Buku ini ingin berbicara tentang “Islam Indonesiaâ€. Titik berangkatnya adalah apa yang diamati sebagai conservative turn, yaitu pergeseran atau pembalikan wajah Islam Indonesia ke arah yang konservatif. Empat studi spesifik di sini dengan teliti dan sangat menarik menggambarkan perubahan itu. Indikator pergeseran konservatif yang diberikan di sini amat beragam, mulai dari konflik besar di antara komunitas Muslim dan Kristen di beberapa tempat; pemboman di Jakarta dan Bali dengan korban ratusan orang; juga upaya memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke amandemen UUD 1945, yang diikuti dengan munculnya perda syariah di beberapa wilayah Indonesia; kemunculan gerakan-gerakan baru seperti HTI dan Salafi; dan, yang disebut sebagai ungkapan terjelas pergeseran itu, serangkaian fatwa kontroversial MUI yang muncul pada 2005.
Wajah baru pasca Reformasi ini dikontraskan dengan “wajah Islam yang tersenyum†di masa Orde Baru, yaitu diskursus keislaman yang toleran dan terbuka, sebagaimana dihadirkan Nurcholish Madjid dan Abdurrachman Wahid. Wacana itu mendukung program pembangunan pemerintah, menerima deologi Pancasila, mengembangkan hubungan harmonis dengan non-Muslim, dan menolak gagasan negara Islam. Adanya diskursus-diskursus yang lain tak dinafikan, namun pada masa kejayaannya, diskursus itu bersifat dominan bahkan mungkin hegemonik. Ia mendapat perhatian media massa, berpengaruh diuniversitas, juga Departemen Agama. Pergeseran yang terjadi tak berarti wacana terbuka itu hilang, namun tak lagi dominan, dan inisiatif untuk mendefinisikan wacana keislaman itu kini ada pada Muslim konservatif dan fundamentalis.
Buku ini menampilkan, dalam detail empat kasus, kompleksitas perubahan konstelasi Muslim Indonesia. Dari gambaran terinci itu, mungkin belum cukup alasan mengatakan bahwa kaum toleran-terbuka telah tersisih. Tapi kita tahu juga betapa makin kompleksnya arena permainan, sebagai konsekuensi demokratisasi, dan kemungkinan terjadinya koalisi-koalisi yang bisa mengubah arena dengan signifikan.
Pertanyaan yang tersisa kini, sejauh mana kaum Muslim toleran-terbuka, yang tak terlalu banyak diteliti dalam buku ini, mampu menjawab tantangan itu dalam situasi politik yang lebih demokratis, dengan segala konsekuensinya yang tak selalu menguntungkan mereka.