Buku Menyapa Dewi Langit - Fransiska Dimitri… | Mizanstore.com

(0) KERANJANG

Rp 0
Rp 117,300
15% Rp 138,000

Deskripsi

Menyapa Dewi Langit adalah kisah nyata perjuangan Fransiska Dimitri (Deedee) dan Mathilda Dwi Lestari (Hilda), dua pendaki putri Indonesia pertama yang mencapai tujuh puncak tertinggi di tujuh benua dunia. Melalui ekspedisi The Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (WISSEMU), mereka menghadapi medan ekstrem, ketakutan, dan batas fisik maupun mental, dari Carstensz Pyramid hingga Puncak Everest. 

Buku ini tidak hanya menampilkan detail teknis pendakian, tetapi juga sisi emosional dan reflektif dari perjalanan mereka—tentang persahabatan, ketekunan, dan makna keberanian. Ditulis dengan jujur dan penuh semangat, Menyapa Dewi Langit menjadi inspirasi bagi siapa pun yang berani bermimpi besar dan siap menghadapi tantangan untuk mewujudkannya. Sebuah kisah tentang kegigihan perempuan Indonesia yang mengukir sejarah di atap dunia.

 

 

“Buku ini mengajak kita berkontemplasi tentang koneksi manusia dengan alam,
juga manusia dengan potensinya sendiri.”
Dee Lestari, penulis Aroma Karsa

 

“Melampaui batas diri dan ambang nyawa, Deedee dan Hilda menapaki puncak dunia,
membawa kisah yang mengguncang makna keberanian.”
Agustinus Wibowo, penulis Kita dan Mereka

 

“Deedee dan Hilda tidak segan untuk menunjukkan sisi ‘lemah’,
yang secara tidak sadar bagi saya justru menjadi kekuatan utama keduanya
bisa sukses mendaki 7 puncak tertinggi di dunia.”
Patricia Rani, Storyteller & Hiking Enthusiast

 

 

ISI BUKU

 

Kata Pengantar — 13

BAB 1 Menuju Puncak — 33
Maraton Gunung Tinggi — 33
Zona Kematian — 35
North Col (Camp 1) — 37
Camp 2 — 38
Camp 3 — 42
Menuju Puncak Dunia — 47

BAB 2 Titik Awal — 55
Langkah Awal — 55
Bergabung dengan Mahitala — 60
Berpindah Tempat — 69
Mulai Ber-Mahitala — 73
Dering Telepon — 79
Proses Seleksi — 85
Menggali Motivasi — 89

BAB 3 Carstensz Pyramid — 93
Menuju Carstenz Pyramid — 93
Menangis di Tebing — 95
Bertolak ke Negeri di Atas Awan — 106
Ekspedisi Dimulai — 113
Tali Tubuh — 121
Uji Nyali — 134
Kembali ke Base Camp dan Teh Manis Hangat — 129

BAB 4 Perjalanan Menuju Everest — 137
Pendakian Gunung Everest — 137
Batal ke Everest — 141
Kehilangan Bas — 145
Drama Sidang Keberangkatan — 146
Kurva Bumi — 152
Hebohnya Pelepasan — 153
Take Off — 159
Tiba di Kathmandu — 162
Bagai Makan “Black Forest” — 168
Gosainkunda — 170
Nasi Telur Dadar — 178
Menuju Tibet — 182
Mendarat di Lhasa — 185

BAB 5 Everest — 193
Perjumpaan Pertama — 193
Menginjak Base Camp — 198
Lazy Easy Day — 208
Balapan dengan Yak — 220
Tidur Bermasker Oksigen — 212
Tanpa Oksigen Tambahan — 222
Restu sang Dewi — 225
Badai di North Col — 238
Turun ke EBC — 238
Kedatangan Tim Support — 239
Shanty Town — 248
Summit Push — 253

BAB 6 Titik Akhir — 267
Menghadapi Rasa Takut — 267
Menuju Ikhlas — 272
Menuju Camp 2 — 284
Mengatasi Overthinking — 287
Hari Bersejarah — 292
Cakrawala Melengkung — 307
Mencapai Puncak — 319
Kebebasan Absolut — 323
Perjalanan Turun — 331
Turun yang Menakutkan — 343
Akhir Pendakian — 352
Pulang ke Rumah — 354
Selamat Tinggal Everest — 360
Penutup Perjalanan — 367

Ucapan Terima Kasih — 273
Tentang Penulis — 377

 

 

Kata Pengantar*

 

“Hati-hati bermimpi di Mahitala karena bisa-bisa jadi kenyataan.”
—Anonymous, di ruang rapat yang sedang merancang ekspedisi
 

“Hidup berarti berjuang. Hidup nikmat tanpa badai
topan adalah laksana laut yang mati.
Saya lebih suka diterjang, diserang oleh nasib
daripada dipermanjakan.”

 —Seneca

 

Menyapa Dewi Langit: Kisah Pendaki Putri Indonesia di Gunung Everest dan Carstensz Pyramid adalah buku pertama Fransiska Dimitri Inkiriwang (Deedee) dan Mathilda Dwi Lestari (Hilda), setelah meraih mimpi menjadi “The First Indonesian Women Seven Summiteers” pada 2018 lalu. Ini adalah pencapaian yang luar biasa. Saya sangat mengapresiasi proses penyelesaian buku ini, yang memakan waktu tujuh tahun setelah pendakian terakhir mereka.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana kami mulai serius menggarap buku ini pada 2020, saat pandemi Covid-19 datang—yang justru memberi kami waktu untuk fokus dengan “proyek buku” ini. Bukan hanya perkara merangkai kata-kata, melainkan juga merencanakan strategi untuk mempertahankan eksistensi Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (WISSEMU) lewat media sosial, sebagai bagian dari persiapan peluncuran buku. Kami menyusun strategi dan content calendar, termasuk memproduksi konten digital.

Diskusi pada Sabtu siang lewat pertemuan virtual menjadi rutinitas mingguan kami. Bahan diskusinya pun beragam, mulai dari sharegraphics tentang throwback expedition, quotes, inspiring mountaineer, talkshow via Instagram live bersama anggota Mahasiswa Parahyangan Pencinta Alam (Mahitala) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) lain, giveaway, playlist, #StayHome activities versi Deedee dan Hilda, hingga games. Semua itu kami susun dan posting untuk meningkatkan kembali engagement dan dukungan kepada WISSEMU. Namun, seiring berjalannya waktu, terdapat sejumlah dinamika dalam tim yang menyebabkan sulitnya menyelesaikan buku. Hingga akhirnya, pada 2023, Deedee, Hilda, dan tim support berhasil melanjutkan dan menyelesaikan penulisan buku pertama ini.

Dalam buku ini, kita akan dibawa menyusuri perjalanan Deedee dan Hilda sejak bergabung dalam ambisi prestisius; mengirim tim pendaki perempuan pertama dari Indonesia, ke tujuh gunung tertinggi di tujuh benua. Babak awal cerita perjalanan ini menceritakan perjalanan saat mendaki Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya tertinggi di Pegunungan Jayawijaya pada 2014. Kemudian, cerita ditutup melalui pendakian terakhir mereka ke Puncak Gunung Everest—yang juga puncak tertinggi di dunia—pada 2018.

Buku ini disajikan melalui perspektif Deedee dan Hilda, dua orang anggota tim pendaki perempuan, seraya menjelaskan aspek teknis pendakian gunung es dan menyoroti pentingnya dukungan berbagai pihak dalam menyukseskan perjalanan ini. Cerita dalam “jurnal” ini terasa jujur dan akrab. Saat membaca buku ini, saya merasa mereka berusaha membuat pembaca mengenal siapa mereka. Gambaran detail juga memberikan bayangan masa-masa mendebarkan saat melakukan summit attack ke Puncak Carstensz Pyramid dan Everest.

Tidak hanya soal pendakian dan penjelajahan alam bebas, buku ini juga mengisahkan pengalaman pribadi Deedee dan Hilda selama empat tahun bertualang. Di samping kekuatan fisik, mereka juga belajar banyak tentang makna sejati dari hidup. Dari setiap rintangan dan tantangan, mereka belajar mengenali kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri masing-masing, memberikan inspirasi bagi pembaca untuk menemukan potensi tersembunyi dalam diri sendiri.

***

Saya dan Deedee sudah bersahabat sejak SMA, tetapi kami selisih setahun bergabung dengan organisasi Mahitala. Saya lebih dulu bergabung ke Mahitala bersama Hilda, pada 2012. Deedee menyusul setahun kemudian. Motivasi kami bergabung kurang lebih sama. Kami terinspirasi dari keberhasilan organisasi ini dalam menyukseskan Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) pada 2011. Perjalanan dan ekspedisi tersebut adalah implementasi dari mimpi besar orang-orang yang nantinya akan akan menjadi senior kami.

Persahabatan saya dengan Deedee dimulai sejak kelas 10 SMA, pada 2008. Kami menghabiskan banyak waktu bersama karena sama-sama bergabung dalam ekstrakurikuler futsal, pulang-pergi sekolah berbarengan, sama-sama groupies band Efek Rumah Kaca (ERK), dan Deedee menjadi “guru privat” saya di kelas 12 ketika ujian akhir menyerang. Karena sering belajar bersama, akhirnya saya pun sering menginap di rumah Deedee dan menjadi akrab dengan keluarganya—yang sering kami sebut sebagai “The Inkis”. Setiap pagi, Deedee akan memainkan lagu penyemangat dan saya selalu menantikan momen sarapan—terutama nasi goreng Tante Etha, ibu Deedee.

Deedee sangat cerdas. Pada saat yang lain perlu mengambil les Matematika, Fisika, dan Kimia untuk menambah wawasan, dia bisa belajar sendiri dan bahkan mengajari saya. Yang membedakan Deedee dengan orang lain adalah ketertarikannya pada buku-buku bertopik berat dan mimpinya menjadi presiden. Di kelas 11, dia pernah menjadi ketua ekskul dan kapten futsal. Sebagai tim futsal, kami sering bertanding melawan sekolah-sekolah lain dan meraih banyak kemenangan. Sebagai kapten, dia mampu menyatukan tim dan membentuk pertahanan yang solid. Ketika kami lelah dengan urusan akademis, hiburan kami adalah menonton konser ERK dan band indi lainnya. Bahkan, anggota ERK pun mengenal kami berdua karena seringnya kami menonton mereka atau meminta foto bareng berkali-kali. Konsisten dan gigih, bukan?

Persahabatan kami memberi banyak pengaruh pada hidup saya. Yang mengenalkan Mahitala kepada saya kali pertama ialah Deedee. Saya masih ingat, pada 2009, ketika dia bercerita tentang Kak, Dion, yang sedang melakukan ekspedisi ke Papua bersama Mahitala. Saat itu, saya tidak pernah sedikit pun membayangkan bahwa nantinya kami akan melakukan hal serupa.

Deedee juga memiliki kakak kedua, Mbak Dea, yang hanya terpaut satu tahun dengan kami. Setelah lulus SMA, Mbak Dea masuk Unpar dan bergabung juga dengan Mahitala—mengikuti jejak Kak Dion. Sehingga, ketika kami memasuki kelas 12, dan kami harus memilih pendidikan lanjutan, kami memutuskan untuk masuk Unpar agar dapat bergabung dengan Mahitala.

Selama kuliah, pertemuan kami tidak seintensif seperti masa SMA karena kami berada di jurusan, kosan, lingkungan pertemanan, dan hubungan yang berbeda. Namun, kami selalu mencari waktu untuk saling berbagi cerita. Pengalaman yang paling berkesan adalah saat saya menjadi panitia Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) dan Deedee menjadi peserta. Kami merasa canggung terhadap satu sama lain, karena sebagai panitia saya harus menjaga wibawa di depan peserta.

Suatu hari, saat diberikan materi tentang potong kompas, Deedee dan kelompoknya tersesat dan tidak sampai di garis finish. Hal ini membuat panitia, terutama kakak-kakak kandung Deedee panik. Kami melakukan search and rescue (SAR) sepanjang malam. Akhirnya, keesokan hari, kami mendengar suara peluit dari kelompoknya dan saya terus memanggil namanya. Saya merasa lega ketika bertemu dengan sahabat saya yang sempat hilang itu, tetapi saya harus tetap jaim karena saya adalah panitia.

Setelah Deedee bergabung dengan Mahitala, kegiatan kami tetap berbeda. Saya aktif di Dewan Pengurus (DP), sedangkan Deedee tidak. Hingga akhirnya, muncul kesempatan untuk menjadi bagian dari Tim ISSEMU versi perempuan pada 2014. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengajak Deedee mendaftar, berharap kami bisa bergabung kembali dalam satu tim. Namun, karena berbagai alasan, saya tidak jadi mendaftar. Saat itu, saya mengatakan kepada Deedee, “Kalau elo keterima, gue pasti support elo. Mungkin bukan jadi tim ekspedisi, tapi jadi ketua DP Mahitala.” Dan, itulah yang terjadi. Saat pengumuman tim terpilih, saya duduk di sebelahnya. Ketika namanya disebut, saya merasa campur aduk. Saya senang, tetapi juga takut. Karena, ini bukan perjalanan yang mudah.

***

Pertemuan pertama saya dengan Hilda terjadi saat mengikuti Diklatsar Mahitala pada 2011. Kami masuk dalam angkatan yang sama, Angkatan Cakrapurnama Dlajapadhas (ACD), sebuah nama yang melambangkan persatuan di bawah sinar bulan purnama dan keinginan kami untuk menjadi seperti bulan yang menerangi kegelapan. Kami ingin menjadi kuat, kokoh, berani, dan dapat bertahan di mana pun, sama seperti batu cadas. Namun, kami juga ingin tetap rendah hati dan menghormati alam seperti tanah, kayu, dan daun yang gugur. Kami adalah bagian dari bumi dan akan tetap rendah hati.

Salah satu kenangan yang tak terlupakan adalah saat materi tentang How to Find (HTF) Penyeberangan Kering di Diklatsar Mahitala. Pada materi ini, kami harus menyeberangi sungai di atas tali menggunakan teknik commando crawl (merangkak dalam posisi tengkurap, badan menempel di tali). Saya masih ingat, bagaimana Hilda berteriak non-stop saat harus menyeret badannya melintasi tali, perpaduan rasa sakit dan takut akan ketinggian. Seketika keheningan hutan terusik dengan lengkingannya.

Akhirnya, sebanyak 23 orang lulus dan enam di antaranya mereka adalah perempuan tangguh. Saya dan Hilda sangat aktif dalam program-program yang diselenggarakan oleh DP, dan akhirnya kami menjadi bagian dari DP. Waktu kami banyak dihabiskan untuk rapat hingga larut malam. Berbeda dengan kebanyakan dari kami yang berasal dari luar Bandung dan tinggal di sekitar kampus, Hilda harus “berjuang” lebih. Dia tinggal di rumah tantenya di Soekarno-Hatta dan harus pulang-pergi (jarak sekitar 11 km memisahkan Ciumbuleuit dengan Soekarno-Hatta, atau kira-kira 30 menit perjalanan dengan sepeda motor). Setiap harinya, dengan penuh keberanian dia mengendarai Honda Beat pink-nya sendirian, bahkan pada malam hari. Perjalanan itu dia habiskan sambil menikmati lagu-lagu Paramore, band favoritnya. Hilda sangat mengidolakan Hayley Williams (vokalis Paramore) dan semua orang tahu akan hal ini.

Selain aktif di DP, Hilda juga terkenal sebagai koordinator konsumsi di panitia Diklatsar, biasa disebut sebagai Komandan Dapur (Danpur). Perannya sangat penting, yaitu memastikan menu makanan dan kalori terpenuhi bagi setiap anggota panitia dan siswa selama berada di alam bebas. Kami juga terlibat dalam tim support Ekspedisi Karst Papua Barat 2014 Mahitala, Unpar.

Di samping kesibukan kuliah dan persiapan ekspedisi, saya terkesan dengan dedikasi Hilda yang juga meluangkan waktu untuk kerja sampingan di salah satu toko buku di dekat kampus. Saya masih tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa membagi waktu antara kuliah, berorganisasi, dan bekerja.

Kemudian, pada pertengahan 2014, kesempatan untuk menjadi bagian dari tim ekspedisi ISSEMU versi perempuan terbuka. Di tengah segala kesibukannya, Hilda memutuskan mendaftar. Dan setelah melalui tahap seleksi, dia menjadi satu dari empat perempuan yang terpilih sebagai tim pengganti tali di Carstensz Pyramid, cikal bakal dari Tim WISSEMU.

***

Tiba saatnya 17 Mei 2018 dini hari, kala summit attack ke Puncak Gunung Everest. Saya menginap dan berkumpul bersama keluarga Deedee untuk memonitor pergerakan Tim WISSEMU melalui Global Positioning System (GPS). Diperkirakan pukul 00.45 WIB adalah waktu Tim WISSEMU memulai pendakian menuju puncak ketujuh The Seven Summits. Hitung-hitungannya, mereka membutuhkan kurang lebih enam jam perjalanan. Sepanjang malam, kami duduk memantau titik di GPS yang terus bergerak sedikit demi sedikit, sambil terus berdoa dan menahan rasa kantuk.

Hingga akhirnya, pada pukul 07.05 WIB, titik GPS mencapai puncak. Kami menerima pesan bahwa Deedee dan Hilda berhasil mengibarkan bendera merah putih di Puncak Everest!

Tidak sia-sia ya, sebelum keberangkatan, kami telah “try out ke Everest dengan makan malam di Ayam Penyet Everest, Mampang Prapatan ????.

Menyantap ayam penyet Everest sebelum berangkat ke Everest.

 

Saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana situasinya saat melakukan ekspedisi ke gunung es, apalagi mencapai puncak tertinggi di dunia. Baru ketika menonton 14 Peaks: Nothing is Impossible, saya mendapat gambaran visualnya. Nimsdai Purja telah membuktikan bahwa tidak ada yang mustahil, dengan mendaki ke-14 puncak 8.000 mdpl, di tanah kelahirannya dalam tujuh bulan. Semangat dan determinasi yang sama saya lihat di WISSEMU. Dua perempuan Indonesia yang dulunya perempuan biasa bisa meraih prestasi sebagai The First Indonesian Women Seven Summiteers.

***

Deedee dan Hilda memiliki banyak kesamaan dan perbedaan yang membuat mereka menyatu. Kesamaan paling mendasar; keduanya kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) angkatan 2011, berasal dari Tangerang Selatan, berzodiak Libra, dan berhasil menyelesaikan ekspedisi. Perbedaannya: latar belakang dan kepribadian. Deedee cenderung lebih cemas, berpikir berlebihan, tetapi sangat detail. Sementara, Hilda lebih spontan dan cepat mengambil keputusan. Ini adalah kombinasi yang sempurna, seperti Yin-Yang—berbeda, tetapi saling melengkapi. Atau, seperti The White Stripes, Simon & Garfunkel, Daft Punk, dan duo keren lainnya.

Proses menyelesaikan WISSEMU selama empat tahun bukanlah hal yang mudah, melainkan juga menjadi proses pembelajaran hidup yang luar biasa bagi mereka. Ini bukan hanya tentang fisik, melainkan juga mental, bagaimana menghadapi ketidakpastian dan mengambil keputusan dalam situasi berisiko. Saat saya selesai membaca buku pertama ini, banyak memori selama proses ekspedisi yang teringat. Saya juga baru mengetahui hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh Deedee dan Hilda yang dulu tidak pernah saya ketahui. Saya melihat perubahan besar dan ketangguhan yang menginspirasi Deedee dan Hilda setelah dan sebelum WISSEMU.

***

Di Mahitala, kami selalu diajarkan tentang konsep will, courage, and confidence (WCC). Sederhananya, konsep ini berawal dari keinginan (will), yang dipupuk dengan kerja keras dan keteguhan hati (courage), hingga melahirkan kepercayaan diri (confidence) dalam implementasinya. Seperti sebuah siklus, ketiga elemen ini terjadi tanpa henti dalam kehidupan. Bahkan, sebuah keberhasilan tidak berhenti pada terciptanya kepercayaan diri yang baru, tetapi justru melahirkan mimpi-mimpi yang lebih menantang.

Hal ini setidaknya menggambarkan siklus hidup Mahitala. Sejak awal berdiri pada 1984, kegiatan outdoor sport di organisasi kami hanya meliputi mountaineering, rock climbing, white watering, orienteering, caving, dan diving. Perjalanan Mahitala ke pegunungan es baru dimulai sekitar 2006-2009. Kala itu, beberapa anggota dan kerabat Mahitala melakukan ekspedisi ke berbagai gunung es sebagai bagian dari angan-angan dan keinginan menyelesaikan trek The Seven Summits.

Berangkat dari mimpi, semangat perjalanan, dan kegiatan outdoor sport yang dilakukan, para anggota aktif Mahitala kemudian meneruskan semangat mendaki gunung-gunung tertinggi di dunia, melalui Ekspedisi Pendakian Pegunungan Sudirman 2009 di Papua Tengah. Ekspedisi ini juga menjadi cikal bakal dari ISSEMU yang berlangsung antara 2009-2012. Seiring dengan keteguhan hati dalam menjalani tiap-tiap tantangan, Tim ISSEMU akhirnya mencetak sejarah sebagai Tim Indonesia pertama yang berhasil menyelesaikan rute The Seven Summits.

Layaknya siklus, pada tahun 2014-2018, akhirnya muncul kembali mimpi besar yang terealisasi melalui Tim WISSEMU. Lewat keinginan kuat, keteguhan hati, serta kepercayaan diri yang dibangun selama sekitar empat tahun, Deedee dan Hilda berhasil menjadi dua perempuan Indonesia pertama yang mencapai puncak tujuh gunung tertinggi di tujuh benua:

  1. Carstensz Pyramid di Pegunungan Jayawijaya (4.884 mdpl) pada 13 Agustus 2014,
  2. Gunung Elbrus (5.642 mdpl) pada 15 Mei 2015,
  3. Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl) pada 24 Mei 2015,
  4. Gunung Aconcagua (6.962 mdpl) pada 31 Januari 2016,
  5. Gunung Vinson Massif (4.892 mdpl) pada 5 Januari 2017,
  6. Gunung Denali (6.190 mdpl) pada 1 Juli 2017,
  7. Gunung Everest (8.850 mdpl) pada 17 Mei 2018.

Buku ini menjadi semacam persembahan dari Deedee dan Hilda untuk merayakan keberhasilan dan kerja keras mereka. Secara pribadi, buku ini juga menjadi pengingat untuk saya sendiri, setidaknya agar tetap bermimpi, berusaha mengejarnya dalam hidup, dan berani pergi ke tempat-tempat yang belum diketahui.

Seperti yang disampaikan oleh David Bowie dalam lagu Space Oddity, yang terpenting adalah Safety first; believe your common-sense and instinct; berani itu bukan membabi buta, tetapi tahu bahaya dan cara mengatasinya, dan sanggup menghadapinya!

Akhir kata, teruntuk Deedee dan Hilda, sebuah kehormatan bagi saya untuk mengisi Kata Pengantar di buku pertama WISSEMU ini. Thank you for your hard work in making this happen, the first book is finally launching! I'm so proud of you, girls!

Semoga kisah yang dibagikan akan menginspirasi banyak orang, mendorong mereka untuk bermimpi lebih besar, dan memberikan motivasi, terutama bagi para perempuan dan generasi muda di Indonesia, agar dapat meraih prestasi di tingkat nasional dan internasional. Semoga buku ini dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya melestarikan alam dan lingkungan. Semangat selalu, ditunggu peluncuran buku kedua dan ketiganya!

“Vivat et floreat Mahitala! Tell the people that nature and the outdoors are our way, and show them the best of what we can do!”

 

Terima kasih dan selamat membaca!

Kind regards,

Nadine Gabrielle (M 2012 678 ACD)

____________

*Kata Pengantar ini diedit oleh Alfons Yoshio Hartanto (M 2013 696 AMB).

 

Spesifikasi

SKU  :  PYKM-45
ISBN  :  9786024413804
Berat  :  440 gram
Dimensi (P/L/T)  :  16 cm/ 24 cm/ 2 cm
Halaman  :  420
Tahun Terbit  :  2025
Jenis Cover  :  Soft Cover

Ulasan

Belum ada ulasan