Ketersediaan : Tersedia

SHEILA (REPUBLISH 2022)

Deskripsi Produk

Sudah ada delapan murid berusia tak lebih dari 10 tahun di kelas itu. Seorang anak pernah dua kali mencoba bunuh diri, seorang anak buta, seorang lagi agresif, dua orang anak menderita autisme, seorang skizofrenia, seorang pernah mengalami penganiayaan fisik dan seksual, sedangkan yang terakhir menderita berbagai fobia. Jika Anda harus…

Baca Selengkapnya...

Rp 99.000

Rp 84.150

Sudah ada delapan murid berusia tak lebih dari 10 tahun di kelas itu. Seorang anak pernah dua kali mencoba bunuh diri, seorang anak buta, seorang lagi agresif, dua orang anak menderita autisme, seorang skizofrenia, seorang pernah mengalami penganiayaan fisik dan seksual, sedangkan yang terakhir menderita berbagai fobia.

Jika Anda harus mengajar kelas itu, bersediakah Anda—seperti Torey Hayden—menerima seorang murid lagi, seorang gadis berusia 6 tahun yang baru saja membakar anak lelaki berusia 3 tahun sampai nyaris mati? Gadis itu ber-IQ di atas 180, tapi menderita problem emosional parah. Dia tak pernah menangis, bahkan di kala sedih, marah, maupun kesakitan. Dia juga agresif dan selalu membangkang. Mungkin karena sang ibu meninggalkannya di jalanan saat berusia 4 tahun. Mungkin karena ayahnya pemabuk dan tak mampu memberinya pengasukan yang layak. Mungkin karena dia memang tak tahu bagaimana membuat orang lain mencintainya.

Dalam buku ini, sang guru menuturkan pengalaman nyatanya berusaha menyentuh hati si gadis kecil dan memunculkan segala potensi yang dia miliki. Berhasilkan sang guru? Berhasilkan Sheila mengatasi segala kendala yang menghalanginya dari bertumbuh layaknya gadis kecil lain?

 

"Torey … menjadi inspirasi bagi banyak orang” guru, orangtua, dan psikolog … terutama pendidikan anak berkebutuhan khusus."

Kompas

"Torey memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengelola alur cerita."

-Koran Tempo

PROLOG

SEBAGIAN besar masa hidup saya setelah dewasa saya habiskan untuk bekerja di lingkungan anak-anak yang menderita gangguan emosi. Pada musim gugur di tahun awal kuliah, saya bekerja sebagai relawan dalam sebuah program untuk anak-anak prasekolah yang lemah mental. Sejak itu, saya terpikat oleh aspek-aspek yang membingungkan dari penyakit mental pada anak-anak. Dan sejak itu saya meraih tiga gelar; mencurahkan waktu beberapa tahun sebagai asisten guru, guru, dan instruktur di universitas, serta peneliti psikiatri; tinggal di lima negara bagian; dan bekerja di pusat-pusat penitipan-anak swasta, sekolah negeri, divisi psikiatri khusus dan institusi-institusi negara, sambil mencari berbagai jawaban yang begitu sulit mengenai anak-anak ini, kunci-kunci ajaib yang akhirnya dapat membukakan pemahaman saya tentang mereka. Namun, di dalam hati, saya telah lama tahu bahwa kunci-kunci seperti itu tidak ada, dan bahwa bagi sebagian anak, bahkan cinta saja tidak cukup. Adalah keyakinan pada jiwa manusia, yang telah mengabaikan segala nalar dan melampaui jangkauan pengetahuan kita. 

Saya sering ditanya tentang pekerjaan saya. Barangkali pertanyaan yang paling umum adalah: Tidakkah itu menyedihkan? Tidakkah menyedihkan, tanya seorang mahasiswa, hidup dari hari ke hari di tengah kekerasan, kemiskinan, kecanduan obat terlarang dan alkohol, penyiksaan seksual dan fisik, pengabaian dan sikap apatis? Tidakkah menyedihkan, tanya seorang guru kelas reguler, bekerja begitu keras dengan imbalan begitu sedikit? Tidakkah menyedihkan, tanya mereka semua, mengetahui bahwa keberhasilan Anda yang terbesar barangkali tidak pernah lebih dari sekadar hidup mendekati normal; mengetahui bahwa anak-anak kecil ini sendiri telah dikutuk untuk menjalani kehidupan yang, menurut standar kita, tidak akan pernah produktif, bermanfaat, atau normal? Tidakkah itu menyedihkan?

Tidak. Tidak, sungguh tidak begitu. Mereka hanyalah anak-anak, yang kadang-kadang mengecewakan seperti umumnya anak-anak lain. Namun, mereka juga sangat penyayang dan pintar. Kegilaan itu sendiri tampaknya justru memungkinkan seluruh kebenaran terungkap. 

Akan tetapi, bukan hanya itu. Anak-anak ini sungguh berani. Sementara kita menyetel berita sore di televisi untuk mendengarkan kegairahan-kegairahan baru dan penaklukan-penaklukan di tempat yang jauh, kita melewatkan drama yang benar-benar nyata yang tergelar di sekeliling kita. Ini sungguh patut disayangkan sebab di sini ada keberanian yang tak tertandingi oleh peristiwa lahiriah mana pun.

Sebagian dari anak-anak ini hidup dengan mimpi buruk yang begitu meng hantui mereka sehingga setiap gerakan dipenuhi dengan teror yang tidak kita ketahui. Sebagian hidup dengan kekerasan dan kekejian sebegitu rupa sehingga tak terungkapkan kata-kata. Sebagian bahkan hidup dengan martabat yang hanya layak dimiliki hewan. Sebagian hidup tanpa cinta. Sebagian hidup tanpa harapan. Namun, mereka bertahan. Dan sebagian besar mereka menerimanya, tanpa pernah mengetahui bahwa ada cara lain.

Buku ini bercerita tentang seorang gadis kecil, dan ditulis bukan untuk menggugah rasa kasihan. Juga tidak dimaksudkan untuk mengundang pujian bagi seorang guru. Tidak pula untuk mem buat sedih orang-orang yang telah menemukan kedamaian dalam ketidaktahuan. Sebaliknya, ini merupakan jawaban bagi orang-orang yang bertanya tentang rasa frustrasi dalam pekerjaan saya bersama anak-anak sakit mental. Ini adalah nyanyian bagi jiwa manusia, sebab gadis kecil ini sama dengan semua anak saya. Sama dengan kita semua. Dia sanggup bertahan.

1 ARTIKEL DI KORAN

SEHARUSNYA saya sudah tahu. Artikel itu pendek saja, hanya beberapa paragraf dan terselip pada halaman enam di bawah cerita komik. Di situ dikisahkan seorang gadis kecil berusia enam tahun telah menculik bocah di lingkungan tempat tinggalnya. Pada malam dingin bulan November itu, dia membawa seorang anak lelaki usia tiga tahun, mengikatnya di sebuah pohon di hutan kecil dan membakarnya. Anak lelaki itu kini berada di rumah sakit setempat dalam keadaan kritis. Si gadis kecil ditahan. Saya membaca artikel itu sambil lalu seperti saya membaca berita lain dalam surat kabar dan merasakan letupan kemarahan spontan mengenai apa-yang-akan-terjadi-dengan-dunia-ini. Lalu di waktu lain pada hari itu juga, saya kembali teringat akan artikel tersebut ketika sedang mencuci piring. Saya bertanya-tanya apa yang dilakukan polisi terhadap gadis itu. Bisakah kita memasukkan gadis berusia enam tahun ke penjara? Saya membayangkan hal-hal mengerikan tentang seorang anak yang berjalan ke sana-kemari di dalam penjara kota yang usang dan dingin. Saya memikirkan hal itu tanpa melibatkan perasaan saya. Namun, seharusnya saya sudah tahu.

Seharusnya saya sudah tahu bahwa tidak ada guru yang menginginkan anak berusia enam tahun dengan latar belakang seperti itu di dalam kelasnya. Tidak ada orangtua yang menginginkan anak seperti itu bersekolah bersama anaknya. Tak seorang pun ingin anak itu dibiarkan bebas. Seharusnya saya sudah tahu akhirnya dia akan dimasukkan ke dalam program saya.

Saya mengajar di sebuah kelas yang, di distrik sekolah kami, memiliki julukan sayang: “kelas sampah”. Saat itu merupakan tahun terakhir sebelum dimulai upaya mengklasifikasikan anak-anak khusus; tahun terakhir untuk memilah-milah semua anak yang memiliki kelainan kedalam kelas tersendiri. Ada kelas untuk anak yang terganggu emosinya, kelas untuk anak cacat fisik, kelas untuk anak dengan penyimpangan perilaku, kelas untuk anak dengan kelemahan belajar, dan kemudian kelas saya. Saya mendapatkan delapan anak yang tersisa, delapan anak yang tidak masuk klasifikasi. Saya adalah perhentian terakhir sebelum mereka dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Itu adalah kelas untuk manusia buangan yang masih muda. 

Musim semi sebelumnya saya telah mengajar sebagai tenaga tambahan, memberikan bantuan kepada anak-anak yang terganggu emosinya dan yang mempunyai kelemahan belajar, yang mengikuti pelajaran di kelas reguler selama setengah hari. Saya telah berada di distrik itu selama beberapa waktu dengan berbagai tugas; jadi saya tidak terkejut ketika Ed Somers, Direktur Pendidikan Khusus, mendatangi saya di bulan Mei dan bertanya apakah saya tertarik untuk mengajar “kelas sampah” itu pada musim gugur mendatang. Dia tahu saya berpengalaman dengan anak-anak yang punya gangguan parah dan bahwa saya suka anak-anak kecil. Dia juga tahu bahwa saya suka tantangan. Dia tertawa kecil setelah mengatakan itu, sadar akan betapa berbelit-belit pujian itu kedengarannya di telinga saya, tetapi dia sudah putus asa sehingga dia harus mencobanya.

Saya menerima tawarannya, tetapi dengan satu syarat. Bagaimanapun juga, saya rindu untuk kembali memiliki kelas sendiri dengan kelompok anak-anak saya sendiri. Saya juga ingin diberi kebebasan dari campur tangan kepala sekolah yang terlalu suka mengatur-atur. Dia orang yang baik, tetapi sering kali kami punya pemahaman yang berbeda tentang segala sesuatu.

Tentang Torey Hayden

Spesifikasi Produk

SKU QN-126
ISBN 978-602-441-288-3
Berat 320 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 384
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk