Ketersediaan : Habis

PRIBADI & MARTABAT BUYA HAMKA-NEW

Deskripsi Produk

Sikap Buya Hamka dalam Konferensi Islam Sedunia di Makkah pada 1975 barangkali merupakan teladan yang sangat relevan di masa hiruk pikuk sekarang ini. Pada waktu itu, Wakil Sekjen Konferensi Islam Syaikh Safwad Sakka termakan fitnah dan percaya bahwa Hamka aktif membantu Kristenisasi. Yang menarik adalah kekuatan Hamka mengendalikan diri dan…

Baca Selengkapnya...

Rp 94.000

Rp 50.000

Sikap Buya Hamka dalam Konferensi Islam Sedunia di Makkah pada 1975 barangkali merupakan teladan yang sangat relevan di masa hiruk pikuk sekarang ini. Pada waktu itu, Wakil Sekjen Konferensi Islam Syaikh Safwad Sakka termakan fitnah dan percaya bahwa Hamka aktif membantu Kristenisasi. Yang menarik adalah kekuatan Hamka mengendalikan diri dan perasaaannya—meski sekali pun tak diberi kesempatan berbicara dalam konferensi itu, beliau hanya diam dan tenang mengikuti konferensi hingga selesai.

Rusydi Hamka—putra kedua yang sering mendampingi Hamka dalam banyak peristiwa—memaparkan kisah tersebut dalam buku ini, bersama kisah-kisah inspiratif lain dalam kehidupan ulama legendaris Indonesia itu.

Dalam buku ini, kita juga mendapat gambaran sosok Hamka sebagai ulama yang benar-benar hidup di tengah umat. Hampir setiap hari berbondong tamu datang ke rumah Hamka hingga antreannya “seperti  di Puskesmas”. Mereka datang untuk berbagai keperluan, termasuk meminta nasihat urusan pribadi dan rumah tangga. Semua diterima Hamka dengan baik dan tanpa memungut bayaran, “Ini harus kita lakukan lillahi ta'ala—karena Allah semata,” demikian Hamka menekankan.

Rusydi juga mengungkapkan kemahiran Hamka membagi waktu di antara berbagai kesibukannya—mengarang, berkhutbah dan berceramah, memberi kuliah Shubuh, memberikan konsultasi kepada umat, dan membaca.

Menggambarkan pengalaman dan watak Hamka secara detail, buku ini secara utuh menampilkan Hamka sebagai sosok ulama dan seorang ayah yang patut kita teladani.

Tentang H. RUSYDI HAMKA

Resensi

PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA http://basipda.bekasikab.go.id/berita-resensi---pribadi-dan-martabat-buya-hamka.html Buku ini mengisahkan tentang pengetahuan Buya Hamka tentang masuknya Islam ke Indonesia. Buya Hamka membeberkan fakta sejarah tentang masuknya Islam pertama kali ke Indonesia bukan dari pedagang Gujarat India, akan tetapi langsung dari Arab sekitar abad ke-6 dan abad ke-7 atau semasa jaman Khulafaur Rasyidin. Fakta ini berdasarkan penggalian atas catatan perjalanan Ibnu Batutah dan kisah pengembaraan laksamana Cheng Ho. Fakta ini beliau sampaikan di sebuah seminar kebudayaan dan sejarah Islam di Medan tahun 1963. Ternyata fakta ini tidak diindahkan pemerintah. Sehingga sejarah tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diberikan kepada pelajar tetap yang berdasarkan kaum orientalis. Selain itu, dalam buku ini Buya juga mempertahankan fatwa ‘haram natal bersama’, sebuah fatwa yang membuat murka rezim saat itu. Buya tak mundur selangkah pun. Beliau lebih memilih meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI daripada harus mencabut fatwa tersebut untuk menyenangkan penguasa saat itu. Sebuah buku yang hebat tentang ulama hebat. Banyak teladan sikap dan pemikiran Buya yang bisa diambil hikmahnya. Setelah membaca buku ini kita akan semakin terbuka luas wawasan tentang agama Islam. Dari awal masuknya yang dari sekolah dasar kita sudah dicecoki dengan pengenalan sejarah yang berbeda, dan diyakini benar adanya karena sebuah otoritas dan kepentingan. Sejatinya, melalui sejarah kita saling menghargai, saling menghormati dan menjadikan pelajaran serta memgambil hikmah dari semua yang sudah terjadi. -------------------------------------------------------------------------------------------------- Pribadi dan Martabat Buya Hamka: Menjemput Mutiara yang Hilang https://eskaelhussein.wordpress.com/2017/03/04/pribadi-dan-martabat-buya-hamka-menjemput-mutiara-yang-hilang/ Oleh Shofwan Karim Kemarin malam, halaman judul, pegantar penerbit dan ucapan terimakasih oleh Amad Najib dan Rusydi Hamka, itu yang saya mulai baca. Lalu langsung ke halaman 249-259, “Menjelang Akhir Hayat”. Baru kemudian saya membaca daftar isi. Mengapa melompat ke “ Menjelang Akhir Hayat?”. Seperti yang saya sampaikan kepada Dian (Rahmadiyanti) dari penerbit Naura Books via WA ketika diminta menjadi salah satu di antara pembicara saat ini, saya berkata, “ Saya senang dan merasa terhormat dapat ikut agenda peluncuran buku tentang Buya. Bagi saya beliau tidak pernah wafat, hanya berpindah alam. Buku dan siran radio/TV Buya saya baca dan dengar serta tonton di Youtube tengah malam…” Mengapa tengah malam?. Saya mendapatkan nuansa kalimat-kalimat Buya syahdu dan memberikan aura kehidupan yang mendalam di tengah malam yang sunyi itu. Apalagi kalau selesai melaksanakan shalat tahajud. Tentu bukan saya saja yang berpikiran seperti itu. Mungkin sebagian besar di antara kita yang hadir ini mempunyai perasaan yang sama terhadap Buya. Terutama generasi seusia dan sedikit di bawah saya. Yang lahir tahun 50 atau 60-an. Terhadap buku ini yang dikatakan publikasi ulang dari edisi awalnya akhir 1981, izinkan saya menyinggung sedikit tentang Rusydi Hamka (1935-2014)[2], sang penulis. Saya memanggilnya Bang Rusydi. Berkenalan dengan beliau tahun 1982, karena mengirim tulisan untuk edisi Panji Masyarakat menjelang ulang tahun ke 25 atau edisi seperempat abad Majalah Islam Panji Masyarakat. Tulisan itu tentang Pembaharuan Islam di Minangkabau. Sumber utama tulisan itu sebenarnya buku Buya, “Ayahku” dan buku Deliar Noer, “Gerakan Islam Modern Indonesia, 1900-1942.” Sejak itu saya agak sering bertemu dan berdiskusi dengan Bang Rusydi. Bang Rusydi paling tidak menulis 3 buku lagi tentang Buya selain yang kita bahas ini. Di antaranya, Hamka Membahas Soal-soal Islam (1983); Hamka : Pujangga Islam Kebanggaan Melayau (2010); Hamka Pujangga Islam: Kebanggaan Rumpun Melayu Menatap Peribadi dan Martabatnya (TT). Putra kedua Buya, Rusydi paling intensif mengikuti dunia kepenulisan Buya. Apalagi beliau adalah sarjana Publistik dan sangat sering menemani ayahnya. Baik ketika di kediaman, perjalanan dalam negeri dan lebih-lebih perjalanan luar negeri. Meskipun ada putra putri putri yang lain dan juga menulis buku tentang Buya seperti Irfan Hamka, tetapi Rusydi untuk hal-hal tertentu amat identik dengan Buya. Aktifitas Rusydi di Muhammadiyah sejak dari Pemuda Muhammadiyah sampai kepada salah seorang Ketua Muhammadiyah. Jejak politik Buya yang tahun 1950-1960 aktif dari Partai Masyumi, Rusydi aktif di PPP bahkan menjadi anggota DPR RI Komisi 1[3]. Di dalam dunia kepenulisan dan jurnalistik, Rusydi paling penuh terlibat di Majalah Islam Panji Masyarakat yang terbit 1959 dan tehenti, kemudian 1966 terbit lagi sampai awal 1990. Buku yang ada di tangan kita sekarang, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, selain pengantar penerbit dan ucapan terimakasih, isinya terdiri atas Bab 1 dan Bab 2, kemudian lampiran-lampiran, I sampai dengan IX. Lalu di tutup pada 3 halaman terakhir (385-387) dengan biodata penulisnya Bang Ruysdi. Tulisan-tulisan itu kelihatannya merupakan karangan terpisah-pisah dan kemudian dihimpun pada Bab 1 dan Bab 2 dan kemudian ditambah lampiran-lampiran tadi. Meskipun begitu, tidaklah sulit bagi pembaca ntuk menangkap apa yang menjadi inti buku, pribadi dan martabat Buya Hamka. Dengan gaya berceritera, Rusydi berhasil melukiskan bahwa Buya membentuk pribadi dan martabatnya secara alamiah. Dari pancaran kehidupan masa kanak-kanak, remaja, pemuda dan masa dewasanya. Dari bacaan kitab-kitab dan buku. Dari lingkungan adat Minangkabau yang kental dengan syarak. Begitu pula tak kalah pentingnya pribadi dan martabat Buya lahir dari pengalaman hidup. Lebih dari itu, Buya mengambil hikmah hidup dari perjalanan yang dilakukannya. Baik perjalanan karena kegiatan sehari-hari, karena perjuangan melawan Belanda, perjalanan dakwah dan kunjungannya ke berbagai negara di seantero pojok dan sudut-sudut dunia. “Abdul Malik, gelar Datuk Indomo yang kita panggil dengan Hamka, sejak usia sangat muda sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakan anaknya itu : Si Bujang Jauh”. Sejak masa kecilnya yang nakal dan terlunta-lunta, dia berkelana dengan jalan kaki. Bahkan sampai hari tuanya pun dia tetap berkelana dengan peswat jet. Itulah salah satu kegiatan hidupnya, berkelana. Dari ujung Timur sampai ujung paling Barat negeri ini, telah dijalaninya dalam pengembaraan sebagi guru agama, mubaligh, atau sebagai peminat sejarah tanah airnya. Begitupun di luar tanah airnya. Berbagai negara telah menarik minatnya untuk dijelajahi.” (Hal. 14) Di samping kesenangan membaca, menulis, dan berdakwah serta berihlah (berkelana) ke mana-mana, Rusydi mengatakan tentang tongkat-tongkat Buya (hal. 12-25).   Tongkat itu multi fungsi. Bukan saja menopang langkah ketika mendaki dan menurun menjaga keseimbangan dalam perjalanan. Lebih dari itu tongkat juga berfungsi sebagai senjata terutama menghadapi binatang berbisa. Tongkat juga untuk menupang tubuh untuk berdiri dan berjalan, ketika badan sudah tidak sehat atau sudah berumur lanjut. Dan zaman sekarang, bukankah juga ada tongkat komando yang selalu dipegang oleh para jenderal dan komandan?. Secara filosofis, tongkat, meski tidak selalu berbentuk benda, di dalam kehidupan kita memang memerlukannya. Kita memerlukan pihak lain yang akan menupang kehidupan. Pejabat negara dan para petinggi mempunyai Adc atau ajudan. Bukankah itu simbolik dari tongkat?. Pada judul, “Ibu, Obat Hati Ayah dan Anak,” Rusydi menjabarkan peran almarhumah ibunya Ummi Hajjah Siti Raham. Ummi mendampingi Buya selama 43 tahun dan melahirkan 10 orang anak yang hidup dan 2 orang yang wafat serta 2 orang anak yang keguguruan (hal. 26-42). Romantika kehidupan rumah tangga kedua ayah dan ibunya, digambarkan Rusydi sebagai sesuatu yang unik tetapi penuh kasih sayang. Buya suka berkata-kata dengan ucapan berlika-liku, berbunga-bunga, dan bersyair ria dalam prosa dan puisi. Mengucapkan hal-hal yang simbolik. Berpantun dan bersajak ketika menggambarkan keindahan alam. Sebaliknya kepada Ummi, ia kurang banyak bicara, lebih terus terang dan apa adanya. Bahkan Ummi kadang-kadang “membully” Buya. Misalnya Buya berkata: “Lihat, Mi…fajar menyingsing itu, paduan warna pagi ini berbeda dengan yang kemarin dan esok. Begitu seterusnya tak pernah sama sepanjang tahun dan sepanjang abad. Tak seorang pelukis pun yang bisa meniru komposisi warna itu. Itulah kuasa Tuhan.” Jawab Ummi, sambil tersenyum: “ Pandanglah lama-lama, nanti lama-lama pula kuliahkan kepada kami”. Kedenganrannya ketus, tetapi begitulah romantika suami-isteri itu. Ketika Buya yang hobi mengentak-entakkan kedua jari telunjuk di atas meja seperti mengetik dengan dua jari. Kalau ada mesin tik dan kertas, jadilah sebuah karangan. Kebiasaan itu bisa berlangsung pada waktu makan, atau menerima tamu, atau dalam perjalanan. Ummi tak begitu suka dengan kebiasaan itu dan selalu mengingatkan Buya. Namun, caranya memperingatkan sambil bergurau, Ummi berkata, “Lah tibo pulo akuan Angku Haji” (sudah tiba pula Akuan Angku Haji). Akuan adalah sejenis makhluk halus atau jin yang menjadi kawan orang-orang yang menjadi dukun. Kata Rusydi, “biasanya Ayah tersipu-sipu mendengar teguran Ummi itu (hal. 27). Intinya, di dalam buku setebal 387 halaman itu, Rusydi menggambarkan, Pribadi Buya Hamka yang Menakjubkan (hal. 68-88). Di antaranya bagaimana Buya memaksa Rusydi menulis. Kalau Rusydi menulis menunggu ilham, Buya mengatakan, mulai saja. Oleh Rusydi itu dianggap, Buya bisa menulis kapan dan di mana saja. Karena itu Rusydi menganggap bahwa ilham bagi Buya datang di mana dan kapan saja, tanpa ditunggu-tunggu. Di dalam saat menulis, Buya kelihatannya tidak pernah terganggu dan terus saja menulis, meski ada tamu di hadapannya yang dilihatnya sekilas saja. Mungkin Buya tidak mau kehilangan momen dalam aliran ilham yang sedang mengalir. Menurut Rusydi kebiasaan Buya menulis setelah membaca Quran dan membaca surat kabar. Selanjutnya Buya menulis dan tidak merasa terganggu hampir setiap hari dari pk 7 sampai pk 9. Baru setelah itu Buya keluar atau mengerjakan yang lain. Kebiasaan rutin Buya, kata Rusydi beribadah. Di antaranya shalat tahajud dan witir yang terus dilaksanakan setiap malam. Kemudian membaca Quran atau berzikir sampai dekat fajar, lalu membangunkan keluarga untuk shalat ke masjid atau berjamaah di rumah. Menurut Rusydi, naluri Buya dan kecenderungannya sangat kuat kepada sejarah. Lebih dari itu Buya sangat kuat menyimpan data apa yang dia lihat, dia saksikan, baca dan dia dengarkan, lalu dia pikirkan dan tuangkan dalam karya-karya dan disampaikan di dalam tabligh dan dakwah serta pidato-pidatonya. Itulah sebabnya bagi kita yang membaca bukan hanya buku yang satu ini tetapi 118 buku dan kitab serta artikel dan karangannya di berbagai media, Buya selain sejarahwan adalah juga pujangga, sasterawan, budayawan, guru besar, politisi, muballigh dan juru dakwah dan aktifis sosial sangat terkemuka.   Nama dan karyanya dikenal di dunia terutama di Asia Tenggara. Semua predikat yang kita gambarkan tentang Buya, sebagian dituliskan Rusydi dengan singkat tetapi mengena. Sebagai ulama, Buya tidak fanatik kepada aliran ilmu tauhid, teologi dan teori filsafat ilmu kalam tertentu. Meskipun dirinya adalah golongan sunni tetapi Buya tidak menganggap semua aliran Syiah itu sesat. Beliau berkunjung ke Iran dan Irak. Lebih dari itu, Buya optimis. “ Betapa pun ancaman yang dihadapi Islam saat ini, Islam tidak akan terus dikalahkan” (hal. 76). Di dalam pengamalan ibadah menurut mazahab fikih, Buya juga toleran. Mungkin karena beliau sudah memahami secara utuh dan kesuluruhan sehingga praktik ibadah dapat mengkuti kecenderungan jamaah, waktu dan tempat. Misalnya pada ketika shalat di masjid yang beliau tidak biasa menjadi imam kalau beliau diminta menjadi imam, maka Buya bertanya secara bisik-bisik bagaimana praktik imam membaca basmalah dengan jahar (keras) atau sir (tidak dikeraskan). Maka meskipun Buya adalah pemimpin dan aktifis Muhammadiyah dari muda sampai tuanya, akan mengikuti kebiasasan setempat. Bahkan pernah di Masjid Agung Al-Azhar yang beliau Imam Besarnya melakukakan azan dua kali, ketika shalat Jumat ketika khatib Jumat dari kalangan NU. Di dalam, Jembatan Umat dan Pemerintah (hal. 227-248), digambarkan bahwa ketika MUI didirikan pemerintah dan beliau dilantik sebagai Ketua 27 Juli 1975, Buya mengatakan, “Kami ini bagaikan kue bika, di bakar antara dua bara api yang panas; di atas pemerintah dan di bawah umat”. Dengan perumpamaan itu, seakan Buya ingin mengatakan bahwa tidak selalu keinginan pemerintah yang ingin menjadikan MUI sebagai jembatan antara pemerintah dan umat, akan memberikan kenyaman kepada MUI. Sebab kadang kala, di balik kehendak pemerintah supaya masyarakat berpartisipasi aktif di dalam pembangunan, tetapi tidak semua pembangunan itu sesuai dengan aspirasi umat dan kadang bertentangan. Di situlah MUI menghadapi masalah yang diibaratkan sebagai kue bika tadi. Hal itu misalnya menjadi kenyataan ketika pemerintah meminta fatwa bolehnya bebas menghadiri ibadah dan perayaan natal bagi kaum muslimin. Bagi Buya   tentu saja untuk hal-hal yang prinsipil tidak boleh ada toleran. Ada fatwa yang dia tandatangani sebagai Ketua Umum MUI haramnya kaum muslimin hadir dalam perayaan dan ibadah natal kaum nashrani. Sebagaimana yang sudah kita maklumi, ketika fatwa itu diminta untuk diralat, beliau mundur sebagai Ketua MUI. Sebaliknya Buya tidak pernah dendam dan selalu memafkan prilaku orang lain yang betapun kejam terhadap dirinya. Digambarkan oleh Rusydi perlakuan Buya kepada Pramudiya Anantatur yang mengirim putri dan calon menantunya untuk dibimbing ajaran Islam. Buya dengan senang hati melakukakannya. Padahal Pramudiya memusuhinya pada tahun 1960-an di dalam dunia kesusasteraan dan kebudayaan. Bahkan menyerempet ke politik dan yang kala itu Soekarno dibawa arus pengaruh komunisme di mana Pramudiya tokoh besar budayawan komunis itu. Soekarno menjebloskan Buya ke dalam penjara dan baru bebas di awal Orba. Soekarno yang memenjarakan Buya di zaman Orla, pernah mengatakan kepada keluarganya supaya bila wafat, tolong Buya menjadi imam shalat jenazahnya. Keinginan Soekarno itu dipenuhi Buya. Pada sumber lain, bahkan Prof Muhammad Yamin yang kental tidak suka dengan Buya, diperlakukannya sebagai sahabat dan ketika sakit Buya menjenguk Muhammad Yamin. Hidup tanpa dendam dan memiliki sikap beragama yang moderat dan toleran yang sekarang oleh beberapa kalangan disebut Islam yang tawassut atau pertengahan, tidak berarti Buya mengabaikan martabat. Harga diri, martabat atau muru’ah (hal. 108-127) adalah sikap tentang kesadaran diri dengan segala kelebihan dan kekurangan berani menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Digambarkan oleh Rusydi dengan pantun Buya :                    Putuslah tali layang-layang                    Robek kertas di tentang bingkai                      Hidup jangan mengepalang                    Tak kaya berani pakai Pantun itu sebenarnya diciptakan pujangga Minangkabau, Datuk Panduko Alam dalam bukunya “Rancak di Labuh”. Oleh Buya bait itu merupakan cemeti-cambuk kehidupannya. Bergitu terkesannya, Buya menyuntingkan pantun itu di halaman pertama dalam buku “Kenang-kenangan Hidup”, otobiorafinya dalam 4 jilid. Menurut Rusydi, pantun itu membuat Buya percaya diri menempuh onak dan duri kehidupan. Buya seakan sadar akan kekurangannya tidak pernah menduduki bangku sekolah, kecuali mengaji di Surau Parabek yang tidak pula tamat. Pada untaian kisah hidup berikutnya, Rusydi bercerita bagai air mengalir liku-liku kehidupan Buya sebagai yang ditulis Buya sendiri di dalam otobiografi tadi. Hidup amat bersahaja dan kata Rusydi, ayahnya menempuh garis kemiskinan. Hal itu senantiasa bergayut dalam nasib Buya. Sejak masa muda sampai membina rumah tangga hingga tahun 1950 pindah ke Jakarta. “Kain untuk sembahyang berganti-ganti kami memakainya”, begitu Buya menceritakan. Beliau bukan pedagang, tidak pula pegawai kantor yang menerima gaji tiap bulan. Orang mengenal Buya hanya sebagai “orang siak”. Suatu istilah yang digunakan di Minangkabau membangsakan orang pandai dalam ilmu agama dan ahli ibadah. Tentu saja keadaan tidak selamanya miskin. Berangsur, belakangan Buya menjadi Pegawai Tinggi Kementerian Agama Golongan F yang ditugaskan menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi dan universitas Islam di Jakarta, Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Fakultas Hukum dan Filsafat Padang Panjang. Martabat Buya di dalam berhadapan dengan para intelektual didikan Barat tidak pernah terganggu. Meskipun kata Rusydi di dalam Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris Buya kurang lancar, tetapi semua ilmu produk Barat, filsafat, sejarah dan lainnya diperolehnya dari bacaaan kitab-kitab dalam Bahasa Arab, Bahasa yang dikuasasi Buya secara prima. Oleh karena itu di dalam perdebatan, diskusi, seminar, simposium dan berbagai gelanggang ilmu pengetahuan dan kajian tingkat tinggi tentang berbagai bidang, Buya tidak pernah merasa rendah bahkan sering dikagumi oleh para tokoh lainnya. Ujian martabat datang lagi kepada Buya. Tidak segan dan tidak ragu-ragu. Buya keluar dari statusnya sebagai pegawai tinggi kementerian agama karena ada aturan pemerintah Soekarno mereka yang berpolitik mesti berhenti menjadi anggota partai. Buya adalah anggota Partai Masyumi. Padahal kalau Buya sayang dengan posisinya, maka tentu dia memilih berhenti di Partai dan tetap di pegawai tinggi. Menurut Rusydi, padahal posisinya di Masyumi tidaklah tinggi-tinggi amat, kecuali sebagai anggota Legislatif (DPR) dan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada ujung tulisan ini, sepertinya tidak habis-habis pembahasan tentang Buya. Bahkan Rusydi melampirkan berbagai karya Buya pada bagian belakang buku ini. Di anataranya catatan dalam tahanan rezim Soekarno. Sambutan sebagai Ketua Umum MUI 27 Juli 1975. Toleransi. Surat Pribadi kepada Soeharto. Pembahasan inti sari UUD ’45. Kepada Pangkopkamtib Sudamo. Jawaban dari Pangkopkamtib Sudomo, dan seterusnya. Di samping buku-buku karya Buya yang menurut catatan Bang Rusydi ada 118[4] buku diluar artikel dan makalah ada banyak tulisan karya orang lain tentang beliau. Di sini ada 22 buku yang baru terdata[5]. Artinya selain buku yang satu ini, sedang kita bahas, banyak sekali goresan kepribadian dan martabat Buya yang bagaikan intan berlian dan emas 24 karat menjadi pedoman bagi setiap warga dan anak bangsa. Namun, sebagian di antaranya telah terpendam di balik limbo sejarah dan kini entah di mana. Maka itu, saatnyalah sekarang kita menjemput mutiara yang hilang dan mari hadirkan kembali dalam jiwa, laku dan karakter. Buya adalah pribadi teladan, pribadi yang dirindukan. ***Saturday, March 4, 2017  

Spesifikasi Produk

SKU NA-193
ISBN 978-602-385-582-7
Berat 360 Gram
Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 404
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk