Ketersediaan : Tersedia
MUHAMMAD (EDISI KE-3-REPUBLISH 2022)
Deskripsi Produk
Menulis biografi seorang tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah, seperti Nabi Muhammad, tentu bukanlah tugas sederhana. Dan hal ini tampaknya disadari betul oleh Karen Armstrong, salah seorang penulis terkemuka seputar tema-tema fundamental keberagamaan. Dalam upaya itu, dia mesti mencoba bergerak di antara dua ekstrem: menampilkannya sebagai sosok sakral-sempurna atau sosok profan…
Baca Selengkapnya...Rp 99.000
Rp 84.150
Menulis biografi seorang tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah, seperti Nabi Muhammad, tentu bukanlah tugas sederhana. Dan hal ini tampaknya disadari betul oleh Karen Armstrong, salah seorang penulis terkemuka seputar tema-tema fundamental keberagamaan. Dalam upaya itu, dia mesti mencoba bergerak di antara dua ekstrem: menampilkannya sebagai sosok sakral-sempurna atau sosok profan yang harus dikritisi.
Armstrong, menyadari kompleksitas dan sensitivitas subjek yang ditulisnya, mencoba mengetengahkan sosok Nabi yang terhormat sekaligus manusiawi. Buku ini ditulis terutama bagi pembaca Barat, di masa-masa setelah meledaknya kasus Satanic Verses, yang membuat publik internasional lebih penasaran untuk mengenal sosok Nabi Islam ini.
Buku ini berusaha menghadirkan Nabi Muhammad sebagai seorang manusia historis dalam pergulatan intensnya menemukan pencerahan ruhani dan pergulatan zaman, lalu mengubah jalan sejarah umat manusia—sekali dan selamanya.
Isi Buku
Pengantar Jalaluddin Rakhmat — 11
Prakata — 33
Bab Satu: Makkah — 41
Bab Dua: Jahiliah — 71
Bab Tiga: Hijrah — 107
Bab Empat: Jihad — 141
Bab Lima: Salam — 182
Catatan-Catatan — 247
Indeks — 265
KAREN ARMSTRONG:
SIMPATIK TAPI TIDAK KRITIS
As narrative is constructed, narrative constructs
—Linda C. Garro & Cheryl Mattingly
Waktu itu masih era Orde Baru. Para cendekiawan Islam berkumpul di rumah Alwi Shihab. Saya menyampaikan makalah tentang perlunya ijtihad. Saya kutip riwayat dari tarikh Thabari berkenaan dengan kelakuan Khalid bin Walid yang membunuh Malik bin Nuwairah dan menikahi jandanya tanpa iddah. Apa yang dilakukan Khalid itu disebut oleh Abu Bakar sebagai ijtihad dan oleh ‘Umar perzinaan. Salah seorang kiai yang hadir di situ bangkit dan marah-marah. Ia menuding saya berdusta. Saya yakinkan ia bahwa saya hanya sekadar mengutip Thabari. Katanya, Thabari itu Syi‘ah; pada hal siapa pun tahu bahwa Thabari itu Ahli Sunnah.
Malam itu saya menyadari bahwa paling tidak ada dua versi atau pembacaan sejarah Islam, sesuai dengan mazhabnya. Pada pembacaan kawan saya, kisah sahabat Nabi adalah kisah manusia-manusia suci. Mereka adalah umat pilihan yang dijamin masuk surga, generasi terbaik dalam sejarah Islam. Jadi, bila membaca riwayat yang menunjukkan perilaku buruk sahabat, ia akan menisbahkannya kepada pembuat kebohongan. Bagi saya, sahabat Nabi adalah generasi Islam pertama yang berbeda-beda dalam keimanan dan keilmuannya, sesuai dengan pengalaman mereka bersama Nabi Saw. Ada sahabat yang menyertai Nabi sejak lahir; dan ada sahabat yang bertemu dengan Nabi satu atau dua hari saja. Ada yang cerdas dan ada yang tidak. Ada yang benar memahami Nabi dan ada juga yang tidak.
Masih pada zaman Orde Baru, seorang kiai sepuh di Bangil dihujat ulama lainnya. Ia dimaki-maki di mimbar-mimbar Jumat dan pengajian. Pasalnya, ia menerbitkan buku dengan judul Rasulullah Saw. Tidak Bermuka Masam. Kiai itu menolak cerita umum tentang sahabat buta. Konon, Abdullah bin Ummi Maktum datang menemui Nabi untuk belajar Islam. Nabi sedang berada di tengah-tengah kaum aristokrat Quraisy. Nabi merasa terganggu oleh kehadiran si buta. Beliau memalingkan wajahnya sambil bermuka masam. Allah langsung menegurnya: Ia bermuka masam dan berpaling, karena datang kepadanya orang buta (QS ‘Abasa [80]: 1-2). “Ia di situ bukan Nabi Saw.,” kata Kiai sepuh itu. Lalu, ia menuturkan kisah Nabi yang tidak pernah berpaling dari kaum miskin. Kalau begitu, siapa “ia” yang dimaksud dalam ayat itu? Bergantung versi cerita yang Anda pilih.
