Selama ini belum ada satu pun buku yang mengulas pemikiran Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi secara sistematis dan lengkap, dalam bahasa Indonesia. Buku ini adalah pengantar kepada pemikiran-pemikiran yang mendalam dan luas bak samudra dari ’Arif yang satu ini. Selain mendapatkan gambaran umum dan relatif lebih mudah dipahami, mendalam, dan akurat, pembaca tetap dapat menikmati menu “Ibn ‘Arabi sehari-hari” yang dihidangkan di dalamnya. Di sana-sini bertebaran ceceran hikmah yang mencerahkan jiwa dan pemikiran, serta menuntun kepada pemahaman tentang berbagai misteri kehidupan kita. Judul Semesta Cinta merujuk pada titik pusat pemikiran Ibn ‘Arabi mengenai cinta sebagai sumber pemahaman tentang Islam, dalam segenap aspeknya, sekaligus menjadi konteks seluruh pembahasan dalam buku ini.
ENDORSMEN
“Sumber tak ternilai tentang Ibn ‘Arabi dalam bahasa Indonesia . Menampilkan secara sistematis, akurat, dan berdasar sumber-sumber primer, wajah sejati Ibn ‘Arabi yang sepenuhnya diilhami syari‘ah ....”
—Dr. Abdul Aziz Abbaci, Pengajar ‘Irfân
“(Pemikiran Ibn ‘Arabi), yang diantarkan buku ini, adalah hadiah bagi manusia modern yang amat butuh pemahaman Islam yang setia pada syari‘ah, Al-Quran dan Hadis, serta berporos pada ajaran dasar Islam tentang cinta.”
—Dr. Eric Winkel, Ahli Ibn ‘Arabi dari Amerika Serikat, Penerjemah Al-Futûhât al-Makkiyyah
Nukilan Buku
Ketertarikan saya kepada Ibn ‘Arabi berkembang secara bertahap. Saya tak ingat persis kapan hal ini bermula. Tapi, saya ingat mendengar secara sepotong-sepotong gagasan-gagasan Syaikh Agung ini, dan merasakan bukan hanya pencerahan-pencerahan darinya, melainkan relevansi yang luar biasa terhadap pertanyaan-pertanyaan hidup kita.
Ibn ‘Arabi dan relevansi sehari-hari? Bagi sebagian orang, tak ada yang bisa lebih jauh lagi dari Ibn ‘Arabi dan kehidupan sehari-hari. Pemikiran Ibn ‘Arabi adalah filsafat yang paling tinggi, filsafat keilahian, filsafat yang paling berat dan “gelap”. Para ahli pun tak berani menyatakan diri memahaminya. Belum lagi sifat sangat tidak ortodoks (baca: tidak sejalan dengan mainstream) dan kontroversi dahsyat yang diciptakannya. Tapi, saya ingat betapa menarik jawaban Ibn ‘Arabi terhadap pertanyaan: Kenapa semua orang mencintai bayi? Karena, bayi adalah makhluk yang paling dekat dan paling merepresentasikan Allah—Kekasih Sejati kita—yang merupakan sumber keberadaannya. Saya juga terpikat benar dengan pencerahannya tentang barzakh yang kehidupan di dalamnya mirip mimpi. Yang siksa di dalamnya bak mimpi buruk di kehidupan dunia, sementara kenikmatannya bermakna mimpi indah luar biasa. Juga, penyingkapannya tentang neraka sebagai “ciptaan” (persepsi) jiwa-sakit kita akan sesuatu yang asalnya kenikmatan belaka. Yakni, gagasannya tentang azab (‘adzab) sebagai ‘adzib (rasa manis). Dari sini, terciptalah love affair saya dengan Ibn ‘Arabi.
Memang, meski menjadikan Mullâ Shadrâ— seorang sufi juga, tapi sering lebih filosofis—sebagai topik disertasi saya, temperamen pemikiran saya memang selalu lebih terpikat kepada sesuatu yang “basah”, yang intuitif, yang otak kanan, dan bukan yang kering, logis-analitis, dan serba otak kiri. Pemikiran Ibn ‘Arabi adalah semuanya itu, dan banyak lagi. Di atas semuanya itu, makin jauh saya berkelana ke dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, makin terasa saya berada di tengah mayapada yang menjanjikan hampir-hampir semacam kumpulan pengalaman religius. Satu setelah yang lain, yang di dalamnya banyak misteri puncak kehidupan seperti disingkap, satu-satu. Tentang Tuhan, tentang alam, tentang manusia, dan tentang kariernya serta karier seluruh unsur alam semesta, sejak bermulanya hingga berakhirnya
Maka, saya pun tertarik untuk menulis sebuah buku—sederhana seperti biasa—yang berjudul “Semesta Cinta; Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi”, dengan maksud memaparkan gagasan-gagasannya yang menguak misteri dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar hidup kita di muka bumi. Tapi, dalam upaya menyelenggarakan maksud saya itu, saya pun mencoba belajar pemikiran Syaikh ini secara lebih sistematis, sedapat mungkin akurat, tapi pada saat yang sama tak terlalu ekstensif. Waktu saya terbatas, dasar-dasar ilmu saya juga terbatas, dan tujuan saya pun terbatas.
Sampai suatu saat Tuhan “mengirimkan” seorang guru kepada saya. Maka saya pun belajar membaca langsung buku-buku Ibn ‘Arabi dan beberapa buku terkait, seperti Manâzil al-Sâ’irîn, karya Khwaja Abdullah al-Anshari dari Herat, dari guru yang telah belasan tahun belajar hikmah, termasuk ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini. (Sebagai informasi tambahan, buku yang saya sebut di atas ini, oleh seorang sufi lain, pernah disebut sebagai pembimbing kita ke jalan tasawuf jika kita tak mendapati seorang Syaikh untuk membimbing kita. Masih terkait dengan ketiadaan Syaikh ini, saya terhibur, dan menjadi lebih berani belajar Ibn ‘Arabi ketika diberi tahu bahwa seorang sufi besar, Abdul Karim al-Jili—dengan menukil al-Jabarti—justru menganjurkan orang belajar dari membaca langsung buku-buku Ibn ‘Arabi, meski belum menjalani laku tasawuf.)
Sebagaimana saya tak bermaksud menjadikan diri saya ahli pemikiran Ibn ‘Arabi, terlebih lagi saya tak ingin menjadikan pembaca saya ahli Ibn ‘Arabi pula. Tepatnya, bukan saya tak ingin, tapi saya tak bisa—kalaupun saya ingin. Apalagi, ke mana-mana saya katakan, saya bukan ahli filsafat dan tasawuf dan, kalaupun bisa menjadi demikian, maksud saya bukanlah untuk menyumbang pada wacana akademik. Saya ingin melakukan transformasi atas diri saya, dan membaginya dengan orang lain. Bagi saya, ujung pemikiran dan gagasan apa pun, sedalam-dalamnya ia, adalah mengubah orang, menjadikannya manusia yang lebih baik. Saya, bahkan ketika berbicara filsafat dan ‘irfân—tasawuf teoretis—adalah tetap seorang aktivis. Keinginan saya akan perubahan dan transformasi manusia dan kehidupan, tetap saja lebih besar dari minat- akademis saya. Maka, seperti buku-buku sederhana saya yang lalu, penulisan buku ini mengambil bentuk pengantar—ikhtisar—kepada pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi yang dalam dan luas bak samudra. Di sana-sini saya coba tebarkan ceceran hikmah dahsyat yang diwariskan pemikirannya. Dengan harapan, selain mendapatkan gambaran umum—sedapat mungkin lengkap dan tidak kehilangan kedalaman— pembaca tetap dapat menikmati “Ibn ‘Arabi sehari-hari”. Toh, setahu saya, belum ada satu pun buku yang mengulas pemikiran Syaikh ini secara relatif sistematis dan lengkap dalam bahasa Indonesia. Setidaknya dalam hal kecil ini, diharapkan buku Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi ini memiliki fungsinya sendiri. Judul utama buku ini merujuk pada titik pusat pemikiran Ibn ‘Arabi tentang cinta sebagai sumber pemahaman kita tentang Islam, dalam segenap aspeknya.
Selain itu, saya merasa ada peningkatan minat terhadap karya-karya ‘irfân, khususnya Ibn ‘Arabi, di negeri kita. Tapi, tampaknya, pengajaran pemikiran Ibn ‘Arabi belum dapat diselenggarakan dalam cara-cara yang memungkinkan pemikirannya yang berat untuk dapat dicerna oleh masyarakat peminat awam. Saya merasa belum ada satu pun buku dalam bahasa Indonesia, bahkan mungkin dalam bahasa Inggris—meski telah ada beberapa buku luar biasa karya William Chittick yang dapat dibaca sebagai pengantar ke pemikiran Ibn ‘Arabi—yang memaparkan pemikiran Ibn ‘Arabi secara sesimpel mungkin, sekaligus sesistematis mungkin. Membaca karya Ibn ‘Arabi secara langsung kemungkinan besar malah akan menimbulkan kebingungan, bahkan kesalahpahaman. Fushûsh al-Hikam, meski sangat ringkas justru sangat sulit dipahami, karena sifatnya yang merupakan ekspresi ilham atau pengalaman religius dalam bentuk sebuah ikhtisar. (Itu pula sebabnya, saya tak yakin bahwa upaya mengajarkan pemikiran Ibn ‘Arabi kepada peminat awam lewat Fushûsh akan produktif). Sementara, membaca Futûhât hampir-hampir mustahil karena ketebalannya yang luar biasa, di samping sifatnya yang tidak bisa dibilang sistematis menurut pemahaman yang saya maksudkan. Buku-buku yang ditulis Chittick, mulai yang sangat ringkas, seperti Ibn ‘Arabi: Heirs to the Prophets, hingga yang tebal seperti Sufi Path of Knowledge dan The Self Disclosure of God; Principles of Ibn ‘Arabi’s Cosmology, betapa pun juga, ditulis untuk akademisi, bukan peminat awam. Apalagi buku yang berjudul The Reflective Heart: Discovering Spiritual Intelligence in Ibn ‘Arabi’s ‘Meccan Illuminations’ James W. Morris yang lebih rumit, maupun buku-buku pengantar lain yang, umumnya, berfokus pada aspek-aspek tertentu pemikiran Ibn ‘Arabi. Kekurangan akses kepada buku pengantar yang simpel dan sistematis, meski tetap mendalam dan akurat, ini bukan saja menghalangi kemudahan orang untuk memahami pemikiran Ibn ‘Arabi, melainkan malah dapat menimbulkan kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan kesan keliru—bahkan penyesatan terhadap Syaikh Akbar ini, sebagaimana yang telah banyak terjadi di sepanjang sejarah Islam.
Itu pula sebabnya, betapa pun ingin pembaca dapat belajar secara lebih mudah, lebih akurat, seraya dapat mengambil hikmah “praktis” dari pemikiran Ibn ‘Arabi, saya tetap mengupayakan kelengkapan menu pemikirannya, sambil sedapat mungkin menjaga akurasinya, dan bersikap adil kepada pemiliknya. Apakah saya berhasil, sidang pembaca dan para ahli adalah hakimnya. Betapa pun juga, dengan pertolongan Allah, buku kecil ini mudah-mudahan tetap ada manfaatnya. Jika dibandingkan dengan buku-buku ringkas tentang Ibn ‘Arabi, khususnya karya Chittick yang saya sebut di atas, buku sederhana saya ini adalah sebuah peta, sementara yang lain gambar panoramik. Dua-duanya tidak menggambar detail apa yang hendak ditunjukkannya. Namun, jika dalam buku yang lain itu, pemikiran Ibn ‘Arabi digambar sebagai pemandangan jarak jauh dan mencakup dengan lebih realistis, maka buku ini lebih menyerupai sebuah peta—mungkin lebih kurang indah, tapi diharapkan memiliki kelebihan lain dalam hal fungsinya sebagai penunjuk jalan.
Selebihnya, setelah landasan yang mudah-mudahan saya ikut mempersiapkannya, biar yang lain—yang lebih ahli—membangun di atasnya. Agar dengan demikian, pemikiran Ibn ‘Arabi lebih dikenal di negeri ini, bahkan dikembangkan lebih jauh sebagai bahan menjawab tumpukan pertanyaan eksistensial yang lahir dari kehidupan makin kompleks manusia di muka bumi ini.