Hubungan sepasang kekasih yang didominasi pihak wanita, aktor kelas dua yang mendadak terkenal, kolumnis koran kota kecil yang harus menghadapi modernisasi, kehidupan seorang janda yang terus didekati tetangga barunya, dan yang paling unik: kisah seorang pria yang berusaha kabur dari ketenaran instan yang dia dapatkan.
Itulah sederet tema yang diangkat Tom Hanks dalam antologi Uncommon Type, yang terdiri dari 17 cerita pendek. Untuk pertama kalinya, aktor pemenang dua Piala Oscar ini berbagi kisahnya kepada dunia bukan melalui media film—sebuah kesempatan untuk menyelami pikiran dan pandangannya tentang persahabatan, keluarga, cinta, dan keseharian manusia.
NUKILAN
Tiga Minggu yang Melelahkan
HARI KE-1
ANA BILANG, HANYA ADA satu tempat untuk mencari hadiah bermakna bagi MDash—Antique Warehouse, yang lebih mirip pasar loak permanen di lokasi bekas Lux Theater alih-alih tempat harta karun kuno. Sebelum HBO, Netflix, dan 107 saluran hiburan lainnya membangkrutkan Lux, aku pernah duduk selama berjam-jam di gedung bioskop yang dulunya megah itu dan menonton banyak film. Kini, tempat itu berupa deretan kios yang bisa dibilang menjual barang antik. Aku dan Anna menjelajahi semuanya satu per satu.
Sebentar lagi, MDash akan menjadi warga negara AS lewat naturalisasi, dan ini peristiwa besar bagi dia dan kami. Kakek nenek Steve Wong dinaturalisasi pada tahun empat puluhan. Ayahku kabur dari preman-preman kelas teri alias Kaum Komunis Eropa Timur pada 1970-an dan, dahulu kala, nenek moyang Anna mendayung perahu melintasi Lautan Atlantik Utara untuk menjarah apa pun yang bisa dijarah di Dunia Baru. Menurut legenda keluarga Anna, mereka menemukan Martha’s Vineyard.
Sebentar lagi, Mohammed Dayax-Abdo akan menjadi orang Amerika tulen, jadi kami ingin memberinya sesuatu yang klasik, objet d’patriotic1 yang mengandung pusaka dan humor negara barunya. Menurutku, wagon Radio Flyer kuno di kios kedua itu sempurna. “Saat memiliki anak-anak Amerika, dia akan mewariskan wagon itu kepada mereka,” kataku.
Namun, Anna tidak mau membeli barang antik pertama yang kami jumpai. Jadi, kami terus berburu. Aku membeli bendera Amerika dengan empat puluh delapan bintang, dari 1940-an. Bendera itu akan mengingatkan MDash bahwa negara angkatnya tidak pernah selesai membangun diri sendiri— bahwa warga negara yang baik pasti mendapat tempat di dataran suburnya, sama seperti bintang-bintang tambahan bisa mengisi bidang biru di atas garis-garis merah putih pada bendera. Anna setuju, tetapi terus menggeledah, mencari hadiah yang jauh lebih istimewa. Dia ingin barang unik yang tiada duanya. Setelah tiga jam, dia memutuskan bahwa Radio Flyer itu ternyata ide bagus.
Hujan mulai turun persis ketika kami meninggalkan pelataran parkir dalam VW Bus milikku. Kami harus berkendara pelan-pelan ke rumahku karena bilah-bilah wiper mobilku begitu tua hingga meninggalkan aliran air di kaca depan. Badai terus mengamuk hingga malam. Jadi, alih-alih menyetir pulang, Anna tetap tinggal, memutar kaset kompilasi lagu lama milik ibuku (yang telah kupindahkan ke CD), memuji selera eklektik Mom ketika musik beralih dari Pretenders ke O’Jays dan ke Taj Mahal.
Ketika Real Wild Child dari Iggy Pop mengalun, dia bertanya, “Kau punya musik dari dua puluh tahun terakhir?”
Aku membuat burrito daging. Anna minum anggur. Aku minum bir. Dia menyalakan perapian Franklin-ku, berkata dia merasa seperti wanita penjelajah di padang rumput. Kami duduk di sofa ketika malam menjelang, satu-satunya cahaya berasal dari perapian, dan level audio di sound system-ku beralih dari hijau menjadi oranye dan terkadang merah. Petir di balik awan tampak berkilau dalam badai yang berkilometer-kilometer jauhnya.
“Tahukah kau?” kata Anna kepadaku. “Ini Minggu.”
“Tentu,” jawabku. “Aku menikmati saat ini.”
“Itulah yang kukagumi darimu. Pintar. Perhatian. Santai hingga mendekati kemalasan.”
“Kau beralih dari pujian menjadi hinaan.”
“Ubah kemalasan menjadi kelambanan,” kata Anna sambil menyesap anggur. “Intinya, aku menyukaimu.”
“Aku juga menyukaimu.” Aku bertanya-tanya apakah percakapan ini punya maksud tertentu. “Kau merayuku?”
“Tidak,” jawab Anna. “Aku mengajukan proposisi kepadamu. Sesuatu yang benar-benar berbeda. Merayu adalah memancing. Mungkin kau terpancing, mungkin tidak. Mengajukan proposisi adalah langkah pertama dalam meraih kesepakatan.”
Harap maklum bahwa aku dan Anna sudah saling mengenal sejak sekolah menengah atas (St. Anthony Country Day! Go, Crusaders!2). Kami tidak berkencan, tetapi berada dalam lingkup pertemanan yang sama dan saling menyukai. Setelah beberapa tahun kuliah, dan beberapa tahun lagi merawat ibuku, aku mendapatkan lisensi dan berpura-pura mencari nafkah dari bisnis real estat selama beberapa waktu. Suatu hari, Anna berjalan memasuki kantorku karena dia harus menyewa tempat untuk bisnis grafisnya dan akulah satu-satunya agen yang bisa dipercayainya karena aku pernah mengencani temannya dan tidak bersikap menyebalkan ketika hubungan kami berakhir.
Anna masih sangat cantik. Dia tidak pernah kehilangan tubuh ramping kencang seorang atlet triatlon dan, sesungguhnya, memang begitulah dia dulu. Seharian aku menunjukkan beberapa tempat yang tersedia, tetapi dia tidak menginginkan satu pun dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal bagiku. Aku bisa melihat bahwa dia masih tetap kaku, fokus, dan ambisius seperti dulu, saat di SACD. Matanya terlalu tajam ketika melihat detail-detail terkecil dan dia tidak menyisakan sesuatu pun yang belum diungkap, diteliti, dicatat, atau digantikan jika perlu. Anna Dewasa sangat melelahkan. Anna Dewasa bukan tipeku, sama seperti Anna Remaja dulu.
Jadi, rasanya menggelikan karena aku dan dia malah menjadi teman yang sangat akrab, jauh lebih dekat daripada semasa kami kecil. Aku adalah salah seorang pemalas dan penyendiri yang bisa bersantai sepanjang hari dan tak pernah merasa menyia-nyiakan waktu sedetik pun. Sesungguhnya, begitu aku menjual rumah ibuku dan memasukkan uangnya ke beberapa investasi, aku meninggalkan pekerjaan palsuku dan menjalani Kehidupan Terbaik yang Bisa Dibayangkan. Beri aku sejumlah cucian yang harus dikerjakan dan pertandingan hoki di saluran NHL, maka aku akan baik-baik saja sepanjang siang. Pada sepanjang waktu yang kuhabiskan untuk bersantai memilah cucian putih dan berwarna, Anna melapisi dinding loteng, menyiapkan laporan pajak, membuat pasta sendiri, dan memulai ajang pertukaran pakaian di Internet. Dia mencuri-curi tidur dari tengah malam hingga fajar dan punya energi untuk beraktivitas dengan penuh semangat sepanjang hari. Aku tidur nyenyak selama mungkin dan tidur siang setiap hari pukul 2.30.
“Sekarang, aku akan menciummu.” Anna melakukan apa yang baru saja dia katakan.
Selain kecupan ringan di pipi diiringi pelukan singkat, kami tidak pernah melakukan keintiman lainnya. Malam itu, dia menawarkan versi baru dirinya dan aku berdebar, kebingungan.
“Hei, tenanglah,” bisik Anna. Lengannya merangkul leherku. Dia beraroma sangat menyenangkan dan terasa seperti anggur. “Ini Sabat. Hari istirahat. Tidak akan melelahkan.”
Kami kembali berciuman, kali ini aku menjadi peserta yang tenang dan aktif. Lenganku memeluknya dan menariknya mendekat. Kami saling menyandar dan perlahan berubah santai.