Ketersediaan : Tersedia

URBAN THRILLER: VE

Deskripsi Produk

“Bapak bilang, perempuan itu kodratnya di bawah lelaki.” PERATURAN BAPAK   Orangtua berhak membunuhmu. Perempuan tidak usah banyak membaca karena ilmu selain dari Bapak itu sia-sia. Perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi karena tidak boleh melebihi laki-laki.

Baca Selengkapnya...

Rp 59.000

Rp 30.000

“Bapak bilang,
perempuan itu kodratnya di bawah lelaki.”

PERATURAN BAPAK
 

  • Orangtua berhak membunuhmu.
  • Perempuan tidak usah banyak membaca karena ilmu selain dari Bapak itu sia-sia.

Perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi karena tidak boleh melebihi laki-laki.

Tentang Vinca Callista

Resensi

NUKILAN Situasi Emosi #1: Bingung “Ibu pergi.” Ayahmu berkata ketika kamu memergokinya duduk sendirian di kegelapan, di antara pakaian berserakan dan koper-koper menganga di lantai. Ayah termenung, sama sekali tidak mengangkat kepala untuk menatapmu saat menyampaikan kabar mengejutkan itu. Kamu butuh waktu beberapa detik untuk mencerna maksud perkataan Ayah dan tertawa karena kamu tidak mengerti. Kamu baru pulang pagi itu. Semalaman, kamu berada di tempat Akar dalam sebuah pesta yang sangat seru. Akar menjamu teman-temannya untuk perayaan satu tahun kafe di perpustakaan milik keluarganya. Kamu membuka pintu apartemen dan mendapati ruang tamu yang kosong. Biasanya, Ibu sudah membuka gorden-gorden pukul segini. Dia sangat menyukai pemandangan saat hari terang dari apartemen di lantai enam itu. Namun, ruang tamu remang-remang belum terjamah Matahari. Kamu mengabaikan gorden-gorden itu dan terus berjalan menuju kamarmu karena mengantuk. Setelah perutmu kenyang menyantap sarapan lezat buatan mami Akar, kamu membayangkan ranjangmu yang nyaman dan berniat langsung melanjutkan tidur. Namun, ketika melintasi kamar orangtuamu, kamu mendapati pintu terbuka lebar dan melihat Ayah tengah termangu. Dia terduduk lunglai dan sorot mata kosong. Kamu spontan berhenti di ambang pintu. Ayah yang menyadari kehadiranmu langsung mengumumkan berita buruk itu. “Ibu pergi ke mana, Yah?” Kamu terheran-heran. Pelan-pelan kepala Ayah bergerak, menoleh ke wajahmu dengan ekspresi tidak berdaya. “Kabur. Ke luar negeri. Demi selingkuhannya.” Matamu langsung membelalak. “Hah? Kabur ke luar negeri?! Kabur gimana maksudnya, Yah?! Ayah bercanda, ya? Ibu sama Ayah mau bikin surprise buat aku, ya? Surprise apa, sih? Ulang tahun aku, kan, masih lama! Ayah beliin aku apa, ayooo? Ayah sama Ibu bikin home theatre, ya? Ibu sembunyi di home theatre itu, ya? Udah, Ayah berdiri aja. Kejutannya udah ketahuan, nih! Hahaha ….” Ayah menatapmu dengan ekspresi geram. Kamu masih sempat terbahak, menganggapnya bercanda. Namun, kemudian Ayah menyergah, “Ibu kamu meninggalkan kita! Dia kabur ke luar negeri karena selingkuhannya!” “Selingkuhan, selingkuhan apa, sih, Yah?! Kok, Ayah ngomongnya ngawur gini?! Ibu mana?!” Kamu jadi agak kesal karena tidak biasanya Ayah menaikkan suaranya sampai setinggi ini. Ayah seketika berdiri dan mencengkeram kedua bahumu. Dia berteriak sambil mengguncang-guncang badanmu, “Ibu kamu pergi ke London nyusul si Henry! Dia selingkuh! Si jalang itu milih si berengsek daripada kita!” Kamu tidak terima ibumu dipanggil jalang. Semua ini membuat aliran darahmu berdesir terlampau kencang, sampai-sampai jantungmu terasa siap meledak. Informasi yang Ayah hadirkan mulai menancapkan diri dalam benakmu sebagai sebuah kenyataan, tetapi kamu tetap tidak mau menerimanya. “Bohong!” Kamu pun memekau sambil melepaskan kedua tangan Ayah dari bahumu. Kemudian, kamu buru-buru berjalan keluar kamar sambil mengambil ponsel dan menelepon Ibu. Ponselnya tidak aktif. Sambil berdiri di antara sofa dan televisi dalam ruang keluarga yang terletak di depan pintu kamar orangtuamu, kamu langsung membuka aplikasi chat dan mengetik pesan untuk Ibu. Ibu di mana? Ayah ngomongnya ngaco, nih. Ibu cepat pulang. Pesannya hanya menunjukkan centang satu. Maka, kamu mengirim satu lagi pesan dengan harapan kali ini akan mengubah ketiganya menjadi centang dua. Ibu di mana??? Namun, yang ini pun tetap hanya centang satu. “Cepat bereskan barang-barangmu! Kita ke rumah Nenek sekarang!” ujar Ayah. “Ngapain ke rumah Nenek? Aku enggak mau ke rumah Nenek! Aku mau nunggu Ibu pulang!” sahutmu. “Ibumu tidak akan pulang!” seru Ayah. Tangismu meledak, dan kini kamu mulai menjerit dan melolong, “Kenapa Ibu ninggalin kita, Yah?! Ibu enggak mungkin ninggalin kita! Ibu enggak mungkin ninggalin kita!!!” Kamu berlari ke kamarmu dan membanting pintu, melepas tas dari pundak dan melemparnya begitu saja ke lantai, lalu melompat ke kasur. Kamu tersedu sedan, kepalamu buncah akan situasi ini. Pikiranmu belum berhasil mencernanya, tetapi perasaanmu sudah tahu kalau ini sangat buruk. Pintu kamarmu terbuka dan kamu mendengar Ayah melangkah masuk. Dia menghampirimu dan duduk di tepi tempat tidur sambil membelai rambutmu. “Ve ….” Tangannya kini mengelus-elus dan sedikit memijat bahumu lembut. “Tenang … Ayah masih di sini walaupun Ibu sudah pergi …. Ayah tidak akan meninggalkan kamu, Ve.” Kamu berbalik dan tergugu-gugu. “Ibu betulan pergi, Yah? Kenapa Ibu pergi? Kenapa Ibu bisa tega gini ninggalin kita?” “Ayah juga tidak tahu kalau selama ini ibumu menyembunyikan rahasia dari kita,” jawabnya. “Sekarang, yang penting kita menenangkan diri dulu, ya. Kita pergi dulu dari sini. Kita ke rumah Nenek. Nanti kita pikirkan ke depannya harus bagaimana. Ayo, kamu bereskan barang-barangmu.” Masih tersedak-sedak tangismu sendiri, kamu mengangguk, lalu memeluk Ayah. “Kenapa jadi kayak gini, sih, Yaaah …. Aku enggak percaya Ibu pergi gara-gara Henry ….” Ayah tidak mengatakan apa pun kali ini. Dia hanya sebentar mengusap punggungmu, kemudian beranjak pergi. Ayah keluar dari kamarmu dan menutup pintunya lagi. Kamu kembali menelungkup dan memeluk bantal, lantas menangis lebih keras. Tidak pernah terlintas di benakmu kalau kamu akan pulang pada keadaan buruk yang menghancurkan keluargamu seperti ini. *** Kemarin kamu turun dari ojek di depan gerbang utama tempat kerja Ibu, sebuah universitas populer yang amat bergengsi di kota ini. Kamu berjalan menuju kampus School of Business dan langsung memasuki ruangan dosen. Kamu suka berada di kampus ini karena menguarkan energi positif. Ibu adalah dosen yang mengajar para mahasiswa di Jurusan Kreativitas dan Manajemen Inovasi. “Halo, Ve! Mau ketemu Ibu, ya? Ibu Wineu masih meeting. Kamu silakan tunggu di situ aja,” sapa resepsionis begitu melihatmu memasuki ruangan dosen. Tangannya memberi isyarat agar kamu duduk di sofa yang disediakan di depan ruang rapat. Kamu tersenyum dan mengangguk, lalu mengirim pesan untuk Ibu, memberitahunya bahwa kamu telah tiba. Sepuluh detik kemudian Ibu muncul dari ruang rapat. “Ve! Ayo masuk!” serunya begitu melihatmu. Kamu mengikuti ibumu, dan melihat hanya ada satu orang perempuan lain seusia Ibu. “Barusan aku ngobrol dengan Tante Utta. Nanti Tante Utta yang akan jadi dosen penggantiku selama aku studi Ph.D. di London,” kata Ibu. Tante Utta adalah teman baik Ibu. Dia satu tahun lebih dulu menjadi dosen. Tante Utta berdiri dari kursinya dan menyalamimu sambil menyapa dengan ramah, “Halo, Ve. Bagaimana kabarmu hari ini?” “Baik, Tante,” jawabmu. “Duduk dulu, Ve. Aku ambilkan minum dulu. Air putih, biasa?” kata Ibu. “Iya, air putih aja, Bu. Enggak dingin. Makasih,” timpalmu, seraya duduk di salah satu kursi kosong yang mengelilingi meja pertemuan ini. “Oke.” Ibu beranjak ke meja minuman di sudut ruangan. Sementara itu, Tante Utta telah kembali duduk dan kini menaruh perhatian kepadamu. “Ve lagi sibuk persiapan kuliah, ya? Sekarang sudah sampai mana persiapannya?” tanya Tante Utta. “Aku lagi belajar buat IELTS, Tante. Tesnya bulan depan.” “Harus dapat berapa skornya? Kamu mau masuk jurusan apa?” “Enam-setengah. Aku mau ambil Media and Communications.” “Wah, keren! Nanti kampusnya sama dengan Ibu, ya?” “Iya, Tante.” “Jurusannya sama juga seperti Ibu dulu?” Tante Utta lalu menoleh pada Ibu yang berjalan mendekat sambil membawa segelas air minum untukmu. “Neu, dulu kamu waktu kuliah di London, jurusan apa, sih?” “MA Innovation in Media and Entertainment. Kemarin kita sudah cari tahu soal jurusan S-1 di sana, dan pelajari modulnya buat pertimbangan kamu, ya?” tanya Ibu kepadamu sambil menaruh gelas berisi air minum itu di hadapanmu. Kemudian, dia berpaling lagi pada Tante Utta. “Ve sudah yakin mau pilih jurusan BA Media and Communications. Sekarang tinggal coba daftar ke sana.” “Good. Semoga lancar persiapannya, ya, Ve. Terus berangkat ke London, deh!” ujar Tante Utta, tersenyum lebar. Perempuan itu kemudian menutup laptop di hadapannya dan mengambil tasnya. “Sudah semua, ya, Neu? Aku mau balik ke ruangan.” “Sudah, sudah. Terima kasih banyak, ya, Ta. You help me a lot!” sahut Ibu. “No problem,” kata Tante Utta, siap pergi membawa tas dan laptopnya. “Lancar dan sukses Ph.D.-nya, ya, Neu!” “Thank you, Ta. See you later!” Ibu melambaikan tangan, kemudian beralih kepadamu dengan senyuman lebar. “Sudah tahu mau cat rambut warna apa kali ini?” Kamu pun menyengir, lalu mengangguk pasti. “Merah ombre!”  

Spesifikasi Produk

SKU ND-346
ISBN 978-602-385-707-4
Berat 160 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm
Halaman 208
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk