Aidh Al-Qarni, penulis buku La Tahzan yang fenomenal, mengunggah sebuah video di akun Twitter-nya, “Salah telah mencerminkan akidah yang murni dan representasi Islam yang sebenarnya, lebih efektif dari seratus atau seribu khotbah.”
Barangkali dalam benak Al-Qarni, Salah telah berdakwah lewat kakinya, bukan lewat kata-kata dan pena. Dan, Salah berdakwah dengan cukup efektif. Saat ini memang Mohamed Salah menjadi buah bibir banyak orang di jagat sepak bola dunia, lantaran dua hal: prestasi dan kepribadiannya.
Pada usianya yang masih begitu muda, ia telah memecahkan berbagai rekor gol hanya dalam satu musim! Pria yang mendapat julukan “Messi dari Mesir” ini juga berhasil memimpin negaranya lolos ke Piala Dunia 2018. Lolosnya Timnas Mesir adalah yang pertama sejak mereka tampil pada Piala Dunia 1990. Kehebatan Salah rupanya berhasil membuat jutaan orang jatuh hati. Terlebih lagi sikapnya yang begitu rendah hati, dermawan, dan santun secara tak langsung telah menjadikannya “duta besar” Islam. Pandangan masyarakat Barat terhadap stereotip buruk Muslim pun berubah ke arah yang semakin positif.
Buku ini merangkum berbagai rekor, prestasi, perjalanan di berbagai klub, hingga kisah pribadi Mohamed Salah secara lengkap dan komprehensif.
Salah, Pembawa Pesan Damai Islam
Sentimen Islamofobia yang menyeruak sedemikian kuat di Inggris sepertinya tidak berlaku di Anfield Stadion, kandang Liverpool FC. Terdapat kesenjangan psikologi massa antara ranah politik dan olahraga di negeri Ratu Elizabeth II itu. Riuh rendah kemenangan pendukung Brexit dan stigma anti-Muslim pasca-serangan di London (2017), pengeboman di Manchester (2017), serta masih segar ingatan publik Inggris atas peristiwa pengeboman di London (2005) yang merenggut nyawa 52 orang dan selebihnya 700 orang luka-luka, seakan senyap manakala Mohamed Salah bersama timnya, Liverpool FC, berjibaku di lapangan hijau dengan disaksikan para Liverpooldian, sebutan suporter Liverpool FC. Bahkan, mereka lantang menyanyikan lagu khusus untuk Salah yang liriknya seperti berikut: "Mo Sa-la-la-la-lah/Mo Sa-la-la-la-lah, ... If he's good enough for you/ he's good enough for me. If he scores another few/ then I'll be Muslim too. If he's good enough for you/ he's good enough for me. He's sitting in the mosque that's where I wanna be."
Lirik yang berbenturan dengan semangat "Brexit" yang berupaya membangkitkan lagi gerakan populisme, gerakan politis yang bertujuan untuk menjaga atau mengembalikan nilai-nilai konservatisme. Terang saja, dilihat dari muatannya, penganut populisme di Inggris adalah orang-orang golongan tua yang celakanya masih mendominasi parlemen dan perwakilan Inggris di Uni Eropa. Sementara, golongan muda cenderung menjauhi nilai-nilai yang dianggap sudah "tidak kekinian". Oleh sebab itu, figur Salah yang diidolakan suporter Liverpool FC itu seolah menjadi diplomasi ideologis terhadap sentimen Islamofobia di Inggris. Mereka ingin menunjukkan bahwa penilaian terhadap seseorang bukan semata didasarkan pada agama, suku, gender, hingga orientasi seksual, melainkan pada sikap hidup dan prestasi. Dan, Salah adalah satu-satunya pesepak bola muslim dalam sejarah Liga Premier Inggris yang mencuat sebagai ikon kemenangan.
Salah baru bermain satu musim di Liverpool FC. Akan tetapi, di luar dugaan, ia berhasil mencetak gol sebanyak 36 dalam satu musim, nyaris menyamai legenda Liverpool, Ian Rush. Istimewanya lagi, pemilik nomor punggung 11 ini juga hampir nihil melakukan pelanggaran. Terhitung baru 1 kartu kuning yang ia kantongi dalam semusim. Berkat torehannya itu, tak heran, ia menyandang pemain terbaik Liga Inggris versi Football Writer Association (FWA). Kesederhanaan, tiada amarah di lapangan, menebar senyuman, memang lekat pada pribadi Salah. Hubungannya dengan rekan-rekan satu tim dan tim lawan pun terjalin baik. Di mata umat muslim, Salah menyerupai duta perdamaian yang merepresentasikan wajah Islam yang menyejukkan dan toleran.
Di antara pesepak bola muslim di Liga Premier Inggris, bisa jadi hanya Salah yang berani melakukan selebrasi berdoa dengan sujud sembah. Sebuah cerminan kesalehan iman. Ia bahkan tetap berpuasa selama bulan Ramadhan meski jadwal pertandingan teramat ketat. Jadi, sangatlah wajar apabila pendukung The Reds, julukan Liverpool FC, bersimpati kemudian mengidolakan Salah. Di sini, Salah hadir menembus barikade sentimen Islamofobia. Dengan caranya, ia ingin menunjukkan bahwa Islam hadir sebagai pembawa damai dan pemersatu. Ia bertanding tanpa melukai dan berjuang keras menggapai kemenangan demi mengharumkan nama Liverpool FC secara sportif. Aura positif itu menjalar ke suporter Liverpool yang dulu dikenal sebagai holigan yang beringas. Riwayat kekerasan holigan tersebut terpatri pada Tragedi Heysel 29 Mei 1985. Ketika itu, suporter Liverpool menggilas suporter Juventus, klub Seri A Italia, hingga menyebabkan 39 orang Italia meninggal terinjak-injak dalam stadion. Namun itu sudah menjadi masa lalu kelam, saat ini tak dimungkiri, semenjak kehadiran Salah, kian hari, mereka respek pada perbedaan bahkan rela menelan hasil kekalahan sekalipun. Proses pendewasaan rupanya tengah berlangsung.
Kisah tentang Mohamed Salah dibahas dengan mendalam dan eksklusif dalam buku Mohamed Salah yang akan diterbitkan Bentang Pustaka. Sosoknya sebagai pesepakbola muslim yang menhapus Islamofobia dirangkum dalam 152 halaman. Tidak hanya di lapangan, buku ini akan mengulas kisah hidup Salah yang fenomenal di luar lapangan hijau.
Nantikan buku pertama yang membahas tentang pesepakbola legendaris, Mohamed Salah: Pesepakbola Muslim yang Menghapus Islamofobia, dengan mengikuti info terbaru seputar buku ini di media sosial Bentang Pustaka. (Sigit Suryanto)
Sumber: www.bentangpustaka.com