Ketersediaan : Tersedia

THE GOD OF SMALL THINGS

Deskripsi Produk

Pemenang Man Booker Prize  One of Time’s 5 Best Book  New York Times Bestseller   Tidak ada yang berarti banyak. Tidak banyak yang benar-benar berarti.   Hanya ada air mata di wajah Rahel dan Esthappen. Kehampaan dan keheningan menyayat batin keduanya. Dua saudara kembar itu berpelukan erat, saling menguatkan. Terlalu…

Baca Selengkapnya...

Rp 109.000

Rp 55.000

Pemenang Man Booker Prize
 One of Time’s 5 Best Book
 New York Times Bestseller

 

Tidak ada yang berarti banyak.

Tidak banyak yang benar-benar berarti.

 

Hanya ada air mata di wajah Rahel dan Esthappen. Kehampaan dan keheningan menyayat batin keduanya. Dua saudara kembar itu berpelukan erat, saling menguatkan.

Terlalu banyak luka yang mengungkung hidup Rahel dan Esthappen. Peristiwa masa silam berkelindan dengan apa yang mereka hadapi kini, terus saja menggoreskan pilu. Semakin pedih ketika mereka menyadari telah menjadi bagian dari Yang Mahakecil, menantang Yang Mahabesar.

Novel debut Arundhati Roy ini telah lama menjadi perbincangan internasional. Sensitivitas tema di tengah kondisi sosial budaya yang kaku, membuat novel ini disanjung sekaligus dihujat. Novel ini pula yang mengantarkan Arundhati Roy sebagai pemenang Man Booker Prize 1997 dan menjadikannya sebagai salah satu penulis kenamaan dunia. Dengan diksi dan lapisan bahasa begitu indah, The God of Small Things menyuguhkan beragam gugatan sosial yang memikat. 

Tentang Arundhati Roy

Resensi

Novel untuk Yang Mahakecil (nukilan catatan penutup Melani Budianta) The God of Small Things menghadirkan secara kental dan akrab warna alam maupun latar sosial budaya Kerala. Namun, pada saat yang sama novel ini menghunjamkan suatu gugatan kemanusiaan yang tajam. The God of Small Things menunjukkan bahwa komunisme maupun agama yang mengajarkan kesetaraan manusia—secara sosial maupun di mata Tuhan—ternyata sama sekali tidak mengubah sistem pembedaan manusia yang sangat diskriminatif dan patriarkis, yang sudah berabad-abad disakralkan masyarakatnya. Bahwa gugatan ini muncul dari seorang anak kelahiran Kerala, menunjukkan hal yang tidak bisa diabadikan. Di kalangan LSM internasional saat ini, Kerala menarik perhatian karena berbagai eksperimentasi sosial dan pendidikannya yang egalitarian dan kerakyatan. Arundhati Roy mengaku bahwa campuran yang unik antara progresivisme dan kepicikan yang sama-sama ekstrem di Kerala memberinya bahan yang menarik untuk merefleksikan sifat-sifat manusia yang paling dasar. Novel Arundhati menggugat suatu kenyataan sosial budaya yang mendasar sekaligus sensitif bukan saja di India, tetapi juga di seluruh dunia. Ternyata, berbagai ajaran cinta kasih dan kemanusiaan bergeming di hadapan kekerasan hati manusia untuk meninggikan diri di hadapan ‘mereka’—kelompok manusia lain—yang karena satu dan lain hal, dianggap najis, tak sama dan tak layak berdampingan dengan ‘kita’. Pemisahan itu didasarkan atas kasta, ras, etnis, kelas, agama, orientasi seksual, dan alasan lainnya. Oleh karena itu, barangkali bukan karena erotismenya—yang biasa-biasa saja—melainkan karena gugatan-gugatan itulah, buku ini membuat hidup mapan menjadi terusik. Novel ini memakai Perspektif Yang Maha Kecil, yang tertindas. Dewa Kehilangan yang berlengan satu: jika mencium dia tidak bisa memeluk, jika memeluk dia tidak bisa menyentuh, jika berperang dia tak mungkin menang. Dan perspektif itu disampaikan terutama oleh mata gadis kecil Rahel dan kembaran laki-lakinya yang sangat perasa, Estha, anak-anak Ammu, cucu ahli serangga dan pemilik pabrik dari kalangan Kristen Syria yang terhormat. Sebagai cucu yang diperoleh dari anak perempuan (yang tak berhak atas warisan apapun) yang kawin campur dengan pemuda Hindu lalu cerai (artinya: aib berlipat ganda), kedua anak itu tahu rasanya menjadi yang terpinggir, yang tidak berarti, yang sewaktu-waktu bisa kehilangan segala-galanya. Ironisnya justru perasaan rapuh itulah yang kelak menghantarkan kedua anak itu untuk dilibatkan secara kejam oleh nasib kekuasaan ‘Sejarah’ dalam tragedi yang membunuh orang-orang yang mereka cintai. Perasaan kotor dan bersalah membuat Estha kehilangan suaranya, dan tatapan mata Rahel jadi kosong. Dua kembar berbeda telur dengan jiwa yang satu seperti kembar siam itu adalah bayang-bayang dua kekasih yang menyatu dalam kepedihan. Tema keterpinggiran ini semakin mencuat ketika diletakkan dalam konteks poskolonial yang disimbolkan melalui tokoh Sophie Mol, gadis kecil anak kakak laki-laki Ammu, Paman Chacko dengan perempuan Inggris, Margaret. Sophie Mol adalah pusat perhatian dan kebanggan keluarga besar pemilik pabrik acar dan selai itu yang dipuja dengan sikap ‘anglofilia’. Gadis berkulit putih seperti pasir, rambut kecokelatan (nyaris pirang), mata biru adalah gambaran kecantikan yang diidolakan, kecantikan yang berasosiasi dengan semua yang datang dari Barat (Inggris). Orientasi pada budaya Anglo-Saxon itu membuat Baby Kochamma, bibi Ammu, melatih si kembar agar berbicara bahasa Inggris dengan Pre-NAN-si-ey-shen yang tepat; dan mendorong Kamerad Pillai pimpinan komunis meminta Lenin, anaknya menghafalkan baris-baris drama Shakespeare, Julius Caesar. Seluruh novel berpusat pada beberapa hari yang kritis, persiapan kedatangan sang idola, Sophie Mol, acara sambutan kedatangannya, hari nahas dan upacara pemakamannya, dan akibat-akibatnya kemudian yang tak pernah bisa dikuburkan. Novel ini disampaikan dengan alur yang berputar seperti spiral. Segala sesuatu yang terjadi dalam novel sudah dibukakan kepada pembaca pada bab pertama. Tidak ada akhir yang mengejutkan atau kejadian yang disembunyikan. Daya tarik novel ini bukan pada ketegangan tentang apa yang terjadi, tetapi pada kelengkapan mosaik yang makin lama makin memperkaya gambaran yang sejak awal sudah disuguhkan. Dengan cara seperti itu setiap bab menambah dimensi tokoh, mengisi lempengan alur, menyusun imaji-imaji yang menguatkan tema utama. Deskripsi yang rinci tentang makhluk-makhluk kecil di semak-semak atau tanah, misalnya, bertaut sampai bab terakhir. Dengan The God of Small Things, Arundhati Roy masuk ke jajaran penulis India yang menulis dalam bahasa Inggris. Di Inggris, sebagian besar di antaranya adalah penulis laki-laki, seperti: Salman Rushdie, Vikram Seth, Rohinton Mistry, Vikram Chandra, Amitav Ghosh. Berkembangnya sastra multikultural di Amerika Serikat mencuatkan sejumlah penulis permepuan dari India seperti Bahrati Mukherjee, Chitra Bhanarjee Divakaruni, Sara Suleri. Tetapi Arundhati Roy melejit di antara pendahulunya yang menulis dalam bahasa Inggris, bukan hanya dengan langsung meraih penghargaan prestisius, tetapi juga dengan rekor penjualan yang sangat tinggi. Novel tentang Yang Maha Kecil ini ternyata mendatangkan kekayaan yang sangat besar. Sebelum terbit naskahnya sempat diperebutkan oleh sembilan penerbit Inggris, dan akhirnya dimenangkan oleh HarperCollins dengan nilai 150 ribu ponsterling dan dijual ke 17 negara. Hak terjemahannya saja mencapai satu juta ponsterling. Di India cetakan pertama sebanyak 5000 kopi terjual habis dalam enam hari. Di Indonesia fenomena yang sama kita lihat melalui penjualan dan promosi fantastis penulis perempuan seperti Dee Lestari dan Ayu Utami. Di peralihan abad yang baru ini, kita di Indonesia melihat satu generasi sastrawan perempuan dengan keberanian eksplorasi kreatif. Dorothea Rosa Herliany dan Ayu Utami mengolah seksualitas yang bergumul dengan kekerasan, yang indah dengan najis dengan kelugasan menghentak.   NUKILAN   1 Surga Awetan Bulan Mei di Ayemenem panas, lagi lambat. Hari-hari gerah berkepanjangan. Sungai menciut dan gagak-gagak hitam menggasak mangga terang di pohon-pohon hijau kusam yang bergeming. Pisang merah masak pelan-pelan. Nangka merekah kematangan. Lalat-lalat biru yang tak henti-henti berdengung menggila di udara yang beraroma buah. Lalu, mereka menabrakkan diri ke kaca-kaca jendela bening dan terkapar mati di bawah terik mentari. Malam cerah, tapi dirambati kemalasan dan pengharapan nan lemah. Namun, pada awal Juni, angin muson barat daya berembus. Selama tiga bulan, angin dan air datang berhamburan, sesekali diselingi kemilau singkat sinar matahari yang disambut oleh kesenangan anak-anak yang gemar bermain. Pedesaan menghijau. Batas-batas mengabur oleh pagar dari batang singkong berakar dan berkembang. Tembok menjadi hijau lumut. Sulur-sulur merica membelit tiang listrik. Tanaman rambat liar menyeruak dari hamparan laterit dan tumpah ruah ke jalanan yang digenangi air. Perahu mengeluyur ke pasar. Ikan kecil malah bermunculan dalam lubang-lubang tergenang di jalan raya yang luput ditambal oleh Departemen PU. Hujan sedang turun saat Rahel kembali ke Ayemenem. Tetes-tetes miring keperakan melecut-lecut bumi, menghamburkan tanah longgar ke sana kemari seperti cangkul. Rumah tua di atas bukit menopang atap segitiga curam seperti topi yang ditarik rendah-rendah hingga menutupi kuping. Dinding yang dipenuhi lumut sudah lembek dan menggembung di sana sini karena menyerap kelembapan dari tanah. Taman tak terawat dipenuhi makhluk hidup kecil yang berbisik-bisik dan pontang-panting. Di semak-semak seekor ular tikus menggosok-gosok badannya ke batu mengilap. Katak-katak kuning yang ingin kawin mengarungi kolam keruh untuk mencari pasangan. Cerpelai kebasahan melesat menyeberangi pelataran yang sarat daun rontok. Rumah itu sendiri kelihatan kosong. Pintu-pintu dan jendela-jendela terkunci. Beranda depannya polos. Tak berperabot. Namun mobil Plymouth biru langit bersirip belakang krom masih terparkir di luar, sedangkan di dalam, Baby Kochamma masih hidup. Dia adalah adik perempuan kakek Rahel. Nama aslinya Navomi, Navomi Ipe, tapi semua orang memanggilnya Baby. Dia dipanggil Baby Kochamma sejak cukup umur untuk menjadi bibi. Rahel datang bukan untuk menemuinya, tapi mengenai itu, baik cucu keponakan maupun bibi buyut sama-sama mafhum. Rahel datang untuk menemui saudara laki-lakinya, Estha. Mereka anak kembar non-identik. Kembar “dizigotik”, menurut istilah dokter. Lahir dari dua telur yang berlainan, tapi dibuahi secara serempak. Estha—Esthappen—lebih tua delapan belas menit. Estha dan Rahel tidak mirip-mirip amat sedari dulu. Bahkan sejak keduanya masih kanak-kanak berlengan kurus, berdada rata, cacingan, dan berambut jambul ala Elvis Presley, para kerabat yang kebanyakan senyum atau pun Uskup Ortodoks Syria yang kerap bertamu ke rumah Ayemenem untuk minta donasi tidak pernah menanyakan “Yang ini siapa?” Sumber kebingungan berasal dari tempat yang lebih dalam, lebih rahasia. Pada tahun-tahun awal kabur ketika kenangan baru saja terbentuk, ketika kehidupan menjanjikan banyak Awal Mula dan tiada Akhir, dan ketika Semua seolah berlangsung Selamanya, Esthappen dan Rahel memandang diri mereka bersama-sama sebagai Aku dan sendiri-sendiri sebagai Kita. Seolah-olah mereka adalah jenis kembar siam langka, yang terpisah secara fisik, namun memiliki satu identitas. Kini, bertahun-tahun berselang, Rahel teringat sempat terbangun suatu malam sambil terkik-kikik gara-gara mimpi kocak Estha. Dia teringat akan kenangan-kenangan lain juga, yang tak berhak dia ingat. Dia ingat, misalkan saja (sekalipun dia tidak turut hadir), akan perbuatan Penjual Limun Lemon Jeruk terhadap Estha di Bioskop Abhilash. Dia ingat rasa roti lapis tomat—roti lapis tomat milik Estha, yang dimakan oleh Estha—di Kereta Madras Mail tujuan Madras. Padahal, itu baru yang kecil-kecil.

Spesifikasi Produk

SKU ND-324
ISBN 978-602-385-382-3
Berat 460 Gram
Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 508
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk