Perang Bubat tak hanya menyisakan dendam, tapi juga mengubah tatanan. Kerajaan Galuh dipindahkan untuk menyelamatkan Ratu Galuh. Raden Pamanah Rasa lahir di antara pusaran itu. Sebagai Putra Mahkota, ia disiapkan ayahandanya—Prabu Anggalarang—untuk menyongsong takdir: menyatukan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Raden Pamanah Rasa berdiri di atas obsesi tokoh kontroversi seperti Amuk Murugul. Ia kemudian dipertaruhkan ketika para raja nusantara meminta menjadi mediator menghadapi Portugis yang berwajah ganda—pengusaha yang dipersenjatai, berdagang tapi harus menyebarkan agama.
Jauh sebelum itu, kerikil tajam mengadang mulai dari iri dengki kakaknya sampai Perang Cogreg yang menurunkan Rakean Ningrat Kancana dan Rakean Rahyang Kancana dari kedudukan sebagai Ratu dan Resi. Keberhasilan perjalanan Raden Pamanah Rasa adalah ketika mendapat gelar dari Sunan Rumenggong—Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata—menandai posisi Rama Agung silih diduduki tiga orang yaitu Mundinglaya, Mundingwangi, dan Mundingsari. Kisah yang tak banyak diungkap dalam sejarah nasional, selain dalam cerita lisan.