Ketersediaan : Tersedia

RAHMAN RAHIM CINTA

Deskripsi Produk

Maka puisi ini tak kumaksudkan sebagai khazanah sastra Sekadar supaya anak cucuku mengingatnya Bahwa orangtuanya benar belajar menjadi manusia .… Belajar menulis puisi, entah untuk apa--yang penting darinya saya juga bisa belajar menjadi manusia. Kelembutan puisi adalah faktor mendasar dan substansial dalam peradaban. Karenanya saat puisi tidak lagi punya tempat…

Baca Selengkapnya...

Rp 79.000

Rp 67.150

Maka puisi ini tak kumaksudkan sebagai khazanah sastra
Sekadar supaya anak cucuku mengingatnya
Bahwa orangtuanya benar belajar menjadi manusia .…

Belajar menulis puisi, entah untuk apa--yang penting darinya saya juga bisa belajar menjadi manusia.

Kelembutan puisi adalah faktor mendasar dan substansial dalam peradaban. Karenanya saat puisi tidak lagi punya tempat dalam dialektika sosial,  manusia akan “hilang”--dan negara, kebudayaan, serta agama, akan kehilangan manusia.

Di dalam sebuah kebudayaan, pun di semua peta interaksi kebudayaan dan politik, kemampuan dan tradisi untuk bersentuhan dengan kelembutan puisi sangat diperlukan. Lewat cara inilah  kemanusiaan akan  tetap terpelihara dalam khazanahnya. 

****

"Puisi-puisi Rahman Rahim Cinta--inilah persembahan Cak Nun sebagai sedekah budaya dan kemanusiaan kepada siapa pun yang bersedia mengapresiasinya."
~ Iman Budhi Santosa, Sastrawan

Tentang Emha Ainun Nadjib

Resensi

Pengantar Iman Budhi Santosa Kucuran Cinta Kasih Sayang pada Sesama dalam Puisi-Puisi Emha Tahun 2015 sewaktu majalah Sabana mengadakan bancakan kecil memperingati ulang tahun saya ke-67, Cak Nun berkenan memberi sambutan dengan mengulas puisi-puisi saya yang bertemakan kampung halaman. Judul tulisannya: “Kehidupan Iman, Kehidupan Puisi”. Kini, di tahun 2020 ketika Cak Nun genap berusia 67 tahun, ganti saya yang ketiban sampur membuat catatan seputar antologi puisi terbarunya: “Rahman Rahim Cinta”. Alhamdulillah, Tuhan telah berkenan memberikan berkah dan hidayah-Nya hingga kita masih bisa melangkah ke depan selama enam puluh tujuh tahun lebih .... Jujur, ketika mengapresiasi puisi-puisi Cak Nun maupun pengantar yang ditulisnya, mata saya sejenak menggerabak. Karena secara eksplisit mengingatkan bagaimana kisah anak-anak muda belajar menulis puisi di Malioboro lima puluhan tahun lalu. Sementara modal yang digenggamnya tak lebih dari sekadar tekad dan semangat untuk mencoba berkarya yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang pada manusia, kemanusiaan, dan alam semesta. Strategi yang diterapkannya pun hanya berwujud sinau bareng, beajar bersama yang dikomandani Mas Umbu Landu Paranggi. Namun, tak ada teori sastra dan keilmuan yang diajarkan. Maka, yang terjadi bertahun-tahun hanyalah belajar apa saja, di mana saja, kapan saja bersama siapa saja yang bersedia menjadi teman sahabat. Mau bergandengan tangan sebagai saudara, mau berbagi temuan-temuan kecil yang dipungut dari hidup kesehariannya. Risikonya, siang malam mereka seakan “mabuk”. Kerjanya hanya belajar menulis, menulis, dan menulis. Sementara yang dikejar bukan sekadar menulis puisi indah atau bagus. Melainkan berusaha mencari dan menemukan puisi yang memiliki keindahan, kebenaran, dan kebaikan sehingga bermanfaat bagi umat manusia. Jadi tidak mengherankan jika sekali waktu ditanya untuk apa habis-habisan belajar menulis puisi sampai mengabaikan bangku sekolah dan kuliah segala, jawabnya terasa mengambang dan aneh di telinga. Namun jujur, karena berangkat dari getar nurani terdalam yang dimiliki. Katanya: “Belajar nulis puisi itu entah untuk apa, yang penting saya belajar menjadi manusia ....” Lima puluh tahun kemudian saya benar-benar tak menyangka, bahwa fenomena itu dipaparkan secara indah oleh Cak Nun dalam puisi “Kapas dan Gravitasi”: Aku belajar sejak sekolah silaturahmi di Malioboro utara Kutempuh jalan sunyi menyusuri lorong-lorong belah kota Tak mau aku ditipu oleh keramaian sampai mulut menganga Meskipun hidupku perih karena banyak dilukai di dunia Nanti di garis finish kutantang kau bertatapan sorot mata Sudah lama kubuang semua yang kau kejar dengan bangga Di tanganku tergenggam emas sejati yang memancarkan cahaya Sedangkan dalam puisi “Setiap Huruf Keasyikan-Nya”, bagaimana inti menulis puisi dinyatakan oleh Cak Nun dengan rendah hati: Maka puisi ini tak kumaksudkan sebagai khazanah sastra Sekadar supaya anak cucuku mengingatnya Bahwa orangtuanya benar belajar menjadi manusia .… Mengapa belajar menulis puisi jadi seruwet itu, mari kita telisik sejenak ke belakang. Bahwa, nuwun sewu, sejak SD anak-anak memang sudah diajari membuat karya seni, seperti menggambar, menyanyi, menari (olahraga) di sekolah. Membuat lukisan pun, Tuhan sudah memberikan contoh nyata lewat bidang, warna, dan garis pada realitas penampakan alam semesta yang beraneka warna dan kaya nuansa. Demikian pula menyanyi. Kaitannya dengan bunyi irama, Tuhan juga sudah menyediakan contoh lewat kicau burung, suara angin, gemercik riak ombak, dan lain-lain. Kemudian tari dapat ditiru dari gerak binatang, liukan daun tertiup angin, gerak manusia, gerak awan mega di angkasa, gerak air sungai. Sementara apa contoh puisi yang merupakan paduan antara keindahan, kebenaran, dan kebaikan di dunia? Tak lain adalah teks ayat-ayat dalam semua kitab suci yang diberikan Tuhan kepada umat manusia lewat para nabi. Karena seluruh teks wahyu dalam kitab suci bukannya mirip prosa (cerita), tetapi menyerupai puisi. Maka, tidak mengherankan jika Cak Nun dalam antologi ini banyak mengunggah ajaran dari Al-Quran. Termasuk perihal semangat cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia yang menjiwai diri pribadinya. Pada puisi “Tidak Menggetarkan Jiwa”, hal itu dinyatakan dengan khusyuk: Aku mencintai manusia karena Tuhan mewajibkannya Dan sepenuhnya Ia sediakan bekal ilmu dan kesabarannya .…   Semangat cinta dan kasih sayang juga diteladani dari Rasulullah Saw. yang diungkapkan pada baris-baris puisi “Ummatî, Ummatî” yang berbunyi: Tak bisa kubayangkan ada cinta yang lebih suci Dari mulut Nabi yang meronta “Ummatî, Ummatî” Pada detik-detik menjelang mati   Tak bisa kubayangkan ada jiwa yang lebih murni Dari manusia yang surganya pasti Namun kerendahan hatinya tak tertandingi   Tak bisa kubayangkan ada manusia sejati Yang Tuhan membuatnya bisa membelah rembulan Tapi mencuci pakaian dan menjahit sandalnya sendiri   Wahai Nabi kekasih dan kerinduan hati Tidaklah cinta akan pernah benar-benar kuhayati Sampai tatkala aku menatap wajahmu nanti Pada khazanah peribahasa Nusantara ternyata ada pula cerminan manifestasi cinta dan kasih sayang pada umat manusia, seperti yang dilakoni Cak Nun dalam peribahasa Minahasa (Provinsi Sulawesi Utara). Bunyinya: sitou timou tumou tou. Artinya: seorang manusia menjadi manusia dalam perannya menghidupkan manusia lain. Peranan seseorang (tou) ialah “menjadi manusia”, serta mempunyai potensi untuk berkembang (timou), namun ia bertanggung jawab juga untuk menghidupkan (tumou) orang lain. Jelasnya, manusia harus mengembangkan potensi dan kualitas pribadinya untuk dapat mempunyai arti atau peranan yang signifikan dalam masyarakat. Sebuah tanggung jawab kemanusiaan yang perlu dijaga oleh setiap orang. Karena itulah, sejak muda ketika masih tinggal di Patehan, kemudian Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro, Cak Nun setiap hari ibarat terus “menulis dan berbagi puisi”. Wujud karyanya bisa berupa teks kebahasaan puisi, bisa “puisi nyata” (puisi konkret/ momentum puitik) berupa pengamalan cinta dan kasih sayang serta keterbukaan kepada siapa pun siang malam. Lantaran menurut Cak Nun, “Dalam pengetahuan sastra, yang disebut puisi itu terdiri atas susunan kata-kata, tetapi pada hakikatnya puisi bukanlah susunan kata-kata itu. Kata dan susunannya berperan mengindikasikan, mengantarkan, membukakan pintunya, atau merangsang olah batin menuju puisi. Membaca puisi adalah perjuangan ke ruang kedalaman jiwa, ke yang terlembut dari kehidupan dan manusia.” Maka, manakala karya-karya tulis tadi sudah final dan dibukukan, oleh Cak Nun benar-benar dipretensikan sebagai sedekah budaya dan kemanusiaan kepada siapa pun yang sedia mengapresiasinya. Dalam puisi “Yang Terlembut dari Kehidupan”, sebagian teksnya mengungkapkan mengapa Cak Nun terus menulis, khususnya puisi. Ternyata semangat kreatif menulisnya sama sekali bukan untuk menjadi penyair atau sastrawan, karena: Dengan menulis bukanlah aku sedang berkesenian Tetapi mengenali jiwa dalam kelembutan Tahap demi tahap mengenali cinta yang diwahyukan Agar manusia tidak terlalu dalam masuk dalam jebakan Sebagaimana beragama bukanlah menjadi tahanan Meringkuk di dalam penjara tafsir, mazhab, dan aliran Melainkan belajar mengenali yang terlembut dari kehidupan Sehingga terbiasa mensyukuri kehadiran Tuhan Jika sekali waktu Cak Nun menyampaikan kritik tajam menyengat kepada siapa pun, harus dipahami bukan karena benci atau sakit hati kepada yang bersangkutan. Melainkan lebih sebagai “manifestasi perasaan cinta dan kasih sayang” agar mereka sedia kembali menempuh jalan yang baik dan benar, jalan yang diamanatkan Tuhan dalam Al-Quran. Demikian pula ketika memberi pengajian serta nasihat terbuka kepada umat, berbagi ilmu serta belajar bersama dalam komunitas Maiyah, semuanya bersumber dari mata air cinta dan kasih sayang Emha yang tulus. Persis seperti disampaikan dengan runtut dalam puisi “Ibu Kandungku Cinta” pada baris yang berbunyi: Aku tidak mau membawa semua kata muluk-muluk itu ke dalam mimpi Aku tidak terpesona untuk jadi apa pun selain yang Tuhanku kehendaki Aku tidak tertekan oleh kebosanan, perasaan jijik, muak, dan benci Di dalam jiwaku Allah melimpahkan cinta azali yang kurawat dan kuuri-uri Cinta adalah ibu kandung kesabaran, ketabahan, dan ketahanan hati Sedang kaitannya dengan antologi ini, salah satu fenomena yang perlu dicatat dan diakui adalah betapa dalamnya Cak Nun menghayati cinta dan kasih sayang pada sesama dalam pribadinya yang secara eksplisit dinyatakan pada puisi “Cinta Ibunda (4)” dalam baris yang berbunyi: Bekal hidupku adalah rasa tidak tega Melihat siapa pun yang sedang menderita Yang kurasakan sebagai kehancuran di dalam dada Adapun ketika menemukan orang bahagia Rasa syukurku tak ada ujungnya Karena azab Allah serasa jauh di sana …. Selain ajaran cinta dan kasih sayang dari Tuhan dalam Al-Quran serta tuntunan hidup dari Rasulullah Saw., Cak Nun juga mengakui bahwa di masa lalu banyak mendapat bimbingan dan petunjuk nyata mengenai cinta dan kasih sayang pada sesama dari ibunda tercinta. Pada puisi “Cinta Ibunda (5)” dipaparkan lengkap bagaimana sang ibu mewedarkan ajaran cinta dan kasih sayang itu di masa kecil yang hingga kini akan terus diugemi, terus dijadikan azimat pribadi. Kutipan lengkap puisi “Cinta Ibunda (5)” itu sebagai berikut: Pengalaman hidupku sejak balita Adalah pendidikan cinta Ibuku amat sering mengajakku berkeliling Ke rumah-rumah orang miskin Tidak permisi melalui pintu depan Kami langsung ke dapur di belakang Karena di situlah jantung penghidupan Ibu langsung bisa menyaksikan Apakah keluarga itu masih bisa makan Ataukah terdapat situasi kelaparan Kemudian banyak yang Ibu tanyakan Apakah mereka masih punya pakaian Apa anak-anak masih disekolahkan Atau apakah hari itu mereka masih ada uang Ibuku adalah Ibu semua orang Ibuku dipanggil Ibu oleh setiap orang Ibuku sering menangis di perjalanan pulang Meskipun sejumlah sangu sudah ia berikan Ibu mengajariku rasa dosa kepada Tuhan Terutama kalau hanya sedikit orang Yang kita bisa kasih pertolongan Puisi “Cinta Ibunda (5)” benar-benar bukan hasil fiksi, bukan rekaan atau angan-angan, bukan khayal, bukan mimpi. Melainkan pengakuan tulus seorang anak sekaligus luapan rasa hormat atas bimbingan serta tuntunan hidup dari sang ibu. Tanpa tedeng aling-aling, Cak Nun menyatakan bahwa sebagai anak dia akan senantiasa menggenggam dan melaksanakan ajaran cinta yang diwariskan oleh ibu yang melahirkannya. Dengan tandas sikap tadi dinyatakan pada puisi “Cinta Ibunda (3)”: Cinta paling murni adalah cinta Ibu kepada bayinya Merawatnya seperti Malaikat menyangga alam semesta Berkorban nyawa demi sejahtera dan bahagianya Menghargai dirinya nol sedangkan bayinya tak terhingga Cinta yang paling rendah dan paling hina Adalah anak yang tidak mengabdi kepada Ibunya Setelah menghayati puisi-puisi Cak Nun dalam antologi ini, ingatan saya jadi melambung jauh ke masyarakat Sikka di Flores (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Di sana terdapat peribahasa yang berbunyi: diri nian tutur, depo tana doneng. Artinya: mendengar dunia berbicara, mengikuti tanah mengajar. Sebuah ungkapan unik, khas, dan puitis yang prinsipnya memberi nasihat agar bertingkah laku sesuai adat dan norma-norma yang berlaku di masyarakat seperti diwariskan oleh nenek moyang. Mengapa demikian? Karena puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini semua memuat ujaran dan ajaran mengenai keindahan, kebenaran, dan kebaikan yang layak diteladani sebagai pedoman dan tuntunan hidup kita sejak saat ini hingga akhir hayat nanti. Terakhir sekali, selamat untuk Cak Nun atas terbitnya antologi puisi ini.[] Yogyakarta, 25 Juli 2020  

Spesifikasi Produk

SKU NA-234
ISBN 978-623-242-191-2
Berat 250 Gram
Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 292
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk