Ketersediaan : Tersedia

MANIFESTO ISLAM CINTA

Deskripsi Produk

Agama pernah diramalkan bakal lenyap, tergantikan sains dan etika sekular. Nyatanya, agama justru bangkit kembali di ruang publik—sayangnya, dengan kekuatan melawan yang lebih kuat. Sehingga, sebagai eksesnya, ia malah melahirkan formalisme-legalisme yang mencekik dan ideologi politik keagamaan yang keras dan bermusuhan. Tak terkecuali Islam. Apakah memang demikian sejatinya karakter agama…

Baca Selengkapnya...

Rp 49.000

Rp 41.650

Agama pernah diramalkan bakal lenyap, tergantikan sains dan etika sekular. Nyatanya, agama justru bangkit kembali di ruang publik—sayangnya, dengan kekuatan melawan yang lebih kuat. Sehingga, sebagai eksesnya, ia malah melahirkan formalisme-legalisme yang mencekik dan ideologi politik keagamaan yang keras dan bermusuhan. Tak terkecuali Islam. Apakah memang demikian sejatinya karakter agama Islam?

Buku ini secara ringkas-lugas menunjukkan bahwa prinsip utama Islam adalah cinta dan welas asih. Bahwa Tuhannya Islam memiliki sifat utama Mahawelas Asih (Rahman-Rahim). Bahwa misi-utama risalah Nabi adalah mengembangkan spiritualitas, menebarkan rahmat (welas-asih) bagi semesta, dan menyempurnakan perilaku mulia (akhlak karimah). Karenanya, hukum dan ideologi harus ditundukkan kepada spiritualitas, sifat welas asih, dan akhlak mulia ini. Inilah Paradigma Islam Cinta. 

Maka, hanya apabila Islam dipandang dari sudut paradigma cinta inilah ia akan memiliki masa depan, dan memiliki peran positif bagi kemaslahatan orang banyak dan penciptaan kehidupan dunia yang lebih damai sejahtera.

 

PENGANTAR:

Saya—setelah puluhan tahun belajar Islam dengan menjalani berbagai pendidikan formal dan informal, membaca ratusan buku, dan belajar kepada para ulama/ahli—dan dalam kesadaran penuh akan adanya batas-batas kemampuan saya, saat ini, dan dengan penuh kerendahan hati, ingin menyatakan hal-hal sebagai berikut ini:


1. Saya percaya bahwa Islam, di atas segalanya, adalah agama cinta. Allah adalah Zat Yang Maharahman dan Maharahim, Al-Muhibb, Al-Wadûd, dan Al-Wâjid, yang semuanya bermakna bahwa Dia Maha Pencinta dan Mahawelas Asih. Bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi al-Rahmah (welas asih, al-ra’ûf al-rahîm) dan berhati lembut, dan bahwa asas ajaran agamanya adalah cinta (al-hubbu asasî, sabdanya Saw.). Sedang misi kenabiannya tak lain dan tak bukan (mâ-illâ) adalah menebarkan welas asih ke seluruh alam semesta. Bahwa, dalam segenap kemurkaan dan keadilan-Nya, Welas Asih Allah menundukkan murka-Nya. Dan bahwa welas asih serta kelembutan hati Nabi Saw. menundukkan sikap tegas dan kerasnya, bahkan terhadap yang bukan orang-orang baik. Allah itu Maha Pengampun, Yang mengampuni semua dosa, dan Nabi Saw. demikian pula—seperti ditampakkan dalam fragmen-fragmen hidupnya. Al-Qur’an dan hadis/Sunnah pun dipenuhi anjuran untuk memaafkan, bahkan kepada orang-orang yang zalim. Dakwah Islam, sebagaimana diajarkan Allah dan Nabi-Nya mendahulukan/memprioritaskan nasihat, hikmah, dan kata-kata yang baik; yang, dalam kaitan ini, melihat kekerasan dan peperangan hanya sebagai last resort (upaya akhir, ketika upaya-upaya damai sudah dimaksimalkan dan gagal). Pemahaman atas ajaran Islam dengan bersandar pada prinsip-prinsip utama inilah yang saya sebut dengan Paradigma Islam Cinta.

2. Al-Qur’an mushaf Utsmani yang kita baca sekarang ini saya percayai semuanya wahyu dari Allah, tak ada perubahan (tahrîf)—selain variasi qiraah. Dan bahwa Al-Qur’an itu qath‘î al-wurûd (autentik) semua ayatnya. Namun, dilâlah (pemahaman makna atau tafsir)-nya ada yang qath‘î (pasti), ada juga yang zhannî (berupa dugaan), sedangkan yang dugaan (atau tafsir manusia) itu (bukan firman Allah/ayat-Nya) bisa benar dan bisa salah. Kenyataannya, memang tafsir Al-Qur’an oleh para ulama/ahli bersifat beragam. Maka, saya memilih menafsirkannya dalam paradigma Islam Cinta seperti saya uraikan dalam butir 1. Dengan kata lain, saya akan pilih tafsir yang sesuai dengan pemahaman saya akan paradigma Islam Cinta itu—baik itu tafsir literal maupun tafsir yang lebih “liberal”, ataupun hermeneutis (ta’wîlî atau ‘isyârî). Jadi, saya tak akan mengarang (dengan ra’yu/opini saya), tapi akan menggunakan akal dan hati saya untuk memilih tafsir yang saya anggap paling sesuai dengan teks, maqâshid syarî‘ah, konteks (waktu dan tempat), dan kesepakatan (tradisi) kaum Muslim—selama tidak bertentangan dengan makna tekstual.

 

3. Hadis atau Sunnah, meski dipahami sebagai perkataan dan tindakan/pembenaran dari Nabi Muhammad Saw., bersifat zhannî al-wurûd dan—meski dalam beberapa hal qath‘î al-dilâlah—umumnya bisa zhannî al-dilâlah. Jadi, sifat zhannî-nya hadis bisa dobel. Zhannî dalam hal riwayat, sekaligus zhannî dalam hal makna. Kenyataan ini diakui oleh para ulama. Faktanya memang tetap saja ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kesahihan hadis/Sunnah meski hadis/Sunnah tersebut dimuat dalam salah satu kitab-kitab hadis sahih (shihah).

Belum lagi pada kenyataannya ada ribuan, kalau tidak malah puluhan ribu, hadis palsu yang difabrikasi oleh berbagai individu dan kelompok dalam sejarah Islam demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri, khususnya kelompok-kelompok aliran atau dinasti-dinasti politik, yang memang diduga banyak membuat hadis-hadis palsu seperti ini. Maka, saya akan bersikap lebih kritis lagi dalam persoalan pemahaman hadis dan Sunnah ini. Dan bukan hanya itu, saya tak akan pernah mengalahkan matan terhadap riwayat (isnad) begitu saja. Tentu riwayat tetap penting. Tapi, bagi saya, yang pada akhirnya menentukan kesahihan hadis/Sunnah—yakni keyakinan bahwa sebuah riwayat hadis/Sunnah benar-benar bisa saya percaya sebagai diucapkan atau dikerjakan/dibenarkan Nabi—adalah jika itu sesuai akal dan hati saya (dan tentu pemahaman saya tentang ayat-ayat Al-Qur’an) yang terkait. Dan bahwa apa yang saya terima dengan akal dan hati saya itu adalah apa-apa yang sejalan dengan paradigma Islam Cinta. Lalu, mengingat paradigma Islam Cinta ini dianut khususnya oleh para sufi, maka saya juga tak menutup diri pada periwayatan para sufi, yang memperkenalkan metode kasyfî (penyingkapan spiritual) dalam menerima kesahihan hadis/Sunnah. Bukan semata-mata melihat isnad atau bahkan matan tekstual-lahiriah.

4. Mengenai data-data kesejarahan, yang dicatat para mu’arrikh (ahli tarikh/sejarah), daya kritisisme harus lebih keras saya kerahkan lagi. Pertama, tidak hanya isinya bukan wahyu, sebagaimana Al-Qur’an dan hadis (sahih), kemungkinan kesalahan, keterlupaan, dan masuknya bias pribadi sangat besar. Apalagi dalam hal kitab-kitab tarikh (sejarah Islam) awal. Meski memiliki kedekatan era/zaman dengan era/zaman Nabi, kritik ilmiah (dan sarana transmisi informasi) masih jauh dari bisa dibilang memadai, apalagi canggih. Belum lagi adanya konflik-konflik politik, yang berkembang segera setelah wafatnya Nabi, yang berpengaruh terhadap objektivitas dalam transmisi dan seleksi informasi. Sekali lagi, kenyataannya para mu’arrikh (awal) pun banyak menyampaikan beragam informasi dan opini berbeda. Meski saya tahu ada 2 (dua) Thabari, tapi bahkan Thabari utama pun—Ibn Jarir al-Thabari—tak urung sempat dituduh Syi‘ah karena beberapa informasi yang dikandung dalam kitab tarikhnya. Pada kenyataannya juga, para ahli yang lebih belakangan menganggap—setidaknya sebagian—isi kitab-kitab tersebut memang kompilasi semua informasi yang diterima penulisnya tanpa upaya seleksi khusus. Saya akan merasa jauh lebih “tega” menyisikan informasi-informasi yang tidak bisa diterima akal dan hati saya—berdasar apa yang saya pelajari dari Al-Qur’an, hadis, dan ilmu para ulama—dari data-data yang bersumber dari kitab-kitab tarikh tersebut. Di sini juga, lebih-lebih, paradigma Islam Cinta akan saya operasikan.

 

5. Bahwa selama paradigma Islam Cinta dipelihara dalam memahami dasar-dasar ajaran Islam tersebut, dengan menggunakan daya akal dan hati yang merupakan anugerah Allah yang paling mulia kepada makhluk manusia, maka kita bisa berharap upaya untuk memahami dasar-dasar ajaran Islam itu akan mendekati kebenaran. Dan, pada saat yang sama, pemahaman dasar-dasar ajaran Islam melalui paradigma Islam Cinta ini akan menjadikan Islam—sebagaimana dipahami para ulama/ahli dan pemeluknya—menjadi agama yang mendukung kedamaian dan kesejahteraan manusia di muka bumi. Kosong dari paradigma cinta, dikhawatirkan (pemahaman atas ajaran Islam) dan penerapannya justru bisa menimbulkan konflik dan kesengsaraan manusia.

6. Dengan penuh penghormatan kepada para ulama sepanjang sejarah, yang telah berupaya keras untuk mencari kebenaran, saya akan selalu berpihak dan mengambil pandangan dan ijtihad mereka yang sesuai dengan paradigma Islam Cinta yang saya pahami dan yakini.

Dengan menyatakan sikap ini, saya akan selalu berupaya sekeras mungkin untuk bersetia penuh dalam merujukkan semua pemahaman dan pandangan saya kepada semua dasar-dasar ajaran Islam, terutama Al-Qur’an dan hadis/Sunnah, tapi pada akhirnya saya akan menempatkan kesemuanya itu di bawah sorotan paradigma Islam Cinta dan memilih pandangan hanya yang lolos dari sorotan itu. Karena, sesungguhnya paradigma Islam Cinta, tak lain dan tak bukan, saya yakin dapat dan memang diturunkan sepenuhnya dari prinsip-prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadis/Sunnah itu sendiri. Semoga Allah Swt. selalu menolong saya dan tak pernah meninggalkan saya dalam (keterbatasan dan kesalahan) diri saya, walaupun hanya sekejap mata.

 

Dan semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan saya yang tentu tak terhitung banyaknya.

 

 

Spesifikasi Produk

SKU UA-264
ISBN 978-602-441-273-9
Berat 300 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 19 Cm/ 0 Cm
Halaman 164
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk