MAHARANI
Lucy Makaila. Mantan sahabat sekaligus mimpi burukku.
Mantan kekasih suamiku.
Aku tidak ingin dia kembali. Aku ingin dia lenyap dari muka bumi.
Tidak bisakah sesederhana itu saja, seperti dalam novel romansa?
Tokoh pria jatuh cinta kepada tokoh wanita?
Mengapa selalu ada pihak ketiga?
DANU
Lucy Makaila. Satu-satunya wanita yang pernah dan akan terus kucintai.
Maharani. Istri dan ibu dari anakku.
Wanita yang tidak memiliki tempat dalam hati maupun pikiranku.
Lucy kembali dan aku harus meninggalkan Maharani.
Sesederhana itu.
Seharusnya.
Kesan-Kesan Menulis Placebo
Oleh: Pia Devina
Oktober 2016, saya pertama kali menulis Pilar Rengkah di Storial, salah satu platform menulis online. Cerita ini mengisahkan sepasang suami istri yang rumah tangganya nyaris karam saat mantan kekasih sang suami kembali ke dalam hidup mereka. Bahkan, kehadiran seorang anak perempuan dalam keluarga kecil mereka tak mampu memadamkan perasaan cinta sang ayah kepada mantan kekasihnya.
Pilar Rengkah diikutsertakan dalam “Fiction Writing Competition Inspired by Classical Novel” yang diselenggarakan oleh Indonesia Book Club dan Telkom Indonesia, di mana kisah yang dilombakan dalam event ini harus berasal dari novel-novel klasik Indonesia. Dari sanalah saya menjadikan Salah Asuhan terbitan Balai Pustaka menjadi inspirasi menulis saya.
Mengapa saya memilih Salah Asuhan sebagai inspirasi? Dalam kisah yang ditulis oleh Abdul Muis ini, saya menemukan tokoh-tokoh yang karakternya membuat saya sebagai pembaca menjadi kesal sendiri. Namun, karakter-karakter itulah yang justru menarik perhatian saya, membuat saya tergerak untuk menulis cerita dengan starting point: mencintai pria yang selalu menyimpan nama wanita lain di dalam hatinya.
Saya menulis Pilar Rengkah dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Selain karena bentuk tulisannya adalah novela (lebih pendek daripada novel), saya juga ngebut mengejar deadline pengumpulan naskah yang saat itu sudah mepet—berhubung saat itu saya juga sedang kejar-kejaran dengan tugas kantor.
Kurang dari tiga minggu, tulisan saya selesai. Sejak awal, sadar karena deadline lomba ini sudah sangat mepet, saya sengaja membuat plot cerita dari awal sampai akhir, untuk memudahkan saya “bergerak” dengan kisah dalam Pilar Rengkah ini. Dengan strategi ini, syukurlah saya bisa menulis dengan lancar—oh, dengan baper-baper sendiri waktu menuliskannya. Ada adegan yang bahkan sampai sekarang saya masih ingat betul deskripsi bagian per bagiannya karena memang saat menuliskannya, saya seperti sedang menonton adegan itu di dalam kepala saya.
Tulisan saya pun kemudian rampung beberapa saat sebelum perlombaan ditutup. Lega! Akhirnya saya bisa tetap ikut lomba, walaupun entah hasilnya nanti akan menang atau tidak. Yang pasti, saya sudah memiliki prestasi untuk diri sendiri: tulisan yang saya mulai, bisa berjumpa dengan ending-nya.
Lalu, beberapa minggu kemudian, syukur kepada Allah Swt., tulisan saya menjadi juara tiga dalam lomba tersebut. Rasa senangnya sudah tingkat tinggi karena tidak menyangka bisa menjadi juara tiga di antara naskah-naskah kece lain di Storial!
Kebahagiaan dan rasa syukur saya untuk novela Pilar Rengkah rupanya tidak hanya sampai di sana. Suatu siang, beberapa bulan setelah pengumuman pemenang lomba, seorang editor dari Penerbit Noura Books saat itu, Mas Teguh Afandi, mengirimi saya pesan via Instagram. Kaget sekaligus senang, beliau bilang, Mas Bernard Batubara, penulis yang sudah melahirkan banyak sekali karya keren, merekomendasikan Pilar Rengkah untuk dijadikan novel! Senangnya dobel-dobel banget! Apalagi saat konfirmasi ke pihak Storial dan menanyakan izin apakah Pilar Rengkah bisa dikembangkan menjadi novel di penerbit mayor, pihak Storial juga menyambut dengan sangat baik!
Setelahnya, dimulailah masa-masa saya membuat plot cerita untuk novel yang dikembangkan dari novela ini. Sampai kemudian, voilaaa! Jadilah novel Placebo, yang kemudian dilanjutkan dibidani oleh Mbak Editor Penerbit Noura Books, Yuli Pritania.
Novel Placebo memiliki “kedekatan” tersendiri di hati saya. Selain karena ada tokohnya yang berprofesi similar dengan profesi saya sendiri, kisah fiksi yang saya tulis ini juga malah membuat penulisnya terbawa perasaan, hehehe ….
Semoga perasaan yang sama, juga hadir di hati para pembaca kesayangan. So then, here’s the story for you: a (hopefully) heartwarming novel, Placebo.
NUKILAN
Prolog
Mei, tujuh tahun lalu.
BAGI SEMUA ORANG YANG melihat dunia Maharani Dewanti sekarang, segalanya tampak sempurna. Ara—seperti itulah dia biasa dipanggil—tersenyum kepada orang-orang yang memenuhi grand hall Greenflower, salah satu hotel bintang lima di Jakarta Pusat. Para undangan berdecak kagum, menyampaikan betapa memukaunya penampilan Ara pada hari bahagianya itu. Di samping wanita itu, berdiri Danu Adyatama yang juga terlihat gagah dalam balutan jas pernikahannya.
Serasi!
Cantik dan ganteng, pas!
Mereka lulusan luar negeri, punya karier bagus. Kurang apa, coba? Kloplah, pokoknya!
Pasti mereka saling jatuh cinta ….
Semua komentar bernada serupa terus bergulir di antara obrolan para undangan. Banyak tamu yang tak segan menyampaikan komentar itu saat bersalaman dengan Ara dan Danu di pelaminan. Ara tersipu. Tak jarang jantungnya berdegup keras selama resepsi. Hidupnya kini telah berubah. Dia bukan lagi wanita lajang. Danu telah menjadi suaminya—pria yang Ara yakini akan menemaninya seumur hidup.
Greenflower malam itu didesain dengan tema musim dingin. Ketika memasuki hall, tamu disuguhi pemandangan ruangan yang dipenuhi bunga mawar putih, dilengkapi bunga kertas berwarna biru hingga broken white. Pita-pita biru laut melilit cantik di antaranya. Taplak putih bermotif burung perak keemasan menghiasi ruangan untuk memberi sentuhan hangat. Di beberapa spot, ada ice carving berukir huruf M & D sebagai inisial pasangan pengantin. Lagu Say You Won’t Let Go James Arthur mengalun syahdu ke seantero ruangan. Suasana resepsi tersebut membuat para tamu ikut terbawa romantisme malam itu.
All these perfect things, in this perfect wedding. Itu yang semua orang pikirkan. Dan, itu pula yang Ara harapkan menjadi kenyataan.
Sesekali, Ara meremas bagian samping gaun A-Line putih yang dia kenakan. Dia masih tak percaya dengan perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya. Sesekali, dia melirik Danu, tetapi suaminya itu fokus kepada para tamu yang datang. Pria itu tampak jauh lebih rileks dibandingkan dirinya.
Bima, salah satu tim Bright Velvet, wedding organizer acara pernikahan Ara dan Danu, berdiri di depan pelaminan dan mengangkat sebelah tangannya ke atas, memberi tanda kepada kedua pengantin agar melihat ke arahnya. Dia tersenyum, lalu berkata dengan suara cukup keras, “Satu ..., dua ..., tigaaa!”
Ara menunjukkan senyum terbaiknya. Senyum penuh bahagianya. Namun, pada detik berikutnya, Ara merasa ada gemuruh yang tiba-tiba merangkak naik. Tangannya semakin berkeringat karena waswas. Dia bahagia, dia tahu itu. Namun, jauh di dalam hatinya, masih ada kecemasan yang bersembunyi dalam diam. Seperti kekuatan terakhir yang tersimpan dalam kotak Pandora yang tak ingin dia buka.
Wanita itu berniat menoleh ke sebelah kanan, kepada pria yang telah resmi menjadi suaminya sejak tiga jam sebelumnya. Namun, di sisi lain, dia takut melakukan itu, padahal sebelumnya tidak ada masalah. Kali ini, ada kekhawatiran, bahwa jika dia menoleh sedikit saja, semua keindahan di dunianya bisa lenyap dalam satu tiupan pelan.
“Ra ....?”
Ara tersentak kaget saat ibunya sudah berdiri di samping kirinya. Rupanya, Bima meminta mereka berpose untuk foto keluarga: Ara, Danu, dan kedua pasang orangtua mereka.
“Eh, i-iya, Ma ...,” ucap Ara terbata. Dia menguntai senyum, tetapi yang terbentuk malah ringisan grogi. Cepat-cepat Ara berusaha meluruhkan gemuruh yang masih belum hilang sepenuhnya di dadanya.
Heni Wiryanti memandangi putrinya itu selama beberapa detik. Tak ada kata yang terucap. Hanya sebuah tatapan yang membuat Ara tiba-tiba ingin menangis dan memeluk ibunya erat. Namun, Ara tidak mungkin melakukan itu. Ini hari bahagianya, bukan? Ara menyuruh dirinya sendiri mengusir ketakutan itu.
“Sini, Sayang,” Heni menggandeng lengan Ara, tersenyum untuk memberi kekuatan kepada anaknya.
Ara menarik napas dalam, mengulaskan senyum terbaiknya, kemudian menoleh ke sisi kanan. Kepada pria yang menatap lurus ke arah kamera, atau mungkin ke arah kerumunan—yang jelas bukan kepada Ara.
Ara lantas mengumpulkan semua keberanian, harapan, dan mimpinya pada satu titik yang sama: pria yang berdiri di sampingnya. Lalu, wanita itu berbisik lembut di telinga Danu, “Mas,” panggilnya. Satu detik, dua detik, Ara menanti respons. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming, mengabaikan wanita yang telah melabuhkan hati dan raga kepada dirinya.
“Danu, dipeluk, dong, Ara-nya. Jangan terlalu kaku gitu.” Seorang wanita yang berdiri di kanan Danu sedikit memiringkan tubuh, menghadap kepada Ara sambil tersenyum penuh bahagia. Wanita itu adalah Fatima, ibu Danu. Tak lama kemudian, Danu menoleh kepada Ara dan mengikuti instruksi ibunya. Pria itu seakan baru kembali menjejak bumi setelah sekian lama tersesat dalam dunianya sendiri.
Saat pandangan Ara dan Danu akhirnya bertemu, Ara memiliki firasat pernikahannya tidak akan seindah yang semua orang bayangkan.[]
Bab 1
Di salah satu bagian St. James’s Park, gadis kecil berusia enam tahun bernama Adrien Faranisa terpana memandangi pasukan berseragam merah dan hitam yang mengenakan topi hitam tinggi. Pasukan itu berbaris sangat rapi, berulang kali mengentakkan kaki dalam ritme yang sama persis.
“Mama, bagus!” gadis itu memekik senang melihat festival yang kini disuguhkan di depan matanya. Trooping the Colour, festival yang sejak beberapa bulan lalu sudah membuat anak itu ribut karena ingin menontonnya secara langsung bersama kedua orangtuanya, membuatnya antusias bukan main.
“Adrien happy?” tanya wanita di samping Adrien. Dia agak menunduk saat bicara, berusaha menyejajari pan dangan putri semata wayangnya. “Lebih bagus yang ini atau yang Adrien tonton di TV?”
Adrien menjawab cepat pertanyaan ibunya, “Happy! Lebih bagus yang ini, dong, Ma! Tuh, mereka jalannya kayak robot!” Dia lantas memekik penuh semangat, lalu tertawa, lalu memekik lagi.
Melihat Adrien yang tampak sangat gembira, Ara ikut senang bukan main. Akhirnya, festival yang sudah lama dibicarakan Adrien sejak anak itu menonton perayaannya di TV tahun lalu, kini bisa mereka tonton langsung di Horse Guards Parade di St. James’s Park. Butuh effort yang tak mudah bagi Ara untuk mendapatkan tiket. Empat bulan sebelum hari-H, Ara sudah sibuk mencari cara untuk membeli tiket itu.
“Mereka belajar baris berapa lama, Ma?” Adrien bertanya lagi. Tak lama, dia menunjuk kuda putih yang ada di bagian tengah pasukan. “Itu! Kuda yang itu, Ma! Baguuus! Adrien boleh naik, Ma?” rengeknya kemudian.
Ara tertawa melihat ekspresi anaknya. “Belajarnya sering pasti, Nak. Nanti Adrien naik kudanya yang boleh dinaikin aja, ya, jangan yang itu, ” jawabnya, masih tertawa. Gemas melihat putri kesayangannya. Tak lama kemudian, Ara ikut memfokuskan pandangannya kepada pasukan yang masih baris-berbaris merayakan ulang tahun sang Ratu Inggris.