SINOPSIS
Manusia harus saling mengingatkan kepada kebaikan karena hutan, gunung, sawah, dan lautan hanya bisa mengingatkan kita kepada mantan.
Demi itu buku ini ada. Tapi, aku tak ingin mendudukkanmu sebagai pembaca, aku mau mengajakmu duduk sebagai teman ngobrol.
Banyak jalan menuju Roma, tapi tak ada yang sepasti setiap jalan menuju takdir. Saat dipamiti adik atau anak ke sekolah, kita menjelma sebagai kakak atau orang tua. Bertemu teman kuliah atau sejawat kantor, mendadak kita menjadi sohib atau saingan. Sepernano detik yang lalu kamu kekasihnya dan kini malah menjadi mantannya.
Begitulah. Hidup selalu bergerak seperti kisah-kisah Talijiwo yang hendak aku obrolkan kepadamu. Aku akan mendengarmu. Dengar aku juga. Siapa tahu setiap kata yang kuobrolkan, mengandung senandung untuk kita nyanyikan berdua.
Please, tak perlu lagi keluh kesah itu. Hidup hanya mengolah keluhan menjadi senandung. Heuheuheu.
"#Talijiwo adalah ungkapan-ungkapan twit bernada romantis yang pernah dilontarkan oleh Presiden Jancukers di akun Twitternya. Jangan heran, sapaan "Kekasih" akan sering muncul dalam buku ini. Dikemas dalam sejumlah tulisan yang ditokohkan oleh pasangan Pak Sastro dan Bu Jendro (terilhami dari kitab Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu), Talijiwo mengemas sejumlah percakapan dan anekdot sehari-hari masyarakat Indonesia yang sering kali diiringi kelucuan.
Sebagaimana tulisannya yang lain seperti seri Lupa Endonesa dan Balada Gathak-Gathuk, gaya satir ala Mbah Tejo terasa dalam buku ini. Bisa dibilang, perpaduan tulisan sang Presiden Jancukers yang ada pada Dalang Galau Ngetwitt dicampur dengan karya lainnya. Karena pada dasarnya kutipan tentang cuitan-cuitan Sujiwo Tejo di media dikemas dengan menyelipkan mereka dalam percakapan Sastro-Jendro. Memosisikan bahwa ungkapan Sujiwo Tejo ini seolah mereka berdua yang mengucapkan, dan mereka tinggal mengingat-ingatnya kembali.
Sejumlah bagian dalam buku menyindir tentang pemerintah, harga-harga yang naik, dan realitas lain yang selama ini dihadapi oleh rakyat Indonesia. Namun mengacu pada tulisan-tulisan Mbah Tejo sebelumnya mengenai rakyat Jancukers, maka terasa cetek IQ seseorang ketika hanya menyoroti pada isu-isu tersebut. Sangat biasa. Justru yang esensial adalah menggali jati diri bangsa yang sempat luntur karena meninggalkan nilai-nilai kejawaan, yang mana secara luas berarti keindonesiaan."
—Probo Darono Yakti, Goodreads
"Saya tidak pernah berminat membaca tulisan berunsur politik, demokrasi, dan kenegaraan. Tidak seperti membaca koran, tulisan-tulisan dalam buku Talijiwo ini justru memperkaya pengetahuan saya tentang hiruk pikuk yang terjadi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Penuturan lugas melalui cerita-cerita pendek ditambah dengan sisipan kutipan yang puitis menjadikan buku ini terasa semakin manis. Bacalah."
—Alfa Anggraini, Goodreads
"I absolutly love this book! Buku ini ndak tentang cinta-cintaan aja, meski segala macam diksi atau covernya sangat amat menggambarkan kisah cinta. Nyatanya banyak pesan tentang kehidupan ataupun tentang negara kita selama ini."
—Aisyah Firlinda, Goodreads
"Lucu juga sih. Ya nyastra, ya kekinian-membahas current issues-, ya nyentil, ya aneh-aneh juga. Kadang mbahas rada-rada filosofis lalu tiba-tiba mbahas kehidupan sehari-hari lagi. Udah mbahas soal kehidupan sehari-hari, macam soal nyuci baju dan lain-lain, lalu mbahas current issues lagi. Lalu di sana sini nyelip si talijiwo yang eciyeeeh banget."
—Sri, Goodreads
"Selipan demi selipan kalimat yang diletakkan membuatmu geleng-geleng kepala. Bagaimana sesuatu yang serius tentang polemik dan sindiran terhadap Indonesia menjadi begitu romantis? Kamu bisa dapatkan di buku ini!"
—Vanda Deosar, Goodreads
"Kombinasi dari kritik, cinta dan dunia yang pas. Sangat menggelitik pikiran, sebuah perenungan yang pas."
—Agung Tj, Goodreads
Spesifikasi Produk
SKU |
BI-092 |
ISBN |
978-602-291-586-7 |
Berat |
210 Gram |
Dimensi (P/L/T) |
13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman |
236 |
Jenis Cover |
|
Ulasan Produk
Tidak ada ulasan produk