Cerita, kisah, atau dongeng secara ilmiah disebut naratif (narrative). Manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita menerima cerita dan menyampaikan cerita. Tanpa cerita, hidup kita karut-marut. Dengan cerita, kita menyusun dan menghimpun pernik-pernik hidup kita yang berserakan. Naratif, kata ?lsuf Jerman Dilthey, adalah pengorganisasian hidup (Zusammen hang des Lebens). Hidup yang tersusun dalam naratif adalah bios, yang berbeda dengan sekadar hidup biologis saja, atau zoe. Hannah Arendt, pemikir besar abad kedua puluh, berkata, “Karakteristik utama kehidupan khas manusia … ialah selalu penuh dengan peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya bisa diungkapkan sebagai cerita .… Kehidupan seperti inilah, bios, sebagaimana dibedakan dari zoe, yang dimaksud oleh Aristo teles sebagai ‘sejenis tindakan, praxis’.”
Apa pun yang membantu kita memberikan makna—pendapat, aliran pemikiran, mazhab, agama—selalu didasarkan pada cerita-cerita besar, grand narratives. Kisah tentang kehidupan Nabi adalah salah satunya. Kita mendengarkan kisah-kisah Nabi dan menceritakannya kepada orang lain. Kita berusaha menjalani kehidupan dan menemui kematian nanti berdasarkan padanya. Begitu besarnya pengaruh naratif—lebih-lebih yang berkenaan dengan Nabi—pada pikiran, perasaan, dan perilaku kita, sehingga kita tidak segan-segan untuk “berperang” melawan siapa pun yang menyampaikan cerita yang tidak kita terima.
Muhammad Abduh: Bahaya Cerita Dusta
Sepanjang sejarah, kaum Muslim tidak pernah berhenti untuk mengulang-ulang kisah Nabi. Berbagai karya—prosa dan puisi—telah ditulis tentang Nabi. Berbagai lagu, pertunjukan, acara, ritus dilakukan untuk membacakan kisah Nabi. Yang mengerikan ialah kenyataan bahwa para penguasa—demi kepentingan politiknya—selalu aktif menyebarkan kisah-kisah Nabi dengan kemasan yang dirancangnya. Dalam buku AlMustafa: Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw., saya mengutip pernyataan Syaikh Muhammad Abduh, tokoh pembaru Islam abad ke-20:
“Tidak pernah Islam ditimpa musibah yang lebih besar dari apa yang diada-adakan oleh para pemeluknya dan oleh kebohongan-kebohongan yang dibuat oleh orang-orang ekstrem. Ini telah menimbulkan kerusakan dalam pikiran kaum Muslim dan prasangka buruk dari non-Islam terhadap tonggak-tonggak agama ini. Dusta telah menyebar berkenaan dengan agama Muhammad sejak abad-abad yang pertama, sudah diketahui sejak zaman para sahabat, bahkan kebohongan sudah tersebar sejak zaman Nabi Saw. .…”
Namun, bencana kebohongan yang paling merata menimpa manusia terjadi pada masa pemerintahan Umayyah. Banyak sekali tukang cerita dan sangat sedikit orang-orang yang jujur. Karena itulah, sebagian sahabat yang mulia banyak yang menahan diri untuk tidak meriwayatkan hadis kecuali kepada orang yang mereka percayai karena khawatir terjadi perubahan pada hadis yang mereka sampaikan …. Imam Muslim meriwayatkan dalam mukadimah Shahîh-nya ucapan Yahya bin Said Al-Qaththan: “Aku tidak pernah melihat orang baik yang lebih pembohong dalam meriwayatkan hadis selain Bani Umayyah.” Lalu menyebarlah keburukan karena dusta.
Dalam perkembangan zaman, berkembanglah dusta, makin lama makin berbahaya. Siapa saja yang menelaah mukadimah Imam Muslim, ia akan tahu betapa susah payahnya beliau menyeleksi hadis dalam penyusunan kitab Shahîh-nya. Ia harus bekerja keras untuk menyingkirkan apa yang dimasukkan orang-orang ke dalam agama padahal tidak berasal darinya.
Orang-orang yang masuk Islam itu terbagi ke dalam beberapa golongan. Pertama, orang-orang yang meyakini agamanya, tunduk kepada ajarannya, dan mengambil cahaya darinya. Mereka itulah orang-orang yang tulus.
Kedua, kaum yang datang dari berbagai aliran mengambil nama Islam, baik karena ingin memperoleh keuntungan darinya atau karena takut akan kekuatan para pemeluknya, atau yang ingin memperoleh kemegahan dengan menisbahkan diri kepadanya. Mereka memakai Islam di luarnya, padahal Islam tidak masuk ke lubuk hatinya. Mereka itulah yang digambarkan Tuhan di dalam Al-Quran: Orang-orang Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami baru Islam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu …” (QS Al-Hujurât [49]: 14).
Ketiga, di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam melakukan riya sampai orang banyak mengira bahwa mereka termasuk orang-orang yang takwa. Jika orang-orang mulai percaya kepadanya, mulailah ia meriwayatkan kepada orang banyak hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw. atau sebagian sahabat. Dari sini muncullah semua berita Israiliyyat, dan komentar-komentar Taurat yang dimasukkan ke dalam kitab-kitab Islam sebagai hadis-hadis nabawi. Di antara mereka ada yang sengaja membuat hadis-hadis palsu, yang jika diterima oleh orang-orang yang memercayainya, dapat merusak akhlak, mendorong orang untuk merendahkan syariat, dan menimbulkan keputusasaan dalam membela kebenaran; seperti hadis-hadis yang menunjukkan berakhirnya Islam, atau mengharapkan ampunan Allah dengan berpaling dari syariat-Nya, atau berserah diri kepada takdir dengan meninggalkan akalnya. Semua itu dibuat oleh para pendusta untuk menghancurkan kaum Muslim, memalingkan mereka dari pokok agama, meluluhlantakkan sistem dan kekuatan mereka.
Di antara para pendusta itu, ada orang-orang yang menambah-nambah hadis dan memperbanyak pembicaraan sekehendak mereka karena mengharapkan pahala, padahal sebetulnya hanya memperoleh siksa. Itulah orang-orang yang disebutkan oleh Muslim dalam Shahîh-nya, “Tidak aku lihat ‘orang-orang saleh’ yang lebih pendusta daripada mereka dalam meriwayatkan hadis.” Yang dimaksud dengan “orang-orang saleh” di sini adalah mereka yang memanjangkan jubahnya, merundukkan kepalanya, merendahkan suaranya, dan pergi ke masjid pagi dan petang, padahal mereka adalah orang-orang yang secara ruhaniah paling jauh dari masjid yang mereka datangi. Mereka menggerakkan bibir mereka dengan zikir, dan memutar-mutar tasbih di tangan mereka. Tetapi seperti kata ‘Ali bin Abi Thalib, “Mereka menjadikan agama sebagai penutup hati nurani dan pengunci akal pikiran. Mereka adalah orang-orang yang tertipu yang berbuat buruk tapi mengira bahwa mereka berbuat baik .… Musuh yang pintar lebih baik daripada penggemar yang bodoh.”
Karen Armstrong: Simpatik tapi Tidak Kritis
Para penguasa politik menciptakan naratif Nabi yang sesuai dengan kepentingan politiknya. Para pendusta yang tampak saleh mencemari naratif Nabi dengan imajinasinya. Dongeng-dongeng mereka masuk perbendaharaan hadis. Hadis adalah berita tentang perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat—?sik dan mental—yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. Hadis adalah bahan utama tarikh Nabi. Bila sebagian sumber hadis adalah rekaan para penguasa dan para pendusta, apa yang terjadi pada tarikh Nabi? Kita menemukan naratif Nabi yang tidak menggambarkan kesucian, kemuliaan, dan keagungan Nabi. Bayangkan biogra? Anda ditulis oleh musuh-musuh Anda atau para pendusta yang membonceng pada kemuliaan Anda. Kisah-kisah Nabi seperti itu bertebaran pada kitab-kitab hadis dan tarikh. Kaum Muslim menerimanya tanpa kritis. Kaum muna?k membacanya dengan senang. Peneliti non-Muslim berusaha memahaminya dengan latar belakang kebudayannya.
Dalam hubungan inilah, Karen Armstrong menulis Muhammad: Rasul Sepanjang Zaman. Ia punya reputasi baik sebagai pengamat Islam yang sangat simpatik kepada Islam. Dalam banyak tulisannya, ia berusaha keras menunjukkan kesalahpahaman Barat kepada Islam. Inilah komentar penerbit untuk bukunya yang pertama, Muhammad: A Biography of the Prophet: This vivid and detailed biography strips away centuries of distortion and myth and presents a balanced view of the man whose religion continues to dramatically affect the course of history. (“Biogra? yang hidup dan terperinci ini menghapuskan distorsi dan mitos yang sudah berlangsung berabad-abad dan menyampaikan pandangan seimbang tentang manusia yang agamanya terus-menerus secara dramatis memengaruhi jalannya sejarah”.) Dalam buku yang Anda baca sekarang ini, Armstrong juga ingin menampilkan Muhammad sebagai sosok paradigmatik yang datang kepada “dunia yang penuh cacat”. “Perjalanan hidupnya,” tulis orang yang mengaku freelance monotheist ini, “menyingkapkan kerja Tuhan yang misterius di dunia dan mengilustrasikan ketundukan sempurna … yang harus dilakukan setiap manusia kepada yang ilahi.”
Walaupun begitu, sebagai penyampai naratif besar, Armstrong yang mantan biarawati ini tidak bisa melepaskan dirinya dari latar belakang kebudayaannya. Sebagai orang yang pernah mengambil doktor dalam kesusastraan Inggris, ia tentu sangat sadar dalam memilih diksi dan kalimat naratifnya, dalam menjalin plot dan tema ceritanya. Semuanya dirancang untuk menarik para pembaca sasarannya, orang-orang Barat. Tengoklah bagaimana ia menceritakan perkawinan Muhammad dengan Ummu Salamah. Mula-mula Ummu Salamah enggan menikah dengan Nabi karena dia sangat mencintai suaminya yang baru saja syahid. Tetapi ketika Muhammad tersenyum dengan “senyuman yang sangat memikat, yang membuat hampir setiap orang luluh” (h. 170), Ummu Salamah menerima lamarannya. Begitu pula kisah perkawinan Nabi dengan Zainab. Seperti penulis-penulis Barat lainnya, Karen Armstrong menuturkannya seperti kisah percintaan Daud dengan istri Uria dalam Alkitab. Gaya penuturan seperti itu tidak akan dilakukan oleh penulis tarikh yang Muslim.
Pada kisah Ummu Salamah, ia menceritakan kembali apa yang dibacanya dalam buku-buku tarikh orang Islam dengan “bumbu-bumbu penyedap” sekadarnya. Pada kisah Zainab, ia mengutip, malangnya, kisah-kisah dalam hadis-hadis dan kitab-kitab tarikh tanpa sikap kritis. Dalam buku ini, ada banyak kisah seperti kisah Zainab yakni, naratif Nabi yang tidak menggambarkan kesucian, kemuliaan, dan keagungan Nabi.
Kita tidak bisa sepenuhnya menimpakan kesalahan kepada Armstrong. Ia toh hanya mengutip dari sumber-sumber rujukan yang dipercaya oleh orang-orang Islam juga. Kesalahan—mungkin lebih tepat kelemahan—utama Armstrong ialah mengutip dari buku-buku tarikh dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Itu pun terbatas pada sumber-sumber Ahli Sunnah, yang diterimanya tanpa kritik.
Tidak mungkin saya membahas semua kisah itu dalam pengantar ini. Saya memilih dua naratif besar saja: kisah turunnya wahyu pertama dan kisah ayat-ayat setan (gharâniq). Pada kisah wahyu pertama, siapa pun yang mencintai Nabi akan “tersinggung” dengan penuturan berikut ini:
Ketika tersadar, Muhammad begitu masygul memikirkan bahwa, setelah semua upaya spiritualnya, beliau ternyata dirasuki oleh jin, sehingga tak lagi ingin hidup. Dalam keputusasaannya, beliau lari dari gua dan mulai mendaki ke puncak gunung untuk melontarkan dirinya hingga mati. (hh. 66-67)
Namun, kisah-kisah tentang Nabi yang meragukan kenabiannya, di cekik sampai kehabisan napas, lari tunggang langgang, diyakinkan oleh istrinya dan para pendeta Kristen adalah naratif yang banyak kita baca dalam sumber-sumber kitab tarikh kita. Saya akan menampilkan naratif lain, sambil masih merujuk kepada sumber-sumber yang sama, dengan tambahan kritik.
Kisah ayat-ayat setan juga tidak bisa dilewatkan. Pertama, karena kita sudah memaki Salman Rushdie sampai ke tulang sumsumnya sambil lupa untuk mengkaji secara kritis sumber-sumber rujukannya. Kedua, karena menerima penuturan Armstrong tentang ayat-ayat setan—sekalipun merujuk sumber-sumber Islam—sekali lagi dapat melucuti kemuliaan dan kesucian Nabi Saw. Siapa pun yang mencintai Nabi yang suci dapat berguncang hatinya karena penuturan berikut ini:
Ketika Muhammad membacakan ayat-ayat yang diragukan ini, tampaknya nafsunyalah yang berbicara—bukan Allah—dan dukungan terhadap dewi-dewi ini terbukti merupakan sebuah kekeliruan. Seperti semua orang Arab lain, beliau secara alamiah menisbahkan kesalahannya kepada syaithân. (h. 89).
Karena itu, sebelum mengadakan demonstrasi mengutuk Armstrong, sebaiknya kita mengkaji kedua kisah tadi. Kita mulai dengan kisah wahyu pertama.
Kisah Wahyu Pertama
Riwayat yang sering kita dengar tentang Rasulullah Saw. ketika menerima wahyu pertama berasal dari Shahîh Al-Bukhârî, hadis nomor 3.
Dari ‘A’isyah, Ummul Mukminin r.a., katanya: Wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah Saw. ialah berupa mimpi waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu, hati beliau tertarik hendak mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadah beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu, beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali ke Gua Hira, hingga suatu ketika datang kepadanya Al-Haqq (kebenaran atau wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira itu.
Malaikat datang kepadanya, lalu katanya, “Bacalah!”
Jawab Nabi, “Aku tidak pandai membaca.”
Nabi selanjutnya menceritakan, “Aku ditarik dan dipeluknya sehingga aku kepayahan.
Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca.
‘Bacalah!’ katanya.
Jawabku, ‘Aku tidak pandai membaca.’
Aku ditarik dan dipeluknya pula sampai aku kepayahan.
Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca, ‘Bacalah!’
Kujawab, ‘Aku tidak pandai membaca.’
“Aku ditarik dan dipeluknya untuk ketiga kalinya, kemudian dilepaskannya seraya berkata:
Iqra’ bismi rabbikalladzî khalaq
Khalaqal insâna min ‘alaq
Iqra’! Wa rabbukal akram.
(‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadi kan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu Yang Mahamulia.’)”
Setelah itu, Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Lantas Nabi diselimuti oleh Khadijah, hingga hilang rasa takutnya. Kata Nabi Saw. kepada Khadijah (setelah dikabarkannya semua kejadian yang dialaminya itu), “Sesungguhnya aku cemas atas diriku (akan binasa).”
Kata Khadijah, “Jangan takut! Demi Allah! Tuhan sekali-kali tidak akan membinasakan Anda. Anda selalu menghubungkan tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan (mengadakan) barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.”
Setelah itu, Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani (Kristen) pada masa jahiliah itu. Ia pandai menulis buku dalam bahasa Ibrani. Maka, disalinnya Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa dikehendaki Allah dapat disalinnya. Usianya telah lanjut dan matanya telah buta.
Kata Khadijah kepada Waraqah, “Hai, anak pamanku! Dengarkanlah kabar dari anak saudara Anda (Muhammad) ini.” Kata Waraqah kepada Nabi, “Wahai anak saudara ku! Apakah yang telah terjadi atas diri Anda?” Lalu Rasulullah Saw. menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya.
Berkata Waraqah, “Inilah Namus (malaikat) yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Wahai, semoga saya masih hidup ketika itu, yaitu ketika Anda diusir oleh kaum Anda.”
Maka bertanya Rasulullah Saw., “Apakah mereka akan mengusirku?”
Jawab Waraqah, “Ya, betul! Belum pernah seorang pun yang diberi wahyu seperti Anda, yang tidak dimusuhi orang. Apabila saya masih mendapati hari itu, niscaya saya akan menolong Anda sekuat-kuatnya.”
Tidak berapa lama kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara waktu.
Hadis ini, dengan beberapa hadis semakna, diriwayatkan oleh Muslim dan kitab-kitab tarikh seperti Târîkh Al-Thabarî, Târîkh Al-Khamîs, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, Al-Sîrah Al-Halabiyyah.
Ada beberapa kemusykilan pada riwayat ini, baik dari segi sanad—rangkaian orang-orang yang meriwayatkan hadis—maupun matan, kandungan makna hadis.
Kritik Sanad
- Pada sanad riwayat itu disebutkan Al-Zuhri, Urwah bin Zubair, dari ‘A’isyah. Al-Zuhri adalah ulama penguasa yang berkhidmat pada Hisyam bin ‘Abd Al-Malik. Ia mengajar anak-anak Hisyam. Ia terkenal sangat membenci Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Pernah ia duduk berdua dengan Urwah di Masjid Madinah dan memaki-maki ‘Ali. Sampailah berita itu kepada Imam Al-Sajad. Ia datang menegurnya sambil berkata, “Hai Urwah, ayahku pernah bersengketa dengan ayahmu; ayahku benar dan ayahmu salah. Adapun engkau, hai Zuhri, sekiranya engkau berada di Makkah, akan kutunjukkan gubuk bapakmu.”
Tidak berbeda dengan Al-Zuhri, Urwah juga politisi yang mengikuti siapa saja yang berkuasa. Ia pernah berbicara tentang dirinya, “Aku pernah menemui ‘Abdullah bin ‘Umar. Aku berkata padanya, “Wahai Abu ‘Abd Al-Rahman, kami sedang duduk bersama para pemimpin kami. Mereka berbicara yang tidak benar. Kami membenarkannya. Mereka melakukan kezaliman, kami memperkuatnya dan memuji-mujinya. Bagaimana pendapatmu?” ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Wahai anak saudaraku, pada zaman Nabi, kami menganggap perbuatan seperti itu sebagai kemuna?kan. Aku tidak tahu bagaimana menurut kalian sekarang.”
Menurut Al-Quran, Dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya kaum muna?k itu benar-benar pendusta (QS Al-Munâ?qûn [63]: 1). Menurut Sunnah Nabi Saw., salah satu tanda muna?k ialah bila berbicara, ia berdusta. Dalam ilmu hadis, kita tidak boleh menerima hadis dari pendusta. Hadis itu—yang diriwayatkan oleh Urwah—karenanya patut diduga hanya lah dusta.
- Pada peristiwa turunnya wahyu itu, ‘A’isyah belum dilahirkan. Dalam riwayat ini, ia seakan-akan melihat dan mendengar sendiri. Ia melihat Nabi pergi ke gua, pulang kepada Khadijah, mendengar percakapan Khadijah dan Waraqah bin Naufal. Kita boleh saja mengatakan bahwa ‘A’isyah mendengarnya dari Rasulullah Saw.; tapi dalam ilmu hadis, ia seharusnya mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda … dan seterusnya.
Kritik Matan
- Pada peristiwa ini digambarkan turunnya wahyu yang sangat berat. Malaikat Jibril memeluk (dalam riwayat lain, mencekik) Nabi dengan sangat keras, sampai Nabi kepayahan dan ketakutan. Nabi Saw. dipaksa untuk membaca, padahal beliau tidak bisa membaca. Tidak pernah wahyu datang dengan cara yang “mengerikan” seperti ketika ia datang kepada Nabi Saw. Bukankah beliau adalah kekasih Rabbul ‘Alamin, yang tanpa Dia, seluruh alam semesta tidak akan diciptakan. Atas dasar apa Jibril menakut-nakuti Nabi dan menyakitinya. Sesudah itu, Nabi pulang ke rumah dengan diliputi ketakutan, kebingungan, dan kesedihan.
Dalam riwayat yang lain, diceritakan Nabi yang mulia hampir merasa seperti orang gila. Beliau begitu putus asa sehingga berkata, “Aku merencanakan untuk menjatuhkan diriku dari bukit, bunuh diri, dan memperoleh ketenangan. Tiba-tiba di atas bukit, aku mendengar suara: Muhammad, engkau adalah Rasul Allah.”
Dalam riwayat lain, dikisahkan kesibukan Khadijah untuk “mengobati” Nabi Saw. dengan berkonsultasi kepada pendeta-pendeta Kristen: Waraqah, Nasthur, dan Adas. Adas memberikan kepada Khadijah sebuah tulisan untuk ditempelkan ke pada Nabi Saw. Katanya, jika ia gila, tulisan itu akan menyembuhkannya. Jika tidak, tidak usah mengkhawatirkan apa pun. Ketika pulang dengan membawa tulisan itu, Khadijah menemukan Rasulullah Saw. sedang bersama Jibril, yang membacakan Surah Al-Qalam. Rasulullah Saw. dibawa ke hadapan Adas. Adas menyingkapkan punggungnya dan melihat tanda ke nabian di antara kedua tulang belikatnya.
Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa peristiwa menerima wahyu—salah satu bentuk pengalaman ruhaniah yang sangat tinggi—yang seharusnya mencerahkan, malah menggelisahkan. Kisah-kisah itu juga bertentangan dengan gambaran Al-Quran tentang orang yang mendapat petunjuk. Barang siapa yang Allah kehendaki untuk memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman (QS Al-An‘âm [6]: 125).
Jadi, menurut Al-Quran, karena dada Rasulullah Saw. setelah menerima wahyu sempit dan sesak, maka beliau sedang dikehendaki untuk disesatkan dan bukan untuk diberi petunjuk. Pendeknya, riwayat turunnya wahyu seperti ini harus kita tolak karena bertentangan dengan Al-Quran.
- Menurut hadis yang kita bicarakan, Rasulullah Saw. tidak memahami pengalaman ruhaniahnya. Beliau dibawa Khadijah untuk menemui Waraqah yang Nasrani. Waraqah ternyata lebih tahu tentang kenabian ketimbang Nabi sendiri. Waraqah-lah yang meyakinkan Nabi bahwa beliau itu utusan Allah, bahwa yang datang itu Malaikat Jibril. Beliau sendiri tidak yakin bahwa dirinya utusan Allah.
Kata Waraqah, “Inilah Namus (malaikat) yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa.” Kita tidak paham bagaimana Nabi yang mulia tidak menyadari ke nabiannya, sedangkan orang lain—seperti Adas dan Waraqah—mengetahuinya. Bukankah Buhaira pernah mengingatkan Abu Thalib bahwa Muhammad itu nabi akhir zaman? Bukankah menurut banyak hadis, sebelum diangkat menjadi nabi, pepohonan dan bebatuan mengucapkan salam baginya?
- Dalam beberapa kitab tarikh, pengalaman spiritual Nabi Saw. itu dilengkapi dengan kisah-kisah seperti orang yang kemasukan jin atau makhluk halus. Tetapi karena yang datang itu malaikat, Khadijah mengusirnya dengan membuka kain kerudungnya. Ketika Rasulullah Saw. memberitakan bahwa malaikat itu masih ada, Khadijah menyuruhnya duduk di sebelah kanan. Ketika diberitakan bahwa malaikat itu masih tetap ada, Rasulullah Saw. disuruhnya duduk di atas pangkuannya. Malaikat tidak juga pergi. Khadijah perlahan-lahan melepaskan kerudungnya. Kita sulit menerima riwayat seperti ini, apalagi bila dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Dengan berbekal kritik sanad dan kritik matan yang baru Anda baca, masukilah Bab I “Makkah”. Insya Allah, Anda akan membaca naratif Nabi versi Armstrong dengan pandangan yang lebih jernih. Untuk memasuki Bab 2 “Jahiliah”, Anda perlu membaca latar belakang kisah ayat-ayat setan yang menggemparkan dunia sampai sekarang.
Kisah Ayat-Ayat Setan
Nanti Anda akan membaca kisah ayat-ayat setan versi Armstrong pada hh. 88-91 buku ini. Tentu saja ia tidak menerjemahkannya secara har?ah. Ia memasukkan juga gaya penuturannya sendiri, lepas dari naratif awalnya. Di bawah ini saya kutipkan terjemahan saya dari Ibn Jubair Al-Thabari dengan sanad yang dianggapnya sahih, dari Muhammad bin Ka‘ab, Muhammad bin Qais, Sa‘id bin Jubair, Ibn ‘Abbas, dan lain-lainnya:
Nabi Saw. sedang duduk bersama orang-orang musyrik Quraisy di halaman Ka‘bah, di tengah-tengah kumpulan mereka. Tebersit dalam hatinya sekiranya ada sesuatu dari Al-Quran yang dapat mendekatkan dirinya dengan para pemuka kaumnya. Beliau merasa prihatin karena dijauhi mereka. Beliau berharap berbaikan dengan mereka lagi betapapun beratnya. Tiba-tiba turun kepadanya Surah Al-Najm. Maka beliau pun membacanya. Ketika sampai pada ayat: Tidakkah kamu Lata, ‘Uzza, dan Manat yang ketiga yang lainnya (QS 53: 19-20), setan membisikkan kepadanya: Itulah burung-burung Gharâniq yang mulia. Sesungguhnya syafaatnya benar-benar diharapkan. Beliau mengiranya wahyu. Beliau membacanya di hadapan tetua Quraisy. Kemudian beliau meneruskan bacaannya sampai selesai surah. Setelah selesai, beliau bersujud. Bersujudlah kaum Muslim. Bersujud juga kaum musyrik untuk menghormati persetujuan Muhammad untuk memuliakan tuhan-tuhan mereka dan mengharapkan syafaatnya.
Menyebarlah berita itu hingga sampai kepada kaum Muslim yang hijrah ke Habsyi. Mereka pun kembali ke negeri mereka Makkah, berbahagia dengan perdamaian yang mendadak ini. Nabi juga bergembira karena tercapai cita-citanya untuk mendamaikan umatnya. Diriwayatkan bahwa setan putihlah yang datang kepada Nabi dalam bentuk Malaikat Jibril dan menyampaikan dua kalimat tadi. Diriwayatkan juga bahwa Nabi Saw. sedang shalat di Maqam Ibrahim. Tiba-tiba beliau diserang kantuk. Keluarlah dari lidahnya dua kalimat tadi tanpa terasa. Diriwayatkan pula bahwa Nabi Saw. berbicara dari dalam hatinya sendiri karena keinginannya untuk merebut hati kaum musyrik. Setelah itu, beliau menyesali perbuatannya karena berdusta atas nama Allah. Diriwayatkan lagi bahwa setanlah yang memaksa Nabi untuk mengucapkan dua kalimat itu.
Ketika malam tiba, Jibril datang kepadanya. Ia berkata, “Bacakan kepadaku surah itu.” Nabi Saw. membacanya dan ketika sampai pada dua kalimat itu, Jibril berkata, “Dari mana dua kalimat itu?” Rasulullah Saw. menyesal. Jibril berkata, “Engkau berdusta kepada Allah. Engkau mengucapkan atas nama Allah apa yang tidak Dia ucapkan.” Nabi bersedih luar biasa. Beliau takut kepada Allah dengan ketakutan yang bukan main.
Diriwayatkan, Nabi Saw. membantah Jibril, “Ada orang yang datang padaku dalam bentukmu dan memasukkannya pada lidahku.” Jibril berkata, “Aku mohon perlindungan kepada Allah bahwa aku akan mengucapkan dua kalimat itu.” Rasulullah Saw. merasa sangat galau. Lalu turunlah ayat:
Dan mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu mengada-ada yang lain terhadap Kami. Dengan begitu, mereka dapat mengambilmu sebagai sahabat. Sekiranya tidak Kami teguhkan kamu, pastilah kamu akan cenderung kepada mereka sedikit. Jika begitu, Kami akan menimpakan kepadamu dua kali hukuman, hukuman pada waktu hidup dan hukuman pada waktu mati. Kemudian kamu tidak akan mendapatkan penolong bagimu untuk melawan Kami. (QS Al-Isrâ’ [17]: 73-75)
Dengan menggunakan ilmu-ilmu hadis, kita yakin bahwa riwayat di atas memang dibuat-buat (maudhû’, mukhtalaf). Pertama, sanad hadis ini terputus sampai kepada tabi’in, pengikut sahabat. Artinya, silsilah hadis ini tidak sampai kepada sahabat yang menyaksikan kejadian itu. Ada juga yang menyebut Ibn ‘Abbas. Ibn ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah, sedangkan peristiwa ini terjadi pada awal-awal kenabian. Dengan demikian, hadis ini disebut mursal dan tidak boleh dipercayai. Anehnya, Ibn Hajar mengecam orang yang tidak mau menerima riwayat ini. Ia berargumentasi bahwa walau hadis ini lemah, karena diriwayatkan banyak orang, ia dapat dijadikan petunjuk! Dalam tempat lain, ia sendiri berkata, “Semua jalan (thuruq) hadis ini—kecuali yang lewat Ibn Zubair—dha‘if (lemah) atau munqathi‘ (terputus).”
Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi, salah seorang ulama besar Sya?‘i, berkata, “Hadis ini dari segi penyampaian tidak kokoh (benar) dan para periwayatnya tercela.” Abu Bakar bin ‘Arabi berkata, “Semua yang diriwayatkan Thabari berkenaan dengan riwayat itu batal karena tidak ada asal-usulnya.” Al-Fakhr Al-Razi dalam tafsirannya memberikan komentar: Inilah riwayat yang populer di kalangan mufasir. Tetapi para peneliti yakin bahwa hadis ini bathilah maudhû‘ah (batil dan dibuat-buat). Mereka menentangnya baik secara aqli maupun naqli. Ini membawa kita pada argumentasi kedua.
Kedua, dari segi matan, hadis gharâniq ini bertentangan dengan Al-Quran dan ishmah (kesucian, infallibility) Nabi Saw. Ia bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, baik yang terdapat da lam Surah Al-Najm maupun dalam semua ayat Al-Quran lainnya. Pada awal surah, Tuhan ber?rman: Demi bintang ketika tenggelam. Sahabatmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru. Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Tiada lain yang disampaikannya hanyalah wahyu (QS Al-Najm [53]: 1-4). Permulaan surah ini adalah jaminan dari Allah Swt. bahwa Muhammad tidak akan sesat dan tidak akan keliru. Beliau juga tidak akan memperturutkan hawa nafsunya (Perhatikan naratif Armstrong yang menyatakan “tampaknya nafsunyalah yang berbicara”, h. 89). Sekiranya betul Nabi Saw. menambahkan ayat-ayat setan itu, sekiranya benar bahwa setan berhasil memasukkan ayat-ayatnya melalui lidah Nabi, kita melihat kekalahan Tuhan terhadap setan. Tipuan setan ternyata kuat sekali, padahal Tuhan bersabda, Sesungguhnya tipu daya setan itu sangat lemah (QS Al-Nisâ’ [4]: 76). Allah sudah memastikan bahwa Aku dan rasulrasul-Ku akan memperoleh kemenangan, sesungguhnya Allah Mahakuat dan Mahaperkasa (QS Al-Mujâdilah [58]: 21).
Akan terlalu panjang tulisan ini kalau kita melanjutkan kritik pada hadis ini dari ayat-ayat Al-Quran yang lain dan dari perspektif kemakshuman (kesucian) Nabi Saw. Saya cukupkan kritik pada hadis gharâniq ini dengan ulasan yang sangat bagus dari Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (terjemahan Ali Audah):
Demikianlah cerita gharâniq ini, yang bukan seorang saja dari penulis-penulis biogra? Nabi yang menceritakannya, demikian juga para mufasir turut menyebutkan, dan tidak sedikit pula kalangan Orientalis yang memang sudah sekian lama mau bertahan. Jelas sekali dalam cerita ini terdapat kontradiksi. Dengan sedikit pengamatan saja, argumen semacam ini (yang membela kebenaran cerita gharâniq ini—Jalaluddin Rakhmat) sudah dapat digugurkan. (h. 116)
Di samping itu, cerita ini berlawanan dengan segala sifat kesucian setiap nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan. Memang mengherankan sekali apabila ada beberapa penulis sejarah Nabi dan mufasir dari kalangan Islam sendiri yang masih mau menerimanya. Oleh karena itu, Ibn Ishaq tidak ragu lagi ketika ditanya mengenai masalah ini, mengatakan bahwa cerita itu bikinan orang-orang Zindiq. (h. 116)
Adapun alasan yang dikemukakan oleh penulis-penulis biogra? Nabi dan para mufasir dengan ayat-ayat: Dan mereka hampir memalingkanmu … (QS Al-Isrâ’ [17]: 73-75) dan Setiap Kami mengutus seorang rasul atau seorang nabi sebelum engkau, bila ia menginginkan sesuatu, setan memasukkan (godaan) ke dalam keinginannya (QS Al-Hajj [22]: 52), adalah alasan yang lebih kacau lagi daripada argumen Sir Muir. Cukup kita sebutkan ayat 74 Surah Al-Isrâ’, Dan sekiranya tidak Kami beri kekuatan kepadamu, sedikit demi sedikit hampir engkau terbawa kepada mereka, untuk kita lihat, bahwa setan telah memasukkan gangguan ke dalam cita-cita Rasul, sehingga hampir saja beliau cenderung kepada mereka sedikit-sedikit; tetapi Allah menguatkan hatinya sehingga tidak sampai dilakukannya, dan kalau dilakukan juga, Tuhan akan menimpakan hukuman berlipat ganda dalam hidup dan mati. Jadi, dengan membawa ayat-ayat ini sebagai alasan, jelaslah alasan itu terbalik adanya. (h. 119)
Argumen lain seperti yang dikemukakan oleh Almarhum Syaikh Muhammad Abduh dalam tulisannya yang jelas membantah cerita gharâniq ini, yaitu belum pernah ada orang Arab menamakan dewa-dewa mereka dengan gharâniq, baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka. Juga tak ada berita yang dibawa orang mengatakan, bahwa nama demikian itu pernah dipakai dalam percakapan mereka. Tetapi yang ada ialah sebutan ghurnuq dan ghirniq sebagai nama sejenis burung air, entah hitam atau putih, dan sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan. Dari semua itu, tak ada yang cocok untuk diberi arti dewa; juga masyarakat Arab dahulu tak ada yang menamakan demikian.
Tinggal lagi sebuah argumen yang dapat kita kemukakan sebagai bukti bahwa cerita gharâniq ini mustahil akan ada dalam sejarah hidup Muhammad sendiri. Sejak kecilnya, semasa anak-anak dan semasa mudanya, belum pernah terbukti ia berdusta, sehingga ia diberi gelar Al-Amîn, “yang dapat dipercaya”, pada waktu usianya belum lagi mencapai dua puluh lima tahun. Kejujurannya sudah merupakan hal yang tak perlu diperbantahkan lagi di kalangan umum, sehingga ketika suatu hari sesudah kerasulannya, ia bertanya kepada kaum Quraisy: “Bagaimana pendapatmu sekalian kalau saya katakan, bahwa di kaki bukit ini ada pasukan berkuda, percayakah kalian?”
Jawab mereka: “Ya, Anda tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat Anda berdusta.”
Jadi, orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga tuanya begitu jujur, bagaimana orang akan percaya bahwa ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Allah; ia takut kepada orang dan bukan kepada Allah! Hal ini tidak mungkin. Mereka yang sudah mempelajari jiwanya yang begitu kuat, begitu cemerlang, jiwa yang begitu membentang mempertahankan kebenaran dan tidak pula pernah mencari muka dalam soal apa pun, akan mengetahui akan ketidakmungkinan cerita ini. (hh. 121-122)
Penutup
Tulisan kritis dari Haekal ini lolos dari perhatian Armstrong. Secara keseluruhan, ia memang tidak pernah merujuk pada tulisan-tulisan tentang Rasulullah Saw. dari para penulis Muslim mutakhir. Sebagai seorang yang pernah menjadi mahasiswa doktor dalam bidang sastra, Karen mencari dulu plot, dan baru setelah itu mengumpulkan bahan-bahan. Sebagai peneliti Islam, ia jauh berada di bawah level Annemarie Schimmel. Schimmel mengumpulkan bahan dan baru menyusun karyanya. Tapi dengan segala kekurangannya, ia tetap konsisten untuk mengajak orang Barat memahami Muhammad tanpa prasangka dan kebencian. Lagi pula, bukankah kesalahan Armstrong itu juga bisa ditemukan dalam kitab-kitab rujukan klasik? Bukankah cerita yang sama juga disebarkan oleh para ustad kita? Kesalahan Armstrong sama dengan kesalahan kita: membaca tarikh tanpa kritik. Malangnya, kita menambah kesalahan kita dengan memerangi semua orang yang kritis, hanya karena ceritanya tidak sesuai dengan cerita yang kita percayai.
Akhirnya, kita patut memberikan apresiasi kepada Armstrong, yang tidak henti-hentinya mengajak Barat untuk memahami Islam dan mengajak umat Islam untuk memahami Barat. Ia mengakhiri bukunya dengan mengatakan:
“Jika kita ingin menghindari kehancuran, dunia Muslim dan Barat mesti belajar bukan hanya untuk bertoleransi, melainkan juga saling mengapresiasi. Titik berangkat yang baik adalah dari sosok Muhammad: seorang manusia yang kompleks, yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideologi, yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada namanya, ‘Islam’, berarti perdamaian dan kerukunan.”
Kita harus menyambut ajakan Armstrong dengan membangun kembali naratif besar Muhammad dalam sosoknya yang penuh kemuliaan, kesucian, dan keteladanan. Untuk apa? Untuk mengorganisasikan kembali keberagamaan kita yang centang-perenang. Sekali lagi, mengutip Dilthey, untuk membangun Zusammen hang des Lebens.
Jalaluddin Rakhmat
Tentang Karen Armstrong
Spesifikasi Produk
SKU | UC-87 |
ISBN | 978-602-441-287-6 |
Berat | 300 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 16 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 256 |
Jenis Cover |
Ulasan Produk
Tidak ada ulasan produk