Dari mana asalku?
Apa tugasku dalam kehidupan dunia ini?
Ke mana aku pergi setelah mati?
Serentetan pertanyaan tersebut, sering kali terlintas di benak kita. Bahkan, berbagai pertanyaan dasar kehidupan lain, selalu menjadi misteri sejak dahulu.
Dalam buku ini, Sayyid ‘Abdullah al-Haddâd, ulama besar Hadramaut, ahli dakwah, dan sufi abad ke-16, menawarkan jawabannya menurut pandangan Islam—berdasarkan Al-Quran, hadis-hadis Nabi, dan berbagai pendapat para ulama terkenal.
Penulis membahas lima tahap keberadaan manusia sejak sebelum dilahirkan, saat hidup di dunia yang fana, ketika berada di Alam Barzakh, di Padang Makhsyar, hingga hidup di negeri yang kekal—dalam kenikmatan surga atau dalam kepedihan neraka. Dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini membantu kita menemukan tujuan hidup sejati sekaligus memperkuat iman keislaman.
Kata Pengantar
Beberapa pertanyaan sering kali terlintas dalam pikiran seorang Muslim: “Di mana aku sebelum dilahirkan?” “Apa tugasku dalam kehidupan dunia ini?” “Ke mana aku pergi setelah mati?”
Buku ini, salah satu karya seorang ulama besar, ahli dakwah dan sufi Sayyid ‘Abdullah bin Alwi al-Haddâd, memberikan jawaban yang cukup terperinci atas pertanyaan di atas, yakni tentang manusia dalam perjalanan hidupnya yang panjang, sebelum dilahirkan ke dunia, hidup di dalamnya, kemudian meninggalkannya melalui mati dan akhirnya dibangkitkannya kembali di alam lain. Semuanya ini diuraikan berdasarkan Al-Quran dan hadis Rasulullah Saw. serta pendapat beberapa ulama terkenal. Bagi Anda yang telah selesai membacanya, akan tampak bahwa penyusunnya adalah seorang tradisionalis yang, jika bukunya ini dibaca dalam setting waktu empat abad yang lalu pada saat ditulisnya, akan merupakan suatu bahan yang unik di tengah kecenderungan pemikiran modern di kalangan kaum Muslimin zaman ini. Kendatipun demikian, suatu pengantar mengenai beberapa aspek pembahasan yang diungkapkan dalam buku ini perlu diberikan, antara lain sehubungan dengan pemakaian hadis sebagai sumber, khususnya dalam soal-soal ghaybât.
Mengenai Al-Quran, tidak seorang pun yang mengaku Muslim akan meragukan bahwa isinya benar dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Meliputi segalanya. Demikian pula halnya dengan keterangan-keterangan dari Rasulullah Saw. yang selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, baik dalam ucapan maupun tindakannya. Hanya saja, disebabkan ucapan-ucapan Rasulullah Saw. tidak dicatat secara teliti di masa hidupnya seperti yang telah dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Quran, maka timbullah beberapa persoalan di sekitar kedudukan hadis-hadis beliau, baik yang bersangkutan dengan aqîdah (ihwal keimanan) ataupun syarî‘ah (hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya atau dengan sesamanya). Dan mengingat bahwa aqîdah adalah pokok agama, para ulama menetapkan bahwa sumber pengambilannya haruslah mutawâtir dan qath‘iy (yakni, diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tepercaya dan tidak diragukan sedikit pun keautentikan dalam hal sumbernya dan juga dalam hal makna yang dikandungnya). Dalam kenyataannya, persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh ayat-ayat Al-Quran, sedangkan kebanyakan hadis yang beredar sekarang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang (hadis âhâd) sehingga sulit untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut. Hadis Nabi Saw. mengenai aqîdah ini paling-paling dapat dianggap hanya sebagai penunjang dan penjelas bagi ayat-ayat Al-Quran.
Menurut beberapa peneliti, para ahli hadis seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya sudah banyak sekali berjasa dan berdaya-upaya mengumpulkan, mencatat, dan meneliti hadis-hadis yang mereka sebutkan dalam kitab-kitab mereka. Namun, sayangnya, perhatian mereka lebih banyak ditujukan kepada rangkaian sanad (mata-rantai perawi) yang menghubungkan hadis sampai kepada sahabat Nabi Saw. (yakni, semua orang yang dalam keadaan Muslim pernah berjumpa dengan Nabi Saw. di masa hidup beliau dan meriwayatkan ucapan atau perbuatannya, dan orang itu tetap dalam keislamannya sampai ia meninggal dunia). Kurang sekali dilakukan pembahasan mendalam mengenai isi hadis itu sendiri dan relevansinya dengan Nabi Saw. serta situasi, kondisi, dan latar belakang diucapkannya hadis itu oleh beliau. Juga, kebanyakan ahli hadis itu terlalu “berbaik sangka” kepada setiap yang disebut sebagai “sahabat Nabi Saw.” dan kurang memperhitungkan segi kepribadian masing-masing sebagai manusia biasa yang saling berbeda dalam hal kejujuran, keikhlasan, keadilan, kekuatan daya ingat serta inteligensianya. Kendati tidak bisa diingkari bahwa usaha seperti ini ada juga dilakukan, namun dalam kenyataannya, para pengamat masih melihat tidak sedikit perawi hadis, baik dari kalangan para sahabat ataupun mereka yang datang kemudian, yang di-shahîh-kan riwayatnya, padahal sangat diragukan kredibilitasnya masih banyaknya ulama yang merasa tabu untuk meragukan atau mengecam seseorang yang termasuk “sahabat Nabi Saw.” karena menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang adil, tulus, jujur, dan oleh karena itu harus diterima riwayat dan ucapannya.
Demikian pula mengenai pribadi-pribadi perawi yang datang kemudian, yaitu para tabi‘în dan sesudah mereka, yang menghubungkan seorang perawi dengan perawi lainnya, keadaannya lebih rumit lagi karena jumlah mereka yang sangat banyak, tempat kediamannya yang amat berjauhan, serta kecenderungan mereka masing-masing yang sering kali amat bertentangan, sehingga tidak mudah menilai mereka satu per satu.
Masalah ini, yakni menguatkan atau melemahkan seorang perawi, memang merupakan hal yang paling sulit, sebab mustahil pengetahuan kita mampu menyelami rahasia hati seseorang. Terhadap orang yang berbuat salah secara terang-terangan, mudah bagi kita untuk memberi penilaian. Tapi, bagaimana dengan yang tersembunyi? Selain itu, adalah wajar pula bila seorang ahli hadis memercayai seorang perawi, namun yang lainnya tidak, semata-mata karena berbeda atau bertentangan dalam mazhab (aliran) atau kecenderungan pribadinya!
Halnya menjadi sulit lagi bila diingat bahwa para ahli itu membolehkan penuturan suatu hadis dengan “maknanya” saja dan tidak harus dengan susunan kata-kata aslinya dari Nabi Saw., sebab memang tidak ada atau mungkin sedikit sekali hadis yang tercatat dengan rapi. Hal ini, antara lain, disebabkan adanya perintah beliau untuk “tidak menuliskan ucapan-ucapan beliau (mungkin karena khawatir akan tercampur dengan Al-Quran), dan barangsiapa telah telanjur menuliskannya, hendaknya ia menghapusnya kembali.” (Dari sebuah hadis sahih riwayat Muslim). Ketentuan yang dibuat oleh para ulama ini telah memberi peluang bagi adanya interpretasi atau penafsiran si perawi hadis itu sendiri mengenai apa yang diriwayatkannya. Dan hal ini sudah tentu tidak bisa dipisahkan dari sifat-sifat pribadinya, kekuatan ingatannya, kadar kecerdasannya serta kecenderungannya. Terutama dalam hadis-hadis tarhîb (yang mempertakuti orang dengan hukuman Allah), targhîb (yang menganjurkan orang berbuat kebajikan guna memperoleh pahala Allah), dan juga dalam hadis-hadis tentang ghaybiyyât atau sam‘iyyât (yang memberitakan tentang alam gaib) seperti apa-apa yang akan terjadi di dalam kubur, tentang Alam Barzakh, Hari Kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Di samping itu, masih ada pula hadis-hadis yang diragukan kebenarannya, yang biasa dijuluki hadis Isrâ’iliyyât (bersumber dari dongeng-dongeng kaum Yahudi), dan Nashrâniyyah (bersumber dari kaum Nasrani).
Namun, tidak sedikit kalangan ulama yang bersikap memaafkan dan tidak keberatan memasukkan hadis-hadis dha‘îf (yang lemah dan diragukan) ke dalam buku-buku mereka terutama untuk apa yang biasa disebut fadhâ’ilul a‘mâl (amalan-amalan kebajikan) atau raqâiq (ungkapan-ungkapan yang menyentuh hati dan melembutkan jiwa). Kita dapat menjumpai banyak hadis seperti ini dalam kitab-kitab yang membahas tentang akhlak dan peningkatan jiwa.
Betapa pun juga, bukanlah maksud kami untuk mengecilkan arti hadis-hadis yang tercantum dalam buku-buku kumpulan hadis sekarang ini, sebab kami pun berkeyakinan bahwa di samping yang diragukan, masih lebih banyak lainnya yang hasan (baik) dan shahîh (benar). Hanya saja, kita harus berhati-hati dalam menerima atau menolak suatu hadis. Apabila merasa ragu, kembalikanlah hal itu kepada Al-Quran dan prinsip-prinsip Islam yang umum dan jelas.
Terutama dalam soal-soal ghaybiyyât, tidaklah mungkin kita hanya mengandalkan akal saja tanpa memercayai apa yang memang seharusnya dipercayai, yaitu firman-firman Allah Swt. dalam Al-Quran “yang tiada keraguan padanya” sebab seluruh ayatnya telah sampai kepada kita secara mutawâtir dan qath‘iy. Demikian pula sabda Nabi Saw. yang shahîh dan sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan, yang menjelaskan tentang apa-apa yang telah disebutkan garis besarnya oleh Al-Quran dengan alasan tidak bisa dicerna dan dijangkau oleh akal dan pancaindra, selain menjerumuskan ke dalam kekufuran (semoga Allah memelihara kita darinya), juga menunjukkan kepicikan akal itu sendiri. Ketidaksanggupan akal dan pancaindra untuk menjangkau sesuatu tidak berarti, dengan sendirinya, hal itu pasti tidak ada.
Prof. Dr. Ahmad Baiquni, dalam bukunya Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, menulis antara lain:
“Kita sebagai Muslim percaya bahwa ada alam lain kecuali fisis ini. Namun, di dunia masih banyak orang yang tidak mau percaya tentang adanya apa saja yang tidak dapat mereka indrakan. Bagi mereka, apa yang tidak dapat mereka tangkap dengan pancaindra, mereka anggap tidak ada. Orang-orang ini, mestinya secara konsekuen tidak menganggap adanya gelombang-gelombang elektromagnetik seperti gelombang radio, televisi, radar dan sebagainya, karena gejala ini tak dapat mereka indrakan: begitu pula gejala-gejala alam lainnya yang tidak dapat mereka tangkap dengan salah satu pancaindra akan mereka anggap tidak ada. Anggapan semacam ini selain picik juga bertentangan dengan kenyataan bahwa di dalam dunia modern ini dipergunakan pesawat-pesawat telekomunikasi yang operasinya justru bertumpu pada pengiriman dan penerimaan isyarat-isyarat melalui gelombang-gelombang elektromagnetik tersebut.
Dalam abad atom dan elektronik ini ada pula orang-orang yang berpendirian bahwa mereka hanya dapat menerima kebenaran sesuatu bila ia dapat masuk akal mereka atau dapat mereka nalar. Orang-orang ini, yang ingin menggunakan akal pikiran saja untuk menerima kebenaran sesuatu yang ditemukan dalam hidup mereka, tanpa menggunakan unsur kepercayaan, akan menjumpai banyak hal yang berada di luar jangkauan akalnya; karena memang kemampuan akal seseorang sangat terbatas, bergantung pada latar belakang pengalamannya.”
Ada suatu pertanyaan yang sering dilontarkan sebagian orang, yaitu mengapa penggambaran surga, neraka, dan alam gaib di dalam Al-Quran sama bersifat indriawi seperti yang biasa dialami dalam hidup kita sehari-hari? Mengapa kenikmatan surga, misalnya, selalu digambarkan dengan ungkapan-ungkapan seperti: “taman-taman indah yang dialiri sungai-sungai, bidadari-bidadari cantik jelita, piala-piala berisi minuman lezat, rumah-rumah megah terbuat dari permata baiduri ...,” dan seterusnya? Mengapa kesengsaraan di Hari Kemudian selalu digambarkan sebagai “api yang menyala-nyala membakar dan menghanguskan tubuh, minuman di dalamnya berupa besi meleleh dengan pengait-pengait yang mengerikan, dan seterusnya?”
Pada hakikatnya, Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah Saw. menyebutkan bahwasanya Allah Swt. menyediakan bagi hamba-hamba-Nya yang taat, kebahagiaan dan kenikmatan yang “belum pernah disaksikan mata, belum pernah didengar telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam hati seseorang”. Namun amat sulit, bahkan mustahil, orang akan mampu membayangkan sesuatu tanpa menghubungkannya dengan sesuatu lainnya yang pernah dikenalnya. Sedangkan Al-Quran diturunkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang menerimanya waktu itu, bahkan sesuai pula dengan kondisi (kebanyakan) manusia sepanjang zaman, untuk dimengerti oleh mereka, dengan bahasa yang mereka pahami. Itulah sebabnya Allah Swt. menggambarkan kenikmatan surga atau penderitaan neraka dengan ungkapan-ungkapan dan sifat-sifat seperti yang kita lihat.
Jika kita ingin berkata jujur dan terus terang, secara pasti dapat dikatakan bahwa sekarang pun, setelah empat belas abad berlalu sejak diturunkannya Al-Quran, dan sampai kapan pun, tidak mungkin seseorang mampu membayangkan suatu bentuk kenikmatan yang sama sekali asing dari apa yang telah digariskan oleh Al-Quran. Namun bila seseorang mengkaji Al-Quran secara lebih mendalam, niscaya akan dijumpainya juga, di samping berita-berita tentang kenikmatan-kenikmatan jasmani di akhirat yang akan dianugerahkan kepada kaum Mukminin kelak, jauh lebih sempurna daripada di dunia; di samping itu semua, masih ada lagi kenikmatan ruhani yang amat agung yang sama sekali tidak dapat dibayangkan dengan akal manusia yang terbatas ini. Demikian pula tentang azab jasmani dan ruhani bagi kaum pengingkar dan pembangkang.
Perhatikanlah ayat-ayat yang memberitakan tentang kenikmatan yang hanya bisa dirasakan secara ruhani seperti ini:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan amal-amal saleh, Allah Maha Pemurah akan mengaruniai mereka kasih sayang .... (QS Maryam [19]: 96)
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqîn, para syuhada, dan para shâlihîn. Dan mereka itulah sebaik-baik kawan karib. (QS Al-Nisâ’ [4]: 69)
Atau ayat-ayat yang padanya terkandung kedua kenikmatan, ruhani dan jasmani, dan jenis inilah yang lebih sering dijumpai dalam Al-Quran:
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai; di tempat kediaman segala yang benar, di sisi Tuhan Yang Mahakuasa .... (QS Al-Qamar [54]: 54-55)
Sesungguhnya penghuni surga bersenang-senang dalam kesibukannya. Mereka dan istri-istri mereka di bawah keteduhan (pepohonan yang rindang) bersandar di atas dipan-dipan. Bagi mereka ada bebuahan di dalamnya dan mereka memperoleh apa saja yang mereka minta. (Dan kepada mereka dikatakan:) “Salam”, sebagai sapaan dari Tuhan Yang Maha Penyayang .... (QS Yâ Sîn [36]: 55-58)
Di hari itu kaulihat kaum Mukminin dan Mukminat, cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. “Berita gembira bagi kamu hari ini! (Yaitu pahala berupa) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai tempat kediaman yang kekal. Itulah keberuntungan yang amat besar ....” (QS Al-Hadîd [57]: 12)
Atau ayat-ayat yang mengandung berita tentang azab yang bersifat ruhani saja:
Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepada kamu (hai orang kafir) akan siksa yang amat dekat, pada hari manusia akan melihat apa yang pernah dilakukan tangannya, dan orang kafir akan berkata: “Ah, celaka aku ... sekiranya aku dahulu hanya tanah debu!”
Dan seandainya kamu melihat kehinaan mereka (orang-orang kafir) ketika dihadapkan kepada Tuhan mereka. (Ketika) Allah berfirman: “Bukankah (kebangkitan) ini haqq?” Mereka menjawab: “Ya, benar, demi Tuhan kami.” Maka Allah berfirman: “Karena itu rasakanlah azab ini, disebabkan kamu dahulu telah mengingkarinya.” (QS Al-An‘âm [6]: 30)
Dan ayat-ayat azab yang mencampurkan antara yang bersifat jasmani dan ruhani, seperti:
Dan bagi orang-orang kafir Neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak pula diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat ingkar. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal-amal saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan (di dunia).” Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? Dan apakah tidak datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Kini rasakanlah! Dan tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. (QS Fâthir [35]: 36-37)
Peganglah ia kemudian seretlah ke tengah-tengah neraka! Tuangkanlah di atas kepalanya siksaan air yang amat panas! (Katakan padanya:) “Rasakanlah! Sungguh kamu orang perkasa lagi mulia! Ini adalah azab yang dahulu kamu ingkari ....” (QS Al-Dukhân [44]: 47-50)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat seperti itu. Namun di atas segalanya, masih ada lagi kenikmatan puncak yang takkan terbayangkan dan takkan dialami kecuali oleh orang-orang Mukmin di akhirat, yaitu “memandang wajah Allah Swt.” (Tentunya dengan cara yang lain sama sekali dengan pandangan mata pada sesuatu yang bersifat indriawi seperti dalam kehidupan dunia), sebagaimana disebutkan pada bagian akhir buku ini.
***
Dengan ini saya telah mencoba mengantarkan Anda memasuki pokok pembahasan buku ini tentang berbagai keadaan yang melingkungi kehidupan manusia sejak sebelum dilahirkan hingga mengakhiri perjalanannya di akhirat.
Perlu kiranya saya jelaskan bahwa buku karangan Sayyid ‘Abdullah bin Alwi Al-Haddâd ini sudah pernah diterjemahkan oleh Syed Ahmad Semait ke dalam bahasa Melayu (Malaysia) dengan judul Peringatan tentang Umur Insan yang, walaupun serumpun dengan bahasa Indonesia, banyak kata-katanya sering kali memiliki konotasi yang berlainan, karena itu dapat menimbulkan pengertian yang berbeda bagi pembaca yang belum terbiasa dengan bahasa Melayu. Karena itu, beberapa kawan telah meminta kepada Penerbit Mizan untuk mengindonesiakannya agar lebih tersebar luas dan dapat dinikmati oleh lebih banyak pembaca Indonesia. Hal ini telah dilaksanakan dengan baik oleh saudara Ahmad Muhajir. Kemudian, kepada saya telah diminta untuk menyuntingnya kembali, mencocokkannya dengan naskah aslinya yang berbahasa Arab, serta membuatkan Kata Pengantar ini.
Ada pula suatu hal yang ingin saya jelaskan di sini. Dalam naskah aslinya, hadis-hadis Nabi Saw. yang dinukil tidak disertai keterangan nama-nama perawinya. Hal ini bukan merupakan suatu yang khusus pada buku ini saja, tapi sudah menjadi kebiasaan yang berlaku pada masa-masa lalu seperti yang dapat dilihat dalam karangan-karangan Imam Ghazali, antara lain, karya besarnya Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, yang kira-kira tiga abad kemudian (yaitu, abad VIII H.) baru diberi anotasi nama-nama perawi hadisnya oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqiy. Demikian pula karya-karya penulis terkenal lainnya, seperti Ibnu Taimiyah.
Menurut dugaan saya, hal ini disebabkan oleh banyaknya kaum Muslimin di masa-masa itu tidak merasa perlu sekali untuk mengetahui nama para perawi hadis-hadis yang disebutkan atau diajarkan oleh guru-guru mereka masing-masing. Justru penuturan dan ajaran sang guru yang telah mereka kenal benar-benar kejujuran, ketulusan, kesalehan serta kealimannya itulah yang lebih patut dipercaya dan lebih layak untuk diikuti, daripada berbagai keterangan para perawi hadis betapa pun terkenalnya, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Imam Ahmad, dan lainnya, ataupun penyusun buku-buku yang mungkin menjadi rujukan sang guru itu sendiri. Di kalangan sementara para siswa dan penuntut ilmu beredar sebuah pameo yang berbunyi kira-kira: “Barangsiapa
menjadikan buku sebagai (satu-satunya) guru baginya, niscaya salahnya lebih banyak daripada benarnya!”
Namun, demi kepentingan para pembaca Indonesia, saya telah berusaha mengumpulkan nama-nama perawinya dengan menelitinya dari berbagai buku kumpulan hadis. Karena sempitnya waktu dan terbatasnya buku-buku referensi, saya tidak berhasil menemukan seluruh nama-nama itu. Meskipun demikian, mudah-mudahan usaha saya ini bermanfaat bagi yang berkepentingan.
Wa billâhit-taufîq wal-hidâyah.[]
Bandung, 20 Rabiul-Awal 1404 H
Muhammad al-Baqir