Meski terdengar cerewet, visi kepenyairan saya sebetulnya sederhana saja. Saya menganggap puisi sebagai ruang terbatas, tapi luas untuk melakukan sejumlah kerja pikir dan kerja rasa. Dalam puisi saya mengingat, mengenang, merenung, meratap, menggugat, meracau,menertawakan, menyederhanakan, merumitkan, memanggil, dan mengusik. Terutama, saya ingin mengusik diri sendiri.
Namun, tak jarang pula puisi memancarkan godaan untuk menjadikan dirinya sebagai ruang pamer kebijaksanaan dan kesucian. Maksud saya adalah, kerap dalam pandangan dan tuntutan pembaca, seorang penulis puisi memiliki pola tutur dan kegelisahan-kegelisahan yang mirip seorang nabi, sufi, atau manusia-manusia yang tercerahkan. Manusia-manusia tauladan yang bijaksana lagi suci. Dan saya selalu tergoda untuk tampil sebagai komentator kehidupan yang bijak dan suci dalam puisi-puisi yang saya tulis sendiri.