Setelah beberapa kali menyelenggarakan perkumpulan pengajian yang membahas mengenai tafsir Al-Quran, Markesot mulai dibicarakan orang-orang. Mereka bertanya-tanya mengenai latar belakang ilmu agama yang dimiliki Markesot. Apalagi selama ini, dia tidak dikenal sebagai ulama, ustaz, maupun santri lulusan madrasah sekalipun.
Sementara itu, Markesot merasa berkecil hati. Ia bertanya-tanya apakah manusia biasa seperti dirinya memang tidak diperbolehkan memesrai Al-Quran dengan cara yang demikian? Mana mungkin seseorang hanya membaca Al-Quran dengan bibirnya, tanpa hati dan pikirannya ikut terlibat? Sengaja atau tak sengaja, meniati atau tidak, hati langsung bergetar dan akal langsung bekerja, pikirnya.
***
Melalui kisah Markesot, Emha Ainun Nadjib “menggandeng” kita untuk memiliki jati diri seorang pembelajar: manusia yang terus mencari kebenaran, tanpa pernah sekalipun merasa paling benar terhadap penafsirannya sendiri.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Allah padanya, tergetar hatinya, dan jika dilantunkan ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya.” (QS Al-Anfal: 2)
... ini bukan soal Islam atau apa pun papan nama yang biasa disematkan orang yang mengurung diri dalam kotak identitas itu. Ini soal pembelajaran dan latihan cara berjalan, meneliti ketepatan jalan. Kita pastikan arah perjalanan hidup kita adalah fi sabilillah. Kemudian, kita utamakan meletakkan kendaraan jasad kita di syariatul-Ilah. Lantas, pastikan menemukan getaran hariqatu-hubbillah. Dan, akhirnya waspada terhadap presisi as-shirat al-mustaqim ilallah.
Membaur ke dalam Daur
Mahmud Budi
13 Okt 2017 • Dibaca normal 2 menit
Bagi generasi Maiyah yang hidup di era digital, mendapat kesempatan yang begitu spesial. Pasalnya, tulisan-tulisan gress Mbah Nun, bisa dinikmati kembali di website caknun.com. Rubrik ?Daur? misalnya ?yang ditulis sejak tahun 2016 rutin setiap hari bahkan sudah dibukukan, adalah tulisan esai berisi topik beragam, dan sarat nilai mendalam.
Hanya saja, tulisan-tulisan dalam Daur tidak memberikan nilai secara instan. Contohnya Mbah Nun mengingatkan:
?…engkau kukasih pelok, bukan mangga.? Dengan demikian bagi setiap pembaca, jika ingin menggali subtansinya, benar-benar harus membaur ke dalam daur, agar kedalamannya bisa terukur.” –Daur 17 – Darurat Aurat (2)
Bagaikan memahami Al-Qur`an, jika hendak mengetahui tentang sapi, maka tak harus dicari di Surah Al-Baqarah; memahami gajah tak harus mendalami Surah Al-Fiil; mengetahui tentang lebah, tak mesti menelaah Surah An-Nahl; demikian juga ketika orang hendak meneliti tentang semut, tak harus mentadabburi Surah An-Naml. Demikian seterusnya. Tulisan dalam bentuk seperti ini memang tidak langsung bisa dinikmati, tapi tidak membuat pikiran mati.
Meski tidak bisa dipahami secara instan, bukan berarti makna yang ditulis Mbah Nun dalam Daur membuat para pembaca bosan. Dengan gaya penulisan yang cerdas, mengalir, lincah, deskriptif, hidup, serta diperkaya dengan diksi-diksi memikat dan tokoh-tokoh imaginer seperti: Markesot, Jitul, Saimon, dan lain sebagainya, membuat Daur semakin dirindukan dan membuat penasaran. ?Mengerti atau tidak, kalau sehari tidak membaca Daur kok rasanya tidak enak,? begitu kira-kira yang berkesan setelah membaca Daur.
Kadang pembaca diajak berpikir mengenai silang-sengkarutnya negara dengan segenap masalahnya, di waktu lain diajak mengenai pembahasan-pembahasan yang terkesan remeh dalam fenomena keseharian, tapi sebenanya fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Uniknya, semua topik yang ditulis, baik dari yang paling susah maupun yang mudah, semua pada dasarnya berjalin-kelindan, berhubungan, bagai suatu lingkaran.
Dengan pola demikian, Daur memiliki keistimewaan tersendiri bagi pembaca. Sebagai bacaan, ia bukan sekadar menarik perhatian, tapi juga mencerahkan; tidak menggurui, tapi mengajak pembaca berpikir mandiri. Bukan sekadar berwacana, tapi mengajak mencari solusi bersama. Tidak membuat harapan seseorang redup, tapi semakin hidup. Tidak membuat orang berpikir statis, tapi dinamis. Tidak membuat jauh dari kebenaran, tapi justru bersama-sama mencari kebenaran sejati Tuhan, dan lain sebagainya.
Sepanjang membaca Daur I dan II (yang penulisannya masih berjalan hingga saat ini), memang subtansi dan keistimewaan itu tetap tersaji. Namun, bagi yang rajin membaca Daur hingga sekarang, Daur II memiliki pola yang lebih unik. Bila di Daur I, Cak Nun amat jarang –?kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak– mengutip ayat dan hadits di setiap tulisannya. Maka di Daur II, selalu disisipi dengan ayat Al-Qur`an atau Hadits. Bukan berarti Daur I subtansinya terlepas dari cara pandang nilai Al-Qur`an dan Hadits, tapi Daur II, membuat pembaca ?seakan lebih diajak memahami setiap permasalahan dilandasi dengan metode tadabbur yang berlandaskan Al-Qur`an dan Hadits.
Kebanyakan Kaum Muslimin hari ini, entah karena atmosfer pendidikan keIslaman yang bagaimana: semakin tidak ?merasa memiliki? Al-Qur`an secara langsung dan otentik pada dirinya masing-masing maupun bersama-sama sebagai Ummat. Mereka tidak berada dalam hubungan primer dengan Kitab Suci yang mereka yakini.?” –Daur II-242 – Tidak Percaya Diri Terhadap Al-Qur`an
Dari sini bisa dicermati, mungkin kesimpulan saya salah. Pola yang dipakai Mbah Nun pada Daur II seakan menawarkan metode lebih tegas kepada pembaca agar melihat segala sesuatu dengan kembali kepada pandangan Al-Qur`an, yang metodenya dengan tadabbur.
Dengan bahasa lain, menerapkan iqra` pada setiap ayat baik tersurat maupun tersirat atau fenomena apa pun dengan ?ainillah (cara pandang Allah) bukan dengan cara pandang manusia yang dha?if. Lebih dari itu, juga tidak lepas dari bimbingan dan gondhelan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘?alaihi wasallam. Wallahu a?lam.
sumber: https://www.caknun.com/2017/membaur-ke-dalam-daur/