Ketersediaan : Tersedia
Paket Bundling - So Buku Chandra Bientang +ttd+Booknote
Deskripsi Produk
- Bundling: Buku Batu Berkaki + Buku Dua Dini Hari+ Bonus Note+Diskon 17% Suatu pagi, Munarto, seorang pematung terkenal sekaligus orang terkaya di Desa Ledok Awu, ditemukan mati. Di pondok kerjanya,sedang memahat patung batu yang tak punya tubuh selain bagian kaki, bersimbah darahnya sendiri. Pertanyaan “Siapa?” hanya akan memunculkan segerombolan…
Baca Selengkapnya...Rp 158.000
Rp 131.140
- Bundling: Buku Batu Berkaki + Buku Dua Dini Hari+ Bonus Note+Diskon 17%
Suatu pagi, Munarto, seorang pematung terkenal sekaligus orang terkaya di Desa Ledok Awu, ditemukan mati. Di pondok kerjanya,sedang memahat patung batu yang tak punya tubuh selain bagian kaki, bersimbah darahnya sendiri.
Pertanyaan “Siapa?” hanya akan memunculkan segerombolan tersangka. Meski bergantung nafkah padanya, ada terlalu banyak penduduk desa yang menginginkan kematiannya. Dendam terhadap
keluarga Munarto telah menjadi warisan turun-temurun. Jadi, yang bisa ditanyakan adalah “Mengapa?” Dari setumpuk alasan yang ada,mana yang akhirnya membuat lelaki itu kehilangan nyawa?
Keunggulan
● Buku ketiga dari Chandra Bientang, yang mendapat penghargaan “Rookie of the Year” dari IKAPI Awards pada 2022.
● Ciri khas Chandra Bientang, sebagai penulis yang fokus dalam mengangkat isu-isu lokal di Indonesia, muncul dengan kental dalam novel Batu Berkaki. Kali ini, plotnya mengangkat cerita pembunuhan seorang seniman sekaligus pemilik Perkebunan,juga riwayat kelam suatu desa yang penduduknya menyimpan ingatan tentang peristiwa masa lalu.
● Batu Berkaki mengambil latar fiktif Desa Ledok Awu, yang terletak di sekitar kaki Gunung Merbabu yang misterius, tenang tetapi menyimpan rahasia dan bahaya. Persepsi orang tentang desa selalu tentang keindahan alamnya, udara yang sejuk, dan para penduduknya yang bersahaja. Jarang orang tahu bahwa lokasi desa yang cenderung eksklusi (jauh dari mana-mana) membuat segala yang terjadi luput dari pengawasan, juga membuat akses meminta bantuan dan keadilan menjadi sulit. Dalam novel ini, desa menjadi lahan empuk orang-orang yang ingin mengeksploitasi alam.
● Keluarga menjadi salah satu kekuatan penggerak dalam novel ini. Beban yang diwariskan dan sejarah keluarga menjadi motivasi keputusan dan tindak-tanduk para karakternya.
● Isu lingkungan dan ekofeminisme juga cukup kental. Novel ini menilik bagaimana desa sering kali menjadi objek eksploitasi dan kesewenang-wenangan. Pandangan ekofeminisme muncul
dalam karakter-karakter perempuan penghuni Ledok Awu yang berusaha mengambil kembali ruang hidup mereka melalui upaya-upaya kecil.
● Isu lainnya adalah mengenai stigma perempuan. Novel ini mengisahkan bagaimana perempuan kerap disalahkan atas apa yang terjadi kepada keluarga dan anak mereka. Ada bayi yang meninggal, ibunya yang disalahkan. Suami tidak bahagia, istrinya yang disalahkan.
● Praktik kekuasaan. Kebanyakan orang tidak tahu, bahwa eksploitasi alam yang terjadi di desa bisa terlaksana karena kesepakatan-kesepakatan antara pihak luar (yang mengeksploitasi) dengan pihak dalam. Ini ditampilkan di dalam novel ini lewat sosok kepala desa yang ingin desanya menghasilkan keuntungan namun mengesampingkan aspirasi penduduknya. Dalam novel juga diceritakan bahwa praktik seperti ini sudah menjadi tradisi yang diturunkan dari kades ke kades.
● Sudut pandang desa. Masih banyak yang menganggap bahwa kota adalah simbol kemajuan dan desa adalah ketertinggalan.Pada kenyataannya, di sekitar kita sudah terlihat bagaimana desa menjadi model solusi permasalahan kota, misal menjadi inspirasi untuk ruang terbuka dan lahan pangan mandiri (urban garden, urban farming). Selain itu orang-orang desa masih sering dianggap tidak secerdas orang kota. Novel ini ingin
menepis hierarki kota-desa dengan menunjukkan orang-orang desa juga bisa menggunakan teknologi, memiliki kebijaksanaan mereka sendiri dan cerdas menyiasati kendala hidup.
● Yang berbeda dari alur cerita Chandra Bientang kali ini adalah penggunaan reverse chronological order, bab yang dimulai dari momen setelah pembunuhan terjadi, lalu mundur ke hari-hari sebelum pembunuhan terjadi. Meski pembaca sudah mengetahui konfliknya sejak awal, tetapi rahasia yang sedikit demi sedikit terkuak pada bab-bab selanjutnya dengan latar waktu yang terus mundur, akan penuh intrik dan meningkatkan
ketegangan.
● Karena menggunakan reverse chronological order, cerita lebih fokus pada kejadian-kejadian. Alasan di balik tingkah laku para karakter akan bisa dirunut sampai poin awal rangkaian kejadian
yang diletakkan pada bab terakhir. Hasilnya, ada lebih banyak plot twist yang tak terduga untuk dikuak.
● Beberapa detail diambil dari pengalaman masa kecil Chandra Bientang sendiri, misal roti gambang, Kota Muntilan, dan toko kue.
Spesifikasi Produk
SKU | PKT-1731 |
ISBN | 978-623-242-454-8 |
Berat | 800 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 344 |
Jenis Cover |
Ulasan Produk
Tidak ada ulasan produk