Banyak yang gagal paham tentang Islam Nusantara. Ada yang menuduh Islam Nusantara merupakan gerakan anti Arab, aliran baru, sekularisasi, pendistorsian, dan pendangkalan Islam. Ada pula yang menggugatnya sebagai bentuk sinkretis antara Islam dan agama Jawa. Bahkan ada yang lebay menganggap ide Islam Nusantara ditunggangi oleh liberalisme dan kapitalisme.
Pandangan-pandangan peyoratif tentang Islam Nusantara perlu dijelaskan. Buku Pintar Islam Nusantara menjawab gagal paham tersebut dengan basis referensi sejarah yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Endorsemen:
“Alhamdulillah, kita Islam Nusantara. Islam yang santun, Islam yang penuh tata krama, Islam yang penuh toleransi. Saya titip,
utamanya para ulama, agar disebarkan, diingatkan, dipahamkan kalau kita beragam. Ini anugerah Allah bagi Indonesia.”
—Ir. H. Joko Widodo, Presiden Ketujuh Republik Indonesia
“Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
—Ir. H. Sukarno, Presiden Pertama Republik Indonesia
“Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘Aku’ jadi ‘Ana’, ‘Sampean’ jadi ‘Antum’, ‘Sedulur’ jadi ‘Akhi’. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya.”
—K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia
“Islam Nusantara adalah Islam yang tidak larut dalam budaya massa. Tetapi terus berkembang berdasarkan dinamika internal masyarakat yang tidak dipaksa lahir oleh globalisasi. Ia tumbuh dari akar sejarah peradaban Islam yang panjang.”
—Ahmad Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa