Sejak 1992, ketika Cak Nur untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “Islam yang hanifâ€, Cak Nur mengkhawatirkan bahaya keberagamaan yang cenderung fundamentalistik dan bersifat kultus pada masyarakat Muslim Indonesia. Dari analisis atas corak keberagamaan yang cenderung fundamentalistik dan kultus di dunia modern, Cak Nur menyimpulkan bahwa cara keberagamaan yang demikian sama sekali bukan masa depan. Karena keberagamaan seperti itu tidak terbuka sama sekali terhadap perkembangan-perkembangan perubahan zaman, dan cenderung bersifat tertutup, tidak kreatif, dan berorientasi ke masa lalu. Maksudnya masalah baru zaman kini, direspons dengan cara lama yang sudah tidak relevan lagi.
Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keberagamaan yang berbeda sama sekali dengan masa lalu. Beberapa kata kunci yang ditekankan Cak Nur: keberagamaan dewasa ini perlu lebih terbuka, adil, dan demokratis. Tiga kata kunci dari Cak Nur ini, perlu disandarkan pada fondasi yang dia sebutnya sebagai “Keislaman yang hanif†atau istilah yang lebih teknis adalah keislaman yang hanifiyât-u al-samhah yaitu “keislaman yang terbuka pada kebenaran, yang membawa pada kelapangan hidupâ€.
Jenis keagamaan yang jelas sekali tidak dikehendaki dan tidak dapat diterima ialah agama yang membuat seseorang tunduk patuh dan pasrah total kepada sesama manusia, dan yang membuatnya terasing dari dirinya sendiri, meskipun semuanya itu ia lakukan dalam kedok menyembah Tuhan.
Madjid 1995a: 135
Kepelitan, dalam bentuknya yang ekstrem, tidak kurang berbahayanya bagi cita-cita masyarakat adil dan makmur. Jika kita pelit pada diri sendiri, tentunya kita akan lebih pelit lagi kepada orang-orang lain khususnya kepada pihak yang paling memerlukan perhatian dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, yaitu kaum tak mampu.
Madjid 1987: 116