Ketersediaan : Tersedia

THE SOCRATES EXPRESS

Deskripsi Produk

Penulis buku bestseller versi New York Times, The Geography of Bliss, Eric Weiner, melakukan perjalanan intelektual yang berliku, mengikuti jejak para pemikir besar dalam sejarah dan menunjukkan kepada kita bagaimana para filsuf—dari Epicurus hingga Gandhi, Thoreau hingga Beauvoir—menawarkan kearifan serta kebijaksanaan praktis dan spiritual untuk masa-masa ambyar seperti sekarang. Kita kembali berfilsafat dengan alasan…

Baca Selengkapnya...

Rp 115.000

Rp 97.750

Penulis buku bestseller versi New York TimesThe Geography of Bliss, Eric Weiner, melakukan perjalanan intelektual yang berliku, mengikuti jejak para pemikir besar dalam sejarah dan menunjukkan kepada kita bagaimana para filsuf—dari Epicurus hingga Gandhi, Thoreau hingga Beauvoir—menawarkan kearifan serta kebijaksanaan praktis dan spiritual untuk masa-masa ambyar seperti sekarang.

Kita kembali berfilsafat dengan alasan yang sama ketika kita berkelana: melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, menggali keindahan yang terkubur, dan menemukan cara baru menjelaskan keberadaan kita. Kita ingin mempelajari cara merenung. Menghadapi penyesalan. Meneguhkan harapan.

Di dalam The Socrates Express ini, Weiner mengajak kita berkelana bersamanya, pada perburuan kebijaksanaan yang mengubah hidup dan menemukan jawaban atas perenungan-perenungan paling penting.

KATA PENGANTAR

Oleh Henry Manampiring

Penulis Filosofi Teras

Jika saya bertanya apakah manusia zaman sekarang berbeda dengan mereka yang hidup 100 tahun, 200 tahun, bahkan 2.000 tahun yang lalu, mungkin jawaban kebanyakan orang akan spontan menjawab, “Iyalah tentunya!” Rasanya perubahan zaman adalah keniscayaan, yang bisa kita amati dari pelajaran buku sejarah, atau menikmati album foto kakek-­nenek kita.

Jangankan dalam rentang 100 tahun. Bahkan, sepanjang rentang hidup, saya yang tidak bisa dibilang terlalu lama ini, sudah begitu banyak perubahan yang saya saksikan. Ambillah hal paling sepele, seperti menikmati musik. Waktu kecil, saya tumbuh dengan mendengarkan kaset (entah berapa dari pembaca yang tahu apakah itu ‘kaset’!), kemudian merasakan era Compact Disc. Kemudian membeli musik dari iTunes. Dari sibuk mengatur tempat di rak untuk kaset dan CD, perilaku berganti mencari tempat di hard disk untuk koleksi lagu. Belum lama saya bangga dengan koleksi lagu­-lagu saya, teknologi sudah berganti lagi menjadi streaming. Tiba-­tiba, musik tidak perlu lagi menghuni ruang fisik di rumah, semua nada kesukaan saya katanya sudah menghuni “surga” (cloud server!).

Bukan hanya cara mendengarkan musik seperti uraian saya sebelumnya, tetapi juga menyimpan tema lain selain format penyimpanan musik dan cara menikmatinya. Benar, bahkan dalam masa hidup saya saja, musik sudah berpindah dari format analog menjadi digital. Tetapi, kenikmatan dari musik yang bagus tidak pernah berubah sejak dahulu sampai sekarang. A good music is good music. Sebuah lagu dan rangkai lirik yang bagus akan selalu menawan hati kita, bagaimanapun cara mendengarkannya. Apakah itu komposisi agung Mozart, dentuman hasrat dari Queen, sampai irama lincah mengajak menari dari Blackpink, dinikmati di konser hidup sampai di smartphone, manusia selalu senang mendengarkan musik yang indah.

Dan lanturan saya soal musik tadi bisa menjadi analogi perkembangan manusia dan hubungannya dengan filsafat. Teknologi sampai budaya bisa berubah dengan cepat. Iklim politik dunia dan negara bisa berganti. Tetapi ada sisi terdalam dalam manusia yang rasanya tidak berubah banyak dengan nenek moyang kita yang hidup ribuan tahun yang lalu. The bad news, masalah hidup manusia yang terdalam ternyata tidak pernah berubah. Saya tidak berbicara soal masalah sakit penyakit tubuh, di mana kemajuan dunia medis sudah sangat luar biasa (walaupun saat Kata Pengantar ini ditulis, dunia masih sedang pusing berkunang­-kunang menerima bogem mentah dari sebuah virus yang tak kasatmata!)

Saya berbicara tentang sakit penyakit di jiwa. Bukan, bukan sakit jiwa yang berupa kondisi psikotik, atau kepribadian ambang. Tetapi segala kesusahan jiwa yang menimpa semua umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ini semua adalah jatah takdir kita semua yang terlahir sebagai manusia. Kita harus mengalami kecemasan, stress, kegalauan, kecemburuan, kemarahan, iri hati, dengki, takut akan mati, dendam, patah hati, dan begitu banyak emosi negatif lainnya. Di sebagian orang, emosi negatif ini terlihat jelas dari luar, terpancar dari ekspresi atau laku hidupnya. Tetapi di sebagian orang lain, hal-­hal ini tersembunyi di balik topeng dan lakon yang tampak sempurna, sampai kita dikejutkan berita seorang selebrita yang tampak bahagia tiba­-tiba menggantung diri, tanpa pertanda. Ini semua sudah diderita umat manusia sejak dahulu kala, dari zaman kereta kuda hingga mobil listrik.

Now for the good news. Untuk kabar baiknya. Jika masalah di jiwa ini sudah berusia puluhan abad, maka ada kemungkinan solusinya pun sudah ditemukan selama puluhan abad. Dan inilah yang ditawarkan filsafat. Seperti kata Epicurus, filsuf yang hidup di Yunani tahun 341-­270 SM (lebih dari 2.300 tahun yang lalu!), “Sia-sialah ujaran para filsuf ... jika ia tidak bisa mengusir penderitaan di jiwa.” Menemukan filsafat bukanlah menemukan topik usang membosankan, melainkan justru menemukan obat untuk kesusahan jiwa yang sering kali tidak bisa disembuhkan dengan segala teknologi mutakhir, media sosial, dan smartphone kita.

Ini yang saya temukan dan rasakan saat menulis Filosofi Teras pada tahun 2017 sampai 2018. Saat didera depresi klinis yang mengharuskan saya meminum obat antidepresi. Di tengah terapi psikiatri, semesta berketetapan untuk saya menjumpai sebuah aliran filsafat yang dikenal dengan Stoisisme, dalam bentuk sebuah buku yang saya temui di tumpukan Buku Baru di toko buku. Dari sebuah buku, saya menjadi penasaran untuk mempelajari lebih dalam mengenai Stoisisme, karena filsafat ini saya rasakan mengerti kesusahan jiwa saya pada abad ke­-21, padahal Stoisisme lahir 300 tahun sebelum Masehi.

Saat saya membaca berbagai tulisan asli filsafat ini (yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris), saya merasa bagaikan membaca tulisan yang ditulis pada abad ke-­21. Mengapa? Karena banyak permasalahan manusia pada zaman dahulu ternyata masih tidak berubah sampai saat ini. Perilaku orang yang menyebalkan, apakah itu di pasar di Romawi kuno atau di gedung kantor modern, ternyata sama saja. Ketakutan kita akan wabah penyakit, atau jatuh miskin, tidak ada bedanya baik itu menimpa Kaisar maupun karyawan. Kekhawatiran tentang omongan orang, entah di Senat Kekaisaran Roma, atau di Instagram, tidak ada bedanya. Para filsuf Stoic membedah “kanker jiwa” ini dengan logika dan kebijaksanaan yang tidak lekang oleh waktu.

Pengejaran, pembelajaran, dan pencarian ini membantu kesembuhan saya dari depresi klinis yang saya derita, sehingga saya bisa lepas dari terapi obat­-obatan dalam waktu yang relatif singkat. Karena sudah merasakan sendiri efektivitas terapi jiwa berusia ribuan tahun ini, saya terdorong untuk menulis Filosofi Teras agar para pembaca Indonesia pun bisa mendapatkan pertolongan yang telah saya rasakan.

Dan saya rasa, perjalanan flosofis dan keinginan berbagi inilah yang juga dirasakan Eric Weiner dalam bukunya The Socrates Express. Membaca buku ini seperti menaiki sebuah kereta dengan tujuan rahasia, dan tiket yang sudah dibelikan sang penulis. Kita diajak ke Yunani kuno, bertemu Epicurus, Marcus Aurelius, dan Epictetus, sebelum kemudian kita bisa bertolak ke Eropa abad ke­-20, mendengarkan Simone de Beauvoir dan Simone Weil. Kita bisa mengambil rel mundur ke India, menapaki jejak kaki Gandhi, atau pergi ke Asia Timur kuno, belajar kebaikan hati dari Confucius, dan menerima segala ketidaksempurnaan yang indah bersama Sei Sh?nagon.

The Socrates Express lebih dari sekadar sebuah tulisan eksposisi pemikiran para filsafat dengan rentang periode 2.000 tahun. Ini bukan sebuah buku teks. Saya lebih melihatnya sebagai sebuah jurnal perjalanan yang terasa bagai nasi rames. Di situ ada campur aduk lauk; telur, sayuran, daging sayat, sambal, sampai kerupuk. Begitu juga menikmati buku ini adalah menikmati dalam totalitas. Karena ini juga nasihat dari para ?lsuf purba. Janganlah kita belajar ?lsafat sebagai sebuah teks yang indah, untuk dikutip dan dipasangkan dengan gambar indah di media sosial. Filsafat adalah tentang kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan berbeda dengan pengetahuan. Jika pengetahuan bisa tersimpan rapi dalam teks, kebijaksanaan hanya bisa dikecap dalam hidup nyata, dalam laku hidup, dalam realita yang sering kali chaos, dan penuh hal-­hal tidak menyenangkan.

Eric Weiner meramu perjalanannya sebagai pengalaman traveling “nasi rames”. Kita tidak hanya diperkenalkan dengan ajaran ?lsafat yang masih relevan dengan kehidupan masa kini, tetapi juga kehidupan para filsufnya. Filsafat tidak lahir dalam sebuah vakum, tapi merupakan buah pemikiran manusia. Maka, tidak lengkap memahami sebuah ajaran filsafat tanpa mengerti kehidupan dari para pemikirnya. Di sini Weiner piawai sekali merajut sisi eksentrik Schopenhauer, tantangan memerintah sebuah kekaisaran dari Aurelius, keresahan akhir hidup dari Rousseau. Jika filsafat adalah sebuah laku hidup, bukan hanya teks mati, maka laku hidup dari para pencetus filsafat ini penting untuk diketahui. Weiner meracik pemikiran dan kisah pemikirnya dengan takaran bumbu yang pas. Tidak ada yang terlalu dominan atau menjadi teks yang berat.

Tetapi jika kita hanya berkutat dengan paparan filsafat dan pemikirnya, maka buku ini tidak ada bedanya dengan buku sejarah filsafat yang telah banyak beredar. Di sinilah Weiner memasukkan bumbu ketiga yang menjadikan The Socrates Express sebuah pengalaman hari ini: dirinya sendiri. Eric Weiner bukan hanya seorang saksi dan pelapor. Eric Weiner menjadi pelaku dalam perjalanan panjang ini. Kecintaannya pada traveling dengan menggunakan kereta tidak hanya menjadi selingan kehidupan hari ini di tengah­-tengah perjalanan mesin waktu filosofis kita, tetapi menjadi bumbu penting buku ini. Weiner membawa kita ke tempat-­tempat bersejarah, tempat para filsuf itu dulu hidup, bagaikan sedang menjalani sebuah wisata virtual. Sama seperti filsafat membutuhkan sosok manusia pemikirnya untuk lahir, filsafat juga lahir di sebuah ruang—sebuah negara, sebuah kota, sebuah jalan, sebuah gubuk, sampai sebuah pojok ruangan. Weiner menceritakan ini semua dengan sangat deskriptif, tapi tidak berlebihan dalam detail. Entah itu menara sebuah kastel Abad Pertengahan, atau kolam kotor yang sekilas tidak menarik, atau istana kaisar Jepang yang megah dan indah—Weiner menunjukkan bahwa pemikiran besar juga memerlukan ruang untuk hadir pada awalnya.

Selain tempat, Weiner juga menemui manusia-­manusia masa kini yang masih mempraktikkan atau mendalami filsafat. Mereka membagikan perspektif masa kini mengapa filsafat purba masih bisa menolong kita semua mengusir ‘penyakit jiwa’. Ada yang berdakwah, ada yang bereksperimen, ada yang berkemah. Berbagai macam cara mereka untuk menghidupkan dan menghidupi filsafat di masa kini. Jika pembaca masih ada yang skeptis apa relevansinya belajar filsafat di masa sekarang, semoga bagian ini bisa membantu mengubah perspektif Anda.

Akhir kata, buku ini bukanlah “bacaan”, tapi “perjalanan”. Siapkan baju yang nyaman, mungkin bawa sedikit cemilan manis. Seduhlah kopi atau teh, dan nikmati The Socrates Express ini, ke mana pun ia membawa. Harapan saya, kamu tidak hanya melihat-­lihat pemandangan dan ngobrol dengan orang-­orang menarik, tetapi membawa cendera mata termulia: perubahan menjadi manusia yang lebih baik.

Selamat membaca!

Jakarta, 20 Oktober 2020

Tentang ERIC WEINER

Spesifikasi Produk

SKU QA-57
ISBN 978-602-402-191-7
Berat 350 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm
Halaman 520
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk