Ketersediaan : Habis

MUHAMMAD NABI CINTA CATATAN SEORANG NASRANI TENTANG RASULULLAH SAW.

Deskripsi Produk

Bagi Craig remaja, Islam adalah Bin Laden, Al-Qaeda, dan kekerasan sebagaimana yang digambarkan media. Namun, saat kuliah di American University dan bertemu dengan Prof. Akbar Ahmed, persepsinya tentang Islam berubah total. Sejak kuliah pertamanya, Prof. Ahmed telah membuat Craig bukan hanya penasaran, tetapi juga jatuh cinta kepada pribadi sang Nabi…

Baca Selengkapnya...

Rp 79.000

Rp 40.000

Bagi Craig remaja, Islam adalah Bin Laden, Al-Qaeda, dan kekerasan sebagaimana yang digambarkan media. Namun, saat kuliah di American University dan bertemu dengan Prof. Akbar Ahmed, persepsinya tentang Islam berubah total. Sejak kuliah pertamanya, Prof. Ahmed telah membuat Craig bukan hanya penasaran, tetapi juga jatuh cinta kepada pribadi sang Nabi Islam. Dia pun mulai belajar tentang Islam lebih banyak lagi dan menemukan sifat rahmah Rasulullah Saw. serta ajarannya yang mengutamakan kasih sayang.

Buku ini adalah kumpulan catatan Dr. Craig Considine, seorang Nasrani yang juga dosen Sosiologi di Rice University Amerika Serikat, tentang Rasulullah Saw. dan Islam. Di tengah kecenderungan sebagian muslim yang memilih jalan kekerasan, buku ini dapat menjadi referensi dari sepasang mata baru dan segar tentang Islam sejati, Islam yang rahmatan lil ‘alaamin.

Tentang Craig Considine

Resensi

Dr. Craig Considine (Cendekiawan Kristen) Ajak Para Pembenci Islam Datangi Masjid Mengenal Islam Langsung http://kumpulansegalaartikel.blogspot.com/2016/05/dr-craig-considine-cendekiawan-kristen.html Dr. Craig Considine adalah seorang kristiani Amerika keturunan Irlandia-Italia. Dia dosen sosiologi di Rice University Houston, Texas, Amerika. Sebagai seorang sosiolog, ia berfokus pada hubungan Kristen-Muslim, studi lintas agama, identitas, ras dan etnis, serta penelitian komparatif dan etnografi. Doktor lulusan Trinity College Dublin Irlandia ini dikenal pro-Muslim dan memiliki pandangan obyektif tentang Islam. Pandangan-pandangannya terkait Islam bisa dilihat dari isi twit-twitnya di akun pribadinya @CraigCons. Pasca Teror Paris, dimana dampaknya meningkat kebencian terhadap muslim dan Islam, Dr. Craig Considine menyerukan para pembenci Islam untuk tak termakan pemberitaan media dan mengajak mereka mengenal Islam secara langsung bertemu orang-orang Islam. People tweet to me, "Islam is of the devil." I send a tweet back, "Have you ever visited your local mosque?" Response is usually "no." SMH. (Orang nge-tweet ke saya, "Islam adalah setan." Saya mengirim tweet kembali, "Apakah Anda pernah mengunjungi masjid setempat?" Response biasanya "tidak." SMH.) Cuit @CraigCons, Senin (23/11/2015). If you watch Fox News, you’ll think Muslims are nuts. Here's an idea. Turn your TV off. Go to your local mosque. Experience Islam 1st hand. (Jika Anda menonton Fox News, Anda akan berpikir orang-orang Islam gila. Berikut ini (saya kasih) saran. Matikan TV Anda. Pergi ke masjid setempat. Alami mengenal Islam dari tangan pertama (dari orang Islam langsung bukan dari media).) People tweet me, "You're crazy for speaking highly of Islam." Wrong. I speak highly of Islam & Muslims because I've done my homework. You? Being "pro-Muslim" doesn't mean I'm a Democrat, but I will say this: being "pro-Muslim" means that I'm "pro-human." You? (Menjadi "pro-Muslim bukan berarti saya seorang demokrat, tapi saya katakan begini: menjadi "pro-Muslim" itu berarti bahwa saya "pro-human." Kamu (bagaimana)?). Mungkinkah Muhammad Sebagai Nabi Bagi Umat Kristiani? https://geotimes.co.id/kolom/mungkinkah-muhammad-sebagai-nabi-bagi-umat-kristiani/ Masih dalam suasana Maulid Nabi Muhammad, saya ingin mengajukan pertanyaan teologis yang tak umum diajukan: Mungkinkah umat Kristiani mengakui Muhammad sebagai Nabi? Pertanyaan ini pernah disampaikan Khalifah Abbasiyah al-Mahdi kepada Patriakh Timothy I dari Gereja Suriah Timur. Tentu saja, pertanyaan itu seharusnya dijawab oleh umat Kristiani. Karena itu, saya hanya bermaksud mendiskusikan apa yang dikatakan sebagian penulis Kristen ketika menjawab pertanyaan tersebut. Lebih khusus lagi, saya akan membatasi pada mereka yang membuka kemungkinan mengakui Muhammad sebagai Nabi, baik eksplisit atau implisit. Setahu saya, tidak banyak penulis Kristen yang berbicara soal kenabian Muhammad dari sudut teologis, dan lebih sedikit lagi yang menjawabnya secara afirmatif. Perlu disebutkan di awal, sebagian orang mungkin bertanya: Apa susahnya umat Kristiani mengimani Muhammad sebagai Nabi? Bukankah kaum Muslim menghormati Yesus (Isa) dan menganggapnya sebagai Nabi yang agung? Dua pertanyaan di atas tidak bisa saling dihubungkan untuk memunculkan komitmen timbal-balik: Karena kaum Muslim mengimani Yesus sebagai Nabi, maka umat Kristiani semestinya mengimani Muhammad juga. Pertama, kaum Muslim tidak memperlakukan Yesus sebagaimana umat Kristiani mengimaninya sebagai Tuhan. Jadi, Muslim mengakui Yesus sebagai Nabi berbeda dengan Kristen mengakui kenabian Muhammad. Kedua, umat Kristiani mengimani keesaan Tuhan. Bagi sebagian kalangan, jika mereka juga mengakui kenabian Muhammad, maka mereka otomatis menjadi Muslim. Soal Kenabian Muhammad Sementara kaum Muslim meyakini tidak ada nabi setelah Muhammad, umat Kristiani memahami kenabian lebih dinamis, walaupun dalam pengertian Biblikal tidak ada nabi setelah Yesus. Sebab, Yesus adalah kulminasi wahyu dalam wujudnya yang paripurna. Seperti disebutkan dalam kitab Ibrani 1:1-2, Tuhan berkomunikasi dengan umat manusia melalui para Nabi, dan pada zaman akhir ini “Ia telah berbicara kepada kita dengan perantara Anak-Nya.” Ayat Ibrani ini memperlihatkan proses gradualitas wahyu yang mencapai kepurnaannya dalam diri Yesus sebagai inkarnasi Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tidak lagi mewahyukan kehendak-Nya, melainkan diri-Nya dalam wujud Yesus. Ada dua konsekuensi dari kesempurnaan wahyu dalam diri Yesus: (1) tidak ada lagi wahyu setelahnya, dan (2) dengan terputusnya wahyu, berakhir pula era kenabian. Dalam konteks itu kita bisa memahami kenapa sulit bagi Kristen untuk mengakui Muhammad sebagai Nabi dalam pengertian Biblikal. Wahyu yang paripurna sudah mewujud dalam diri Yesus, yang disaksikan oleh murid-muridnya. Bahkan, Perjanjian Baru dipahami semata sebagai sebuah kesaksian normatif atas pewahyuan Tuhan dalam diri Yesus itu. Dari sinilah dikenal istilah inkarnasi: Firman menjadi tubuh Yesus. Maka, ada benarnya ketika sebagian sarjana membandingkan Yesus dengan al-Qur’an. Jika dalam tradisi Kristen dikenal inkarnasi, dalam Islam disebut “inlibrasi,” yakni Firman menjadi kitab (al-Qur’an). Sebagaimana al-Qur’an dipahami bersifat eternal, demikian pula Yesus yang (mengutip Ibrani 1:2) “dengannya Tuhan menciptakan alam semesta.” Maka, ketika Patriakh Timothy ditanya apakah ia mengakui Muhammad sebagai Nabi, ia tidak dapat mengafirmasi sepenuhnya tetapi juga tidak menolak ajaran-ajaran kebaikan yang dibawanya. Dengan pilihan kalimat yang sangat hati-hati, Timothy menjawab: “Muhammad berada di jalannya para Nabi.” Jawaban ini mengena dua sasaran sekaligus. Dia tidak menyakiti perasaan Khalifah Al-Mahdi dan juga tidak menyimpang dari pemahaman ortodoks bahwa tak ada wahyu setelah Yesus. Sejak pertengahan abad ke-20, sejumlah teolog Kristen mengembangkan perspektif baru dan mencoba merumuskan prinsip-prinsip yang memungkinkan untuk mengakui Muhammad sebagai seorang Nabi. Dalam sebuah konferensi di Spanyol tahun 1977, misalnya, Prof. Gregorio Luiz berargumen bahwa jika istilah “nabi” dipahami secara sosiologis, maka Muhammad boleh dianggap Nabi. Pandangan Luiz kurang mendapat respons karena dia tidak menggunakan istilah “nabi” dalam makna teologis sebagaimana dipahami kaum Muslim. Terobosan Teologis Adalah Giulio Basetti-Sani dan Christian Troll yang menawarkan sebuah terobosan penting dalam soal kenabian Muhammad dan ajaran yang dibawanya. Dalam “Secercah Harapan di Balik Caci-Maki Muslim dan Kristen” (Geotimes, 25 November 2016), saya sudah mendiskusikan pandangan Basetti-Sani tentang al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Diilhami oleh mentornya Louis Massignon, Basetti-Sani mengusulkan supaya umat Kristiani mengembangkan sikap positif atas Muhammad tanpa mengorbankan keyakinan teologis mereka. Hal itu dapat dilakukan dengan membedakan antara pengakuan atas kenabian Muhammad dan pengamalan ajaran Islam. Baginya, mengakui kenabian Muhammad adalah satu hal, dan mengikuti ajarannya adalah hal lain. Dan sikap apresiatif terhadap ajaran Islam tidak berarti meninggalkan ajaran Yesus Kristus karena (sebagaimana judul bukunya) “Qur’an dapat dibaca dalam sinaran Kristus” (The Koran in the Light of Christ). Troll berbicara soal kenabian Muhammad dalam dua bukunya yang dibaca luas, berjudul Dialogue and Difference: Clarity in Christian-Muslim Relations (2009) dan Muslims Ask, Christians Answer (2012). Dia menyebut Muhammad sebagai “an outstanding religious figure” dan mengajak kaum Kristiani bersikap terbuka mempelajari biografi Muhammad dan ajaran Islam. “Pengakuan atas Yesus sebagai kepurnaan wahyu, dalam arti Tuhan mewahyukan dirinya dalam diri Yesus,” kata Troll, “tidak berarti bahwa agama lain diremehkan atau ditolak sebagai memiliki hubungan tertentu dengan Tuhan dan menawarkan peribadatan yang absah.” Sebaliknya, agama Islam perlu dipahami sebagai wujud beragam bentuk undangan Tuhan untuk menyingkap makna kepurnaan wahyu. Baru-baru ini dua penulis Kristen, Craig Considine dan Ian Mevorach, menulis artikel di The Huffington Post menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini secara afirmatif. Dalam “Why a Christian Can View Muhammad as a Prophet” (26 Januari 2016), Considine berargumen bahwa tidak ada salahnya bagi Kristen mengakui kenabian Muhammad. Baginya, Muhammad membawa pesan-pesan serupa dengan yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, termasuk ajaran cinta-damai dan tidak bisa dikatakan anti-Kristen. Namun demikian, Considine memaknai kata “nabi” dalam pengertian yang luas, sehingga bukan hanya Muhammad yang bisa dianggap sebagai Nabi, tapi juga memungkinkan pengakuan atas nabi-nabi lain setelahnya. Mevorach, dalam tulisannya “Did Jesus Predict Muhammad” (25 April 2016), membuat pernyataan provokatif. “Jika kita lihat Islam sebagai agama dunia yang dianut oleh 1,6 miliar orang,” tulisnya, “inilah saatnya untuk mengakui Muhammad sebagai Nabi.” Muhammad sebagai “Spirit Kebenaran” telah diprediksi oleh Yesus. Tulisan Mevorach ini mendapat reaksi luas hingga mencapai 600 komentar. Mevorach adalah seorang pastur dengan gelar PhD dan aktif dalam kegiatan dialog lintas agama, terutama Yahudi-Kristen-Islam. Ada dua hal yang saya tidak setuju dengan Mevorach. Pertama, menurutnya, pengakuan atas kenabian Muhammad didasarkan pada prediksi Yesus dalam Perjanjian Baru. Ini persoalan klasik yang tak meyakinkan. Kedua, pengakuan atas kenabian Muhammad diperlukan sebagai persyaratan dialog lintas agama. Asumsi dasar kontensi ini sangat problematik karena perbedaan tidak harus menghalangi kerja-kerja dialog. Justru dialog diperlukan karena ada perbedaan yang perlu didialogkan. Dengan demikian, apakah Muhammad diakui sebagai Nabi atau tidak seharusnya bukan hambatan dialog dan kolaborasi antara komunitas Muslim dan Kristen. Tulisan ini perlu dilanjutkan dengan pertanyaan lain, “bisakah Yesus sebagai Tuhan bagi Muslim?” Kini saatnya Muslim menjawab pertanyaan ini dan akan saya diskusikan dalam tulisan berikutnya sebagai renungan Maulid Yesus.  

Spesifikasi Produk

SKU NA-169
ISBN 978-602-385-538-4
Berat 200 Gram
Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 204
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk