Bahwa seorang gadis buta huruf kelahiran Soweto, sebuah perkampungan kumuh di Afrika Selatan, akan tumbuh dan kelak terkurung dalam sebuah truk pengangkut kentang bersama raja dan perdana menteri Swedia adalah kejadian dengan probabilitas statistik 1 : 45.766.212.810. Itu menurut perhitungan Nombeko Mayeki, si gadis buta huruf itu sendiri.
Setelah meninggalkan Soweto yang suram tanpa masa depan, suatu hari Nombeko justru menjadi anomali dari probabilitas statistik yang dihitungnya sendiri. Bertemu raja dan perdana menteri Swedia bagi gadis sepertinya saja sudah luar biasa. Tetapi, terkurung di dalam truk pengangkut kentang bersama mereka? Yang benar saja!
Kegilaan ini tidak akan terjadi kalau bukan karena bom atom ketujuh, bom atom yang seharusnya tidak ada. Nombeko tahu terlalu banyak tentangnya, dan sekarang (walau terpaksa), nasib dunia berada di tangannya. Bersama kakak beradik kembar yang salah satu keberadaannya tidak diakui secara resmi dan rekan lain yang tidak kompeten, Nombeko tahu misi ini tidak akan mudah. Dan, ya ... memang begitulah.
Bahwa seorang gadis buta huruf kelahiran Soweto
pada 1970-an akan tumbuh dan kelak terkurung dalam sebuah
truk pengangkut kentang bersama raja dan perdana
menteri Swedia adalah kejadian dengan probabilitas
statistik 1 berbanding 45.766.212.810.
Menurut perhitungan si gadis buta huruf itu sendiri.
Tentang seorang gadis yang tinggal di gubuk dan seorang pria yang
setelah meninggal membantunya keluar dari sana
Dalam beberapa hal para penguras jamban di kota kumuh terbesar di Afrika Selatan itu bisa dibilang beruntung. Setidaknya, mereka punya pekerjaan sekaligus atap yang menaungi kepala mereka.
Akan tetapi, di sisi lain, dari perspektif statistik mereka tidak punya masa depan. Sebagian besar mati muda karena tuberkulosis, pneumonia, diare, pil-pil obat terlarang, alkohol, atau kombinasi hal-hal tersebut. Satu atau dua dari mereka mungkin beruntung bisa melewati ulang tahun kelima puluh. Manajer salah satu kantor pengurasan jamban di Soweto itu salah satu contohnya. Namun, dia penyakitan dan tidak punya semangat hidup. Hari itu dia minum terlalu banyak pil penghilang rasa sakit dengan terlalu banyak bir saat hari masih terlalu pagi. Hasilnya, dia memarahi perwakilan Departemen Sanitasi Pemerintah Kota Johannesburg yang dikirim ke kantornya. Seorang Kaffir yang tidak tahu diri. Insiden itu dilaporkan sampai ke direktur unit di Johannesburg, yang keesokannya, saat rehat kopi mengumumkan kepada rekan-rekannya bahwa si buta huruf di Sektor B sudah waktunya diganti.
Kebetulan rehat kopi pagi itu sangat tidak menyenangkan. Kue disajikan dalam rangka menyambut asisten sanitasi yang baru. Nama pemuda itu Piet du Toit, usianya 23 tahun, dan ini adalah pekerjaan pertamanya setelah lulus kuliah.
Karyawan baru itulah yang akan menangani masalah di Soweto, karena memang begitu cara kerja di Pemerintah Kota Johannesburg. Dia disuruh berhadapan dengan orang-orang buta huruf itu agar kuat mental menghadapi pekerjaannya.
Tak ada yang tahu apakah semua penguras jamban di Soweto memang benar-benar buta huruf, tetapi begitulah sebutan mereka. Lagi pula, tak ada seorang pun dari mereka yang mengenyam bangku sekolah, dan mereka semua tinggal di gubuk. Dan, mereka sangat sulit memahami perkataan orang.
Piet du Toit merasa cemas. Ini kali pertamanya mengunjungi orang-orang berangasan itu. Ayahnya yang seorang makelar benda seni mengirim pengawal pribadi untuk berjaga-jaga.
Pemuda berumur 23 tahun itu masuk ke kantor urusan jamban dan tidak tahan untuk langsung mengeluhkan baunya. Di seberang mejanya, duduk si manajer, yang akan segera dibebastugaskan. Dan, di sebelahnya ada seorang gadis kecil yang secara mengejutkan membuka mulut dan menjawab bahwa sayangnya memang seperti itulah sifat tinja—yaitu berbau.
Sejenak Piet du Toit bertanya-tanya dalam hati apakah gadis itu sedang mengolok-oloknya, tetapi tidak mungkin.
Dia membiarkan saja hal itu. Dia malah memberi tahu sang manajer bahwa dia tidak bisa terus bekerja karena keputusan dari atas, tetapi dia bisa mendapat tiga bulan pesangon jika dapat memilih tiga orang kandidat untuk posisi yang baru saja kosong.
“Bisakah saya kembali ke pekerjaan lama saya sebagai penguras jamban permanen supaya bisa mendapat sedikit uang?” tanya manajer yang baru dibebastugaskan itu.
“Tidak,” sahut Piet du Toit. “Tidak bisa.”
Seminggu kemudian, Asisten du Toit dan pengawal pribadinya kembali. Manajer yang dipecat itu duduk di belakang mejanya, untuk kali terakhir. Di sampingnya berdiri gadis yang sama dengan sebelumnya.
“Mana tiga kandidatmu?” tanya sang asisten.
Mantan manajer minta maaf: dua orang tidak bisa datang. Yang satu digorok lehernya dengan pisau dalam perkelahian kemarin malam. Dia tidak tahu di mana si nomor dua. Mungkin dia sedang kambuh.
Piet du Toit tidak ingin tahu apanya yang sedang kambuh. Namun, dia memang ingin cepat-cepat pergi dari situ.
“Jadi, siapa kandidat ketigamu kalau begitu?” tanyanya marah.
“Tentu saja gadis di sebelahku ini. Dia sudah membantuku selama beberapa tahun. Menurutku dia pintar.”
“Demi Tuhan, aku tidak bisa mempekerjakan anak dua belas tahun sebagai manajer, kan?” kata Piet du Toit.
“Empat belas tahun,”kata gadis itu. “Aku berpengalaman selama sembilan tahun.”
Baunya menyengat sekali. Piet du Toit khawatir bau itu akan melekat di setelan jasnya.
“Apa kau sudah mulai memakai narkoba?”tanyanya.
“Tidak,”kata gadis itu.
“Kau sedang hamil?”
“Tidak,”jawab gadis itu.
Sang asisten diam saja selama beberapa detik. Dia tidak ingin kembali ke sini lebih sering daripada yang diperlukan.
“Siapa namamu?”tanyanya.
“Nombeko,”jawab si gadis.
“Nombeko apa?”
“Mayeki sepertinya.”
Ya ampun, mereka bahkan tidak tahu nama mereka sendiri.
“Kalau begitu, kau lolos, asal kau bisa menjaga diri agar tidak teler,”kata sang asisten.
“Bisa,”sahut gadis itu.
“Bagus.”
Lalu, asisten itu menoleh kepada mantan manajer.
“Kami menjanjikan tiga bulan gaji untuk tiga kandidat. Jadi, satu bulan gaji untuk satu kandidat. Dikurangi satu bulan karena kau tidak berhasil mencari calon yang layak selain anak berumur dua belas tahun.”
“Empat belas,”kata si gadis.
Piet du Toit pergi tanpa pamit. Dengan pengawal yang membuntut tepat di belakangnya.
Gadis yang baru saja menjadi atasan mantan atasannya mengucapkan terima kasih atas bantuan mantan atasannya itu dan mengatakan bahwa pria itu dipekerjakan kembali sebagai tangan kanannya.
“Tetapi, bagaimana dengan Piet du Toit?”tanya mantan bosnya.
“Kita ganti saja namamu—aku yakin asisten itu tidak bisa membedakan antara satu orang kulit hitam dengan yang lain,”ujar si gadis berumur empat belas yang bertampang dua belas tahun itu.
Manajer pengurasan jamban di Soweto Sektor B yang baru ditunjuk itu tak pernah punya kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah. Ini terjadi karena ibunya punya prioritas lain, juga karena gadis itu lahir di Afrika Selatan, dari sekian banyak negara di dunia; selain itu, dia lahir pada awal tahun enam puluhan, ketika para pemimpin politik berpendapat bahwa anak-anak seperti Nombeko tidak masuk hitungan.
Perdana menteri saat itu menjadi terkenal karena mengajukan pertanyaan retoris mengapa orang-orang kulit hitam harus sekolah sementara mereka tidak punya keahlian apa pun selain mengangkut kayu dan air.
Pada prinsipnya dia salah, karena Nombeko mengangkut tinja, bukan kayu atau air. Namun, tidak ada alasan untuk percaya bahwa gadis itu akan bergaul dengan para raja dan presiden setelah dewasa nanti. Atau menyebabkan banyak bangsa ketakutan. Atau memengaruhi perkembangan dunia secara umum.
Tentu demikian halnya seandainya dia bukan orang seperti Nombeko.