Ketersediaan : Tersedia

THE KITE RUNNER (REPUBLISH KE-6 GANTI COVER 2022)

Deskripsi Produk

Kite Runner terbit tahun 2003 langsung menjadi fenomenal, difilmkan, dan diterjemahkan dalam 42 bahasa serta dijual di 70 negara. Setelah 10 tahun, novel yang membuat Khaled Hosseini mendapat Humanitarian Award dari UNHCR ini menjadi salah satu novel klasik kontemporer yang dicintai pembaca. Aku memiliki satu kesempatan terakkhir untuk menentukan apa jadinya…

Baca Selengkapnya...

Rp 129.000

Rp 109.650

Kite Runner terbit tahun 2003 langsung menjadi fenomenal, difilmkan, dan diterjemahkan dalam 42 bahasa serta dijual di 70 negara. Setelah 10 tahun, novel yang membuat Khaled Hosseini mendapat Humanitarian Award dari UNHCR ini menjadi salah satu novel klasik kontemporer yang dicintai pembaca.

Aku memiliki satu kesempatan terakkhir
untuk menentukan apa jadinya diriku.

Aku bisa melangkah memasuki gang itu, membela Hassan
dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.
Atau, aku bisa melarikan diri.
Akhirnya, aku melarikan diri.

Amir telah mengkhianati Hassan, satu-satunya sahabatnya, saudaranya. Rasa bersalah menghantuinya. Menyingkirkan Hassan dari kehidupannya adalah pilihan tersulit yang harus diambil Amir.

Namun setelah Hassan pergi, tak ada lagi yang tersisa dari masa kecil Amir. Seperti layang-layang putus, sebagian diri Amir terbawa terbang bersama angin. Tetapi, masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti rapuhnya layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.

The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Khaled Hosseini dengan brilian menghadirkan sisi-sisi lain Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Di tengah belantara puing di Kota Kabul, akankah Amir menemukan kebahagiaan yang kelak menyapu kesedihannya?

 

SATU

DESEMBER 2001

Aku menjadi seperti diriku yang sekarang ini saat  ber umur 12 tahun, pada suatu hari yang beku di  mu sim dingin 1975. Masih kuingat dengan jelas, saat aku berlutut di balik re runtuhan tembok lempung, meng      intip gang sem pit yang me manjang di dekat sungai yang membeku. Peris ti wa itu tel ah lama berlalu, tapi peng alamanku selama ini menunjuk kan bahwa kita tak akan per nah bisa mengubur masa lalu. Ka rena bagai manapun, masa lalu akan selalu me nye ruak men cari jalan keluar. Sekarang, saat aku melihat kem bali ke masa lalu, aku menyadari bahwa aku telah meng intip gang sempit yang terbengkalai itu sela ma dua puluh enam tahun. Suatu hari di musim panas yang lalu, temanku Rahim Khan menelepon dari Pakistan. Dia memintaku mengun-jungi nya. Sambil berdiri di dapur dengan gagang telepon me-nempel di telingaku, aku tahu bahwa bukan hanya Rahim Khan yang berbicara di telepon itu. Dosa tak termaafkan dari masa laluku turut hadir di sana. Setelah menutup sam-bung an itu, aku ber jalan-jalan di sepanjang Spreckles Lake di pinggiran utara Golden Gate Park. Cahaya matahari awal senja berkilauan menyiram permukaan air, tempat lusinan ka  pal miniatur berlayar dengan dorongan angin yang semi lir. Saat aku menatap ke atas, kulihat sepasang layang-la yang, merah dengan ekor panjang berwarna biru, berayun di langit. Kedua layang-layang itu menari jauh tinggi mel am paui pepohon an di bagian barat taman itu, di atas kincir angin, melayang ber dam-pingan bagaikan sepasang mata yang memandang ke ba wah pada San Francisco, kota yang sekarang telah menjadi kam-pung halamanku. Tiba-tiba aku mendengar bisikan Hassan di kepalaku: Untukmu, keseribu kalinya. Hassan, si pengejar layang-layang berbibir sum bing.

Aku duduk di bangku taman di dekat pohon willow, me mi kirkan ucapan Rahim Khan sebelum dia memutus kan sam  bung an telepon, ucapan yang di tam  bah kan, seolah sebe-lum nya terlupakan. Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan. Aku memandang sepasang layang-layang di langit. Aku me-mi kir kan Hassan. Memikirkan Baba. Ali. Kabul. Aku me-mikir kan kehidupan yang kujalani hingga musim dingin 1975 itu tiba dan mengubah segalanya. Dan mem  buat ku men jadi diriku yang sekarang.

DUA

Saat kami masih kanak-kanak, aku dan Hassan suka  me manjat pohon-pohon poplar yang tumbuh di jalan  masuk rumah ayahku dan mengusik tetangga kami de ngan memantul-mantulkan cahaya matahari ke rumah mereka menggunakan pecahan cermin. Kami duduk berha-dapan di cabang-cabang pohon yang tinggi, kaki kami yang telanjang bergelantungan, saku celana kami dipenuhi buah mur bei ke ring dan biji-biji kenari. Ber giliran kami memain-kan cer min itu sembari mema kan buah-buah murbei, sese kali sal ing melemparkan nya, terkikik-kikik, terbahak-bahak. Aku ma sih dapat melihat Hassan duduk di atas pohon itu, caha ya mata hari menerobos dedaunan dan menimpa wajah nya yang nyaris bulat sempurna, raut muka yang menye ru pai wa jah boneka Cina yang dipahat dari kayu keras: hi dung  nya yang datar dan lebar, matanya yang sipit bagaikan daun bambu, mata yang warnanya berubah-ubah sesuai dengan ca haya yang menimpanya, ter kadang emas, hijau, dan bah kan safir. Aku masih dapat melihat telinga mungil nya yang me nempel ren dah dan dagunya yang runcing, bagian kecil dari wajahnya yang seolah ditambahkan dengan tergesa-gesa. Dan bibir nya yang sumbing, sedikit di sebelah ki ri leku kan bibir nya, mungkin di situlah peralatan si pema hat bo neka Cina itu tergelincir, atau mungkin dia sekadar kele lah an dan menjadi ceroboh.

Terkadang, di atas pohon itu, aku menyuruh Hassan mem bidikkan biji-biji kenari dengan katapelnya pada anjing gembala Jerman bermata-satu milik tetangga kami. Hassan tidak pernah berminat melakukannya, tapi jika aku memin-ta nya, benar-benar memohon, dia tidak akan menolaknya. Hassan tidak pernah menolakku. Dan dia mahir mengguna-kan katapelnya. Ayah Hassan, Ali, sering kali menangkap dan me marahi kami, setidaknya dengan kemarahan yang bisa di lakukan orang selembut Ali. Dia akan menggerak kan te lun-juk nya dan melambai pada kami supaya kami segera tu run dari pohon. Dia akan menyita cermin kami dan menga ta kan sesuatu yang pernah dikatakan ibunya dulu, bahwa setan juga memantul-mantulkan cahaya dengan cermin un tuk meng go-da kaum Muslim saat mereka menunaikan sha lat. “Dan dia ter  ta wa-tawa saat melakukannya,” katanya me nam bahkan, seraya me me  lototi anaknya.

Tentang Khaled Hosseini

Spesifikasi Produk

SKU QT-34
ISBN 978-602-441-291-3
Berat 400 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 492
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk