Ketersediaan : Tersedia
Millenarianisme Islam: Historisitas Hadis-Hadis Tentang Imam Mahdi Dalam Tradisi Sunni Dan Syi'ah (POD)
Deskripsi Produk
Ide tentang juru selamat—terutama pada agama-agama Ibrahimi—adalah salah satu ide sentral yang terus-menerus dibicarakan dan diperdebatkan sepanjang sejarah. Dalam Islam, dikenal konsep Imam Mahdi untuk menegakkan keadilan di zaman kekacauan. Tetapi, posisi konsep Imam Mahdi ini tidak diterima secara mufakat oleh seluruh umat Islam: sebagian meyakininya dan sebagian lain menolaknya.…
Baca Selengkapnya...
Rp 225.000
Ide tentang juru selamat—terutama pada agama-agama Ibrahimi—adalah salah satu ide sentral yang terus-menerus dibicarakan dan diperdebatkan sepanjang sejarah. Dalam Islam, dikenal konsep Imam Mahdi untuk menegakkan keadilan di zaman kekacauan. Tetapi, posisi konsep Imam Mahdi ini tidak diterima secara mufakat oleh seluruh umat Islam: sebagian meyakininya dan sebagian lain menolaknya.
Lalu, bagaimana sebetulnya status Imam Mahdi: apakah ia merupakan unsur intrinsik dari ajaran agama Islam yang mesti diyakini? Ataukah, ia lebih merupakan unsur ekstrinsik, sebagai produk dari situasi sosial-politik tertentu ketika umat Islam berada dalam situasi kekacauan, lalu merindukan kedatangan sang juru selamat?
Buku ini menunjukkan bagaimana wacana seputar Imam Mahdi berkembang di kalangan umat Islam. Kontestasi wacana tentang isu ini bukan hanya menyangkut autentisitas hadis tentang Imam Mahdi itu sendiri. Lebih dari itu, ia berjalin berkelindan dengan konflik politik di tubuh umat, terutama pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman, yang disusul dengan Perang Shiffin, berlanjut dengan mengkristalnya secara mapan mazhab Sunni/Syi‘ah serta Khawarij, serta bagaimana politik kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah sangat memengaruhi wacana keagamaan, termasuk dalam isu Imam Mahdi.
Sungguh jarang buku yang menyoroti isu Imam Mahdi, yang merentang begitu panjang dan berpengaruh hingga kini. Terlepas dari soal pro-kontra terhadap isi dan opini sang penulis, buku ini menunjukkan dengan tajam, bagaimana pergulatan wacana keagamaan—khususnya isu seputar Imam Mahdi—sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik yang melingkupinya.
***
Tujuan utama buku ini adalah menginvestigasi asal-usul hadis-hadis tentang Imam Mahdi yang menjadi satu-satunya sumber mahdiisme (paham tentang al-Mahdi). Kegelisahan penulis berawal dari ketiadaan landasan tentang mahdiisme dalam al-Qur’an—sebagai sumber utama teologi Islam—dan hadis Nabi seperti dalam ?a??? al-Bukh?r? dan ?a??? Muslim—sebagai kitab rujukan hadis yang otoritatif. Mahdiisme dibangun melalui hadis-hadis tentang Imam Mahdi yang dinilai palsu (mau??’), sehingga ia dianggap memiliki kelemahan argumen epistemik. Meskipun demikian, realitas sepanjang sejarah—bahkan hingga saat ini—telah banyak orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai al-Mahdi sebagaimana janji hadis itu. Setiap kemunculan mahdi-mahdi baru selalu membawa semangat messianik yang memicu gerakan politis dengan memobilisasi massa untuk melakukan revolusi radikal melawan rezim penguasa. Maka corak mahdiisme tergolong ke dalam millenarianisme, yakni pemikiran yang mengharapkan kehadiran sang penyelamat di saat kondisi sedang mengalami krisis.
Setiap agama bisa dipastikan memiliki pemikiran bercorak millenarian. Konsep kenabian merupakan model awal millenarianisme Islam. Ketika konsep tersebut dianggap selesai, maka mahdiisme dihadirkan sebagai konsep lanjutan tentang “sang penyelamat”. Doktrinasi mahdiisme pada umat Islam dilakukan melalui tradisi turun-menurun dan/atau melalui informasi hadis-hadis tentang Imam Mahdi. Sebagian periwayat hadis-hadis itu secara genetis diyakini berasal dari pengikut Yahudi, di mana teologinya sarat dengan millenarianisme. Persebaran mereka ke pelbagai wilayah di Timur Tengah serta interaksinya dengan penduduk setempat— khususnya loyalis Syi‘ah dan loyalis Abbasiyah—selama konflik politik masa transisi Dinasti Umayyah ke Abbasiyah (abad ke-8 M) memberi pengaruh pemikiran yang bercorak millenarian, sehingga secara seporadis pemikiran ini diterima oleh mayoritas umat Islam.
Masa transisi kekuasaan dari Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah menyisakan sakit hati yang mendalam bagi kelompok Syi‘ah, sebagai pihak yang selalu dirugikan. Demi menjaga keberlangsungan kelompoknya, kaum Syi‘ah menggalang dukungan politik dari masyarakat seluas-luasnya, terutama dari kelompok Sunni yang fanatik terhadap penguasa Abbasiyah. Mereka memanfaatkan persamaan ideologi serta mengubahnya menjadi sistem kepercayaan ideologis untuk mengontrol masyarakat dalam misi politik menumbangkan rezim Umayyah. Untuk memuluskan tujuan itu, ideologi ini harus memiliki legitimasi teologis, dan satu-satunya yang memungkinkan adalah melalui teks hadis. Maka, diproduksilah hadis-hadis tentang Imam Mahdi dan dikembangkan bersamaan dengan perkembangan pemikiran keagamaan sekte-sekte Islam selama krisis politik itu.
Dengan demikian, mahdiisme selalu berkaitan dengan agama dan politik. Kemunculan hadis-hadis tentang Imam Mahdi yang sangat historis tersebut berimplikasi terhadap kenyataan bahwa hadis memiliki sisi-sisi yang profan. Dalam wilayah ini, agama dan politik bersifat saling memengaruhi. Agama dapat memengaruhi dan/atau terpengaruh oleh politik. Implikasinya adalah munculnya interpretasi politik terhadap teks-teks agama untuk mendukung suatu kepentingan politik tertentu. Sepanjang sejarah mahdiisme, hadis-hadis tentang Imam Mahdi sering dijadikan senjata untuk melegitimasi suatu tindakan revolusi radikal yang berhaluan millenarianistik.[]
Kata Pengantar Prof. Dr. Muh. Zuhri, M.Ag.
Umat Islam meyakini bahwa Hadis berperan menjelaskan kandungan al-Qur’an. Untuk mendapatkan pemahaman yang akurat terhadap al-Quran, diperlukan hadis sebagai pengejawantahan tugas Rasulullah Saw. menyampaikan dan menjelaskan isi wahyu. Kitab tafsir generasi awal menafsirkan al-Qur’an menggunakan riwayat hadis dengan hasil yang sangat memuaskan hingga sekarang. Namun demikian, terkadang hadis menjadi pemantik pertentangan di kalangan umat Islam, tidak saja disebabkan oleh perbedaan pemahaman hadis akibat perbedaan perangkat memahaminya, tetapi juga karena eksistensi hadis itu sendiri.
Tidak seperti nasib al-Qur’an yang seratus persen diyakini autentik, hadis justru mempunyai problem autentisitas. Karenanya ada istilah hadis mutawatir, hadis shahih, hadis dhaif, yang menunjukkan bahwa autentisitas hadis itu bertingkat, bahkan ada banyak yang dinyatakan palsu. Apabila perbedaan persepsi terhadap al-Qur’an selalu disebabkan perbedaan dalam pemahaman saja, perbedaan pada hadis tidak hanya pada aspek pemahaman, tetapi juga pada wilayah autentisitas teksnya. Untuk yang disebut terakhir ini terdapat kelompok yang menolak hadis untuk dijadikan sebagai dasar beramal oleh kelompok lain.
Tulisan Muhammad Rikza Muqtada tentang Millenarianisme Islam ini mendiskusikan hadis-hadis yang selama ini diyakini mapan bagi umat Islam, yakni tentang datangnya pemimpin karismatik (charismatic leader) ketika terjadi konflik sosial-politik yang membahayakan. Fakta menunjukkan bahwa konsep tentang kehadiran pemimpin karismatik ada dalam setiap keyakinan (isme). Dalam Yahudi dan Kristen terdapat ajaran Messiah, dalam Islam terdapat tentang al-Mahdi, dalam keyakinan Jawa pun terdapat konsep Ratu Adil atau Satria Piningit, juga dalam teologi-teologi lainnya. Ini menunjukkan bahwa secara politis, kelompok tradisionalis serta kelompok agamawan turut mengajarkan keyakinan bahwa pemimpin karismatik itu benar adanya, dengan tujuan untuk memistifikasi sistem politik yang sedang dibangun. Dengan asumsi ini, Muhammad Rikza Muqtada mengajak pembaca untuk melacak asal-usul hadis-hadis Mahdawiyah (tentang al-Mahdi) yang dinilai tidak mutawatir dan sangat tendensius terhadap fraksi-fraksi politik masa awal Islam. Meluangkan waktu membaca tulisan ini termasuk tindakan bijaksana.
SERI TEROKA
Seri Teroka menerbitkan karya para cendekia muda yang merupakan hasil tesis/disertasi terpilih. Pemilihan karya dilakukan oleh Dewan Penilai yang terdiri dari para pakar di bidangnya. Karya yang dipilih mestilah meneroka (menjelajahi) tema-tema seputar Islam dan Indonesia.
Spirit penerbitan Seri Teroka dapat ditelusuri ke era awal 1980-an hingga akhir 1990-an ketika penerbitan buku Seri Cendekiawan Muslim Indonesia terbitan Mizan menjadi trendsetter pemikiran keislaman di Tanah Air. Meskipun Mizan hingga kini masih terus menerbitkan karya-karya kesarjanaan dari intelektual Muslim Indonesia, buku-buku pemikiran keislaman tersebut—di tengah kelimpahruahan informasi serta di tengah dominasi buku-buku populer—makin luput dari perhatian publik luas, dan pada gilirannya juga makin kehilangan pengaruh dalam wacana publik di Indonesia.
Penerbitan Seri Teroka, karena itu, tumbuh dari kesadaran bahwa perlu dihidupkan kembali kegairahan akan pergulatan pemikiran keislaman di Indonesia—antara lain dalam bentuk tesis dan disertasi di lingkungan sivitas akademika UIN, IAIN, STAIN, kampus-kampus Islam, dan kampus-kampus umum. Dengan cara itu, hasil penelitian keislaman tidak hanya beredar di kalangan intern kampus, melainkan mendapatkan perhatian lebih luas dan pada gilirannya lebih diperbincangkan oleh publik luas di Indonesia.
Spesifikasi Produk
SKU | POD-152 |
ISBN | 978-602-441-192-3 |
Berat | 340 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 22 Cm / 15 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 288 |
Jenis Cover |
Ulasan Produk
Tidak ada ulasan produk