkan burung itu.

Meleri mengulurkan tangan untuk menunjuk pojok kanan bawah. Aku mengenakan kacamata baca, mengangkat kertas itu ke depan jendela mobil, dan melihat gambar yang tidak lebih besar daripada kuku jempolku. Cuaca pada hari itu khas Wales, mendung gelap dan “rintik kabut”—terlalu tebal untuk disebut kabut, terlalu ringan untuk disebut gerimis—membuat kursi belakang mobil sesuram kapel yang telantar. Di kertas, burung skylark mungil itu bertengger di antara bilah-bilah rumput yang runcing, matanya cemerlang, ekspresinya cerdik, seakan-akan mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu.

Bulunya berwarna cerah, lebih mirip bulu burung macawdaripada skylark. Not-not balok mungil berderet menanjak di sepanjang sisi kanan kertas untuk menggambarkan kicauan burung itu. 

“Bukankah dia berbakat?” tanya Meleri. “Usianya baru sembilan tahun.”
“Siapa tadi namanya?”
“Jessie. Jessie Williams.”
Detail-detail mungil gambar itu, yang begitu persis dan rumit, membuatku terpukau. Meleri membuka map portofolio terikat karet di atas lututnya dan mengeluarkan tiga gambar lagi, yang diserahkannya kepadaku. Dua gambar dibuat dengan spidol seperti gambar yang kupegang. Yang satu lagi dengan pensil, garis-garisnya begitu halus dan tipis hingga nyaris tak terlihat olehku dalam cahaya suram. Burung mungil yang sama itu menatapku di setiap gambar.

“Aku senang dia menggambar,” kata Meleri. “Gambar-gambar ini tampak ceria bagiku, seakan-akan Jessie masih punya harapan.” 

Beberapa tahun silam, aku bertemu Meleri Thomas untuk pertama kali. Kami bertemu di Cardiff, di ruang tunggu studio TV untuk saluran berbahasa Wales S4C, tempat kami berdua tampil dalam program sarapan pagi. Aku di sana untuk mempromosikan salah satu bukuku, sedangkan dia ikut serta dalam diskusi panel mengenai hak-hak anak.

Meleri langsung menarik perhatianku, karena kemungkinan besar, dia memang akan menarik perhatian siapa saja. Raut wajahnya tegas, cantik, mirip orang Italia—mata gelap besar dan rambut gelap panjang—dan dia mengenakan gaun rajut hijau zamrud mencolok yang ketat memeluk tubuh. Aspek-aspek ini saja sudah cukup memikat, apalagi Meleri juga sangat mirip dengan chef TV populer, Nigella Lawson. Awalnya, kukira memang dia, dan aku penasaran mengapa dia menghadiri diskusi panel berbahasa Wales yang membahas hak-hak anak.

Ruang tunggu selalu beratmosfer tegang. Hampir semua orang yang sedang menunggu giliran tampil di depan kamera TV merasa gugup karena satu dan lain alasan. Akibatnya, walaupun tidak saling mengenal, orangorang yang duduk bersama-sama di ruang tunggu tak jarang berbasa-basi demi mengatasi kegugupan. Kesempatan itu menjadi tantangan bagiku karena semua orang berbicara dalam bahasa Wales. Aku baru saja mempelajari bahasa ini dan belum terlalu fasih. Lebih tepatnya, lidah Amerika-ku terkadang masih sulit melafalkan bahasa Wales. Walhasil, satu-satunya yang kuingat tentang kejadian di sana adalah hal yang memalukan.

Cuaca selalu menjadi topik yang bagus untuk berbasabasi. Jadi, aku berkomentar betapa aku sangat menikmati hari-hari dingin berembun beku pada musim itu. Dalam keriuhan tawa tak terduga setelahnya, aku baru tahu bahwa kata Wales untuk “berembun beku” dilafalkan serupa dengan kata Wales untuk kata “seks”. Aku dan Meleri bertemu kembali di konferensi kecil untuk para pekerja sosial dan pendamping remaja, di Cardiff juga. Aku langsung mengenali rambut hitamnya yang tergerai dan pakaiannya yang glamor. Kami tertawamengingat kesalahan memalukanku, dan aku terpaksa mengaku bahwa bahasa Walesku bahkan semakin buruk belakangan ini, jika dibandingkan dengan waktu itu. Semua itu karena aku sudah pindah ke daerah baru yang dialeknya jauh berbeda. Walaupun masih bisa membaca bahasa itu dengan cukup baik, aku bisa dibilang sudah berhenti menggunakannya.

“Itu daerah-ku,” kata Meleri ketika aku sedang menjelaskan daerah baru tempatku tinggal. “Rumahku di sana!” Lalu, “Oh, jika kau tinggal sangat dekat, kunjungilah Glan Morfa. Aku mengasuh begitu banyak anak dan kau harus menemui mereka.”

Aku memerlukan waktu dua tahun sebelum akhirnya diantar dengan mobil menyusuri tepi pantai yang sebagian besarnya sudah diurbanisasi, beralih dari satu kota pantai ke kota pantai berikutnya dalam perjalanan ke rumah singgah anak, Glan Morfa.

Seluruh area tampak kumuh, mulai dari pelabuhan industri telantar yang dibangun untuk melayani tambang-tambang, yang kini terbengkalai hingga pantai wisata muram, dengan roller coaster rusak dan kios-kios tutup. Lalu, muncullah taman wisata yang terhampar luas dan deretan karavan kusam bernoda karat. Semuanya kosong di luar musim liburan.

Mobil berbelok ke jalanan satu lajur panjang di antara dua taman karavan. Jalanannya dipenuhi lubang, jadi mobil kami melaju tersendat. Sungguh, perjalanan itu penuh guncangan, hingga mau tak mau, kami tertawadi kursi belakang karena terbentur-bentur hebat. Namun kemudian, di balik kerubung pepohonan ramping yang berubah bentuk akibat terpaan angin laut, tampak bangunan rendah yang panjang. Arsitekturnya yang polos dan brutal menandakan tahun konstruksi 1960-an. Cat putih di sekeliling jendela-jendelanya terkelupas. Dinding berbatunya berwarna kecokelatan.

Meleri merasakan kekecewaanku ketika melihat lingkungan semuram itu dan berkata, “Kami berharap dewan kota sanggup membeli cat tahun ini, walaupun sepertinya mereka akan menghabiskan uangnya untuk memperbaiki jalan.”

Namun, dalam bangunan itu ada dunia yang berbeda. Area masuknya berpenerangan baik dan dicat putih dengan gradasi pirus terang. Ada banyak poster di dinding; foto piknik dan kegiatan kelompok di papan buletin. Di sudut bangunan terdapat kantor berdinding kaca berhias kalender, jadwal-jadwal individu, dan berbagai foto anak-anak. Aku diperkenalkan dengan Joseph dan Enir, staf yang sedang bertugas.

Tentang Torey L. Hayden

Resensi

"Sebuah analisis menarik dari seorang psikolog yang berdedikasi kuat untuk menolong seorang anak yang tersesat karena perilakunya sendiri." (Booklist) "Hayden adalah pencerita yang hebat, mengisahkan kembali ikatan erat mengharukan yang terbentuk di antara anak-anak, serta di antara Hayden dan murid-muridnya." (Washington Post) "Psikolog pendidikan, guru pendidikan luar biasa, dan novelis Hayden (Overheard in a Dream; One Child) menampilkan skenario yang identik dengan dongeng "Peter dan Serigala". Seorang anak perempuan asuh yang ditelantarkan orangtuanya kesulitan untuk membuat para profesional memercayai tuduhannya terhadap kekerasan seksual yang dialaminya. Kebiasaannya berbohong dan kecenderungannya melebih-lebihkan sesuatu membuatnya sulit dipercaya. Hayden mampu menembus melalui pertahanannya untuk mengetahui kebenaran di balik perilaku si gadis kecil. Dalam setiap lembarnya yang mengejutkan dan inspiratif, buku ini mengungkap segalanya, melalui usaha Hayden mencari tahu hingga ke akar permasalahan. Buku-buku Hayden selalu sukses meraih best-seller dan tak lekang oleh waktu. Sebuah rekomendasi yang tidak bisa dilewatkan." (Virginia Johnson, John Curtis P.L., Hanover, MA)

Spesifikasi Produk

SKU QN-125
ISBN 978-602-402-188-7
Berat 400 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm
Halaman 408
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk