Ketersediaan : Tersedia

MEMANG JODOH (REPUBLISHED 2022 EDISI KE-4)

Deskripsi Produk

Novel Terakhir dari Penulis Sitti Nurbaya, Marah Rusli Hamli tak pernah mengira, keputusannya untuk menerima beasiswa pemerintah Belanda demi melanjutkan sekolah ditentang oleh orangtuanya. Orangtua yang justru dia harapkan akan mendukung sepenuh hati. Namun, adat Minang yang mengikat erat ternyata membelenggu cita-citanya. Hamli pun kemudian memutuskan untuk melanggar adat, merantau…

Baca Selengkapnya...

Rp 129.000

Rp 109.650


Novel Terakhir dari Penulis Sitti Nurbaya, Marah Rusli


Hamli tak pernah mengira, keputusannya untuk menerima beasiswa pemerintah Belanda demi melanjutkan sekolah ditentang oleh orangtuanya. Orangtua yang justru dia harapkan akan mendukung sepenuh hati. Namun, adat Minang yang mengikat erat ternyata membelenggu cita-citanya.

Hamli pun kemudian memutuskan untuk melanggar adat, merantau demi ilmu. Dan ketika dalam perantauan dia bertemu dengan mojang Priangan yang menawan hatinya, pilihan getir terpaksa harus diambil. Hamli rela “dibuang” oleh adat dan orangtua demi cintanya.

Kisah semiautobiografi Marah Rusli ini adalah salah satu karya klasik yang hilang dari ranah sastra Indonesia. Siapa mengira bahwa sang sastrawan besar, Marah Rusli, menyimpan kisah cinta yang sedemikian menyentuh dan abadi? Melalui Memang Jodoh, Marah Rusli sekali lagi mempersembahkan sebuah warisan berharga bagi dunia sastra Indonesia.

 

 

 

 

Atok, Pengantar
dari Cucu Marah Rusli


Ketak, ketik ... ketak, ketik ... ketak, ketik ..., trriiing.” Aku terbangun mendengar bunyi mesin tik manual yang membentuk irama teratur bernada sendu. Kulirik adikku, Harry, masih terlelap di sampingku. Sedangkan sosok kakekku terlihat duduk di depan meja tulisnya. Di hadapannya, ada Mesin tik manual tua, kalau tidak salah bermerek Underwood. Setiap ditekan tombolnya akan berbunyi: “ketak, ketik ... ketak, ketik ... ketak, ketik ...” dan bila tuas pergantian baris digeser, akan terdengar bunyi “... trriiing”. Suara mesin tik manual yang musikal seperti ini mungkin sudah tidak dikenal oleh generasi masa kini yang serbakomputer dan serbadigital.

Saat itu menjelang subuh. Kakekku biasa terbangun tengah malam, kemudian shalat tahajud. Sambil menunggu azan subuh, beliau akan melantunkan kitab suci Al-Quran secara fasih dengan suara yang merdu. Atau, duduk di depan meja tulisnya sambil menyelesaikan naskah-naskah karangannya, seperti yang sedang dilakukannya saat itu. Aku dan ketiga saudaraku sering menginap di rumah beliau di Bogor. Terutama pada saat liburan sekolah. Waktu itu pun demikian. Biasanya, aku dan adikku tidur bersama beliau, sedangkan kedua kakakku yang wanita bersama nenekku. Pada kurun waktu itulah, perkiraanku naskah buku Memang Jodoh diselesaikan. Seingatku, saat itu aku berusia sekitar 12 tahun, yaitu pada awal tahun 1960-an. Berarti sudah lebih dari 50 tahun naskah buku Memang Jodoh diselesaikan. Kakekku pernah mengatakan akan memberikan hadiah yang sangat istimewa bagi nenekku, yaitu pada hari ulang tahun ke-50 pernikahan mereka, pada 2 November 1961.

Aku mengenang kakekku sebagai sosok yang tinggi besar, sangat tampan, berwajah mirip keturunan Timur Tengah, tetapi juga sangat santun dan baik hati. Sedangkan nenekku, berperawakan sedang, berkulit langsat dan memiliki kecantikan khas putri Pasundan. Nenekku pandai mengatur rumah tangga, sangat ahli memasak dan membuat beraneka macam kue-kue ataupun penganan kecil lainnya. Maka, lengkaplah kebahagiaan kami, cucu-cucunya, bila saat liburan tinggal di rumah beliau berdua. Selain selalu disajikan makanan ataupun penganan yang lezat. Juga, karena kakekku pandai berdongeng. Biasanya setelah makan siang, sebelum tidur (pada zaman itu semua anak-anak, bahkan orang tua dibiasakan untuk tidur siang), kami semua akan berkumpul di pangkuan atau di samping kursi beliau. Beliau adalah seorang pendongeng yang sangat mahir. Maklumlah beliau berasal dari Padang. Mungkin saat kecil sering mendengarkan tukang kabba yang berkeliling kampung menjual ceritanya. Seingatku aku belum pernah membaca buku Sitti Nurbaya secara lengkap, tapi aku hafal ceritanya luar kepala, karena sering diceritakan oleh beliau dengan gaya yang sangat menarik hati. Mungkin lebih menarik dari novelnya, bahkan sinetronnya.

Menurut hematku, kakekku sangat mencintai dan menghormati nenekku. Tidak pernah aku mendengar bentakan sekecil apa pun terhadap nenekku. Beliau selalu bertutur sopan dan santun, bahkan menurutku sedikit formal. Beliau selalu menyapa nenekku dengan kata “raden”, mungkin kependekan dari gelar dan nama nenekku, Raden Ratna Kancana binti Kartadjumena. Memang nenekku adalah seorang putri bangsawan Pasundan. Sedangkan, kakekku putra bangsawan Padang. Ayahnya bernama Sultan Abu Bakar gelar Sultan Pangeran. Karena ibunya tidak bergelar Puti, maka gelar kakekku menjadi Marah.

Rupanya darah bangsawan yang mengalir baik pada kakek maupun nenekku, tidak mempermudah hikayat perkawinan mereka tetapi justru menimbulkan banyak permasalahan. Pertemuan mereka diawali saat kakekku kuliah di Bogor untuk menjadi seorang dokter hewan. Beliau adalah dokter hewan lulusan ke-15 dari Nederlands Indisch Veearsen School (NIVS) di Bogor. Menjelang menyelesaikan kuliahnya, beliau meminta izin ayahnya untuk menikahi seorang gadis Pasundan, pujaan hatinya. Niat ini ditentang mentah-mentah oleh ayahnya dan seluruh keluarga di Padang. Karena beliau sudah dijodohkan dengan beberapa putri setempat. Tetapi, beliau keras pada pendiriannya. Pada 2 November tahun 1911, kakek menikahi nenekku di Bogor. Tanpa restu keluarga. Akibatnya, beliau dikucilkan secara adat dan terbuang dari tanah kelahirannya, Padang.

Rupanya ini sangat membekas di dalam hatinya. Beliau berontak dan melawan aturan adat perkawinan yang keras dan kaku di Padang ini, tetapi dengan cara yang santun, yaitu dengan cara mengarang novel roman Sitti Nurbaya. Ternyata buku ini dianggap telah membuka cakrawala baru dan mendobrak adat istiadat perkawinan yang saat itu sangat kaku. Bukan hanya itu, karya ini dianggap sebagai novel roman pertama dalam sejarah sastra Indonesia. Maka, tak berlebihan bila HB Jassin memberi beliau gelar sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sedangkan, Pemerintah Indonesia memberi hadiah tahunan dalam bidang sastra untuk roman yang legendaries ini.

Tetapi, kesuksesan beliau dengan roman Sitti Nurbaya tidak menyurutkan niat keluarga di Padang. Berbagai upaya dan intrik dilakukan, agar beliau menceraikan nenekku yang bangsawan Pasundan dan menikah dengan putri asli Padang. Atau setidaknya beliau mau berpoligami. Menikah lagi dengan putri daerah Padang sebagai istri kedua atau ketiganya. Tetapi beliau bersikukuh. Tidak mau berpoligami apalagi menceraikan istri yang sangat dicintainya. Mungkin pengalaman masa kecil pun berpengaruh. Ketika ayahnya berpoligami, ibunya berontak tidak mau lagi tinggal serumah dengan ayahnya. Sehingga, sejak usia sangat kecil sampai dewasa, beliau hanya hidup berdua dengan ibunya. Oleh karena itu, beliau sangat antipoligami.

Buku Memang Jodoh adalah cara beliau untuk memprotes anjuran poligami dari keluarga di Padang. Buku ini menggambarkan bagaimana keras hati beliau dalam menentang poligami. Tapi disampaikan dengan cara yang santun. Buku ini sebenarnya sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu. Tetapi mengapa baru diterbitkan sekarang? Ini pun atas wasiat beliau. Bahwa buku ini baru boleh diterbitkan setelah orang-orang yang terlibat di dalamnya meninggal dunia. Beliau tidak ingin menyakiti hati keluarga di Padang. Sudah barang tentu, suasana dan adat istiadat di Padang dewasa ini tidak lagi selayaknya 100 tahun yang lalu. Dalam buku ini, semua nama yang terlibat telah disamarkan. Karena ditulis lebih dari 50 tahun yang lalu, bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku Memang Jodoh sejatinya tidak lagi sama dengan bahasa Indonesia yang digunakan saat ini. Namun, masih sangat nyaman untuk dibaca. Sambil mengenang kembali bahasa Indonesia dalam tatanan lama yang baik dan benar.

Buku Memang Jodoh tidak dapat dikatakan autobiografi Marah Roesli secara lengkap, karena kebanyakan bercerita tentang permasalahan perkawinan berbeda adat dan anjuran berpoligami yang telah dialaminya. Dan, syukur Alhamdulillah kakek dan nenekku tetap rukun dan berbahagia hingga usia perkawinan mereka yang ke-57. Sebenarnya perjalanan hidup kakekku ini lebih beragam dan seru! Aku ingat benar, seperti apa yang diceritakan oleh beliau kepada kami, tentang peristiwa meletusnya, Gunung Kelud pada tahun 1919. Saat itu beliau sedang bertugas di Kota Blitar. Seorang pengemis yang dianggap gila, ternyata menyelamatkan ribuan penduduk yang

diterjang banjir lahar dingin. Atau, cerita bagaimana serunya menyelundupkan beras dan senjata untuk para gerilyawan di luar kota tanpa diketahui tentara Jepang. Pada saat revolusi beliau memang bertugas sebagai perwira Angkatan Laut. Beliau selalu bercerita dengan gaya yang seru, kocak, tapi sebenarnya penuh wejangan pada kami cucu-cucunya. Sayang cerita-cerita beliau ini tidak ditulis atau dibukukan.

Kakekku ini adalah pribadi yang lengkap. Walaupun telah dinobatkan sebagai pengarang roman legendaris Sitti Nurbaya, kakekku tetap setia menekuni profesinya, menjadi dokter hewan. Sebagai pengabdian kepada profesinya, beliau pernah ditempatkan di daerah-daerah terpencil di Indonesia dan tetap bertugas sampai pensiun. Sumbangsih kepada ilmu pengetahuan dibuktikan dengan berbagai pelaporan dan penelitian yang dipublikasikan. Aku melihat makalah-makalah yang tersusun rapi di perpustakaan pribadinya di Bogor. Beliau juga mempunyai berbagai prestasi lain. Pada saat revolusi kemerdekaan bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia di Tegal, dengan pangkat terakhir Mayor (AL). Dalam bidang olahraga berkiprah sebagai salah satu pendiri Voetbalbond (perkumpulan sepakbola) Semarang pada tahun 1950 dan sempat menjadi komisaris PSSI Jawa Tengah.

Kecintaan beliau pada tanah Padang sebenarnya tidak diragukan. Walaupun sejak dibuang oleh adat tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Saat sakit dan kemudian meninggal pada tahun 1968 di Bandung, beliau berpesan bila sembuh dari sakitnya, ingin sekali lagi melihat tanah Padang. Sayang keinginan ini tidak terkabulkan, karena beliau tidak pernah sehat kembali setelah menderita serangan stroke.

Nama lengkap kakekku adalah Marah Roesli bin Abu Bakar. Mengacu kepada pedoman Umum Ejaan Yang disempurnakan, maka PT Balai Pustaka yang menerbitkan buku Siti Nurbaya mengejanya menjadi Marah Rusli. Tetapi, kami sekeluarga sepakat tetap akan menggunakan nama Roesli (bukan Rusli) sebagai nama keluarga kami. Alhamdulillah sampai saat ini sudah ada 5 generasi yang menyandang nama keluarga Roesli yang berasal dari nama kakekku yang kami banggakan ini.

Saat ini beliau disemayamkan di makam keluarga di Bogor didampingi oleh makam istri tercinta dan satu-satunya, Raden Ratna Kancana. Juga, ditemani oleh makam anaknya Rushan Roesli, serta makam cucunya, Harry Roesli. Atok (itu panggilan kami untuk kakekku) semoga apa yang telah kau wariskan dapat menjadi teladan bagi kami semua! Amin.

 

Rully Roesli
(cucu dari Marah Roesli)

 

 

Tentang MARAH RUSLI

Spesifikasi Produk

SKU QN-133
ISBN 978-602-441-292-0
Berat 440 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 548
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk