Umur 10 tahunan, saya pindah ke sebuah kota. Di kota itu, saya baru menyadari kalau orang Selatan itu (saya orang Bengkulu Selatan) adalah masyakat kelas rendah dibanding dari daerah-daerah lain. Orang Selatan kerap ditertawakan ketika mereka berbicara menggunakan dialek Besemah. Kalau sedang di dalam angkutan umum, saya pura-pura menjadi orang kota sepenuhnya dan berharap Ibu, Bibi, tidak bicara apa-apa (sebab orang Selatan akan mudah sekali dikenali dari aksennya).
Hari ini, apa-apa yang sudah saya lalui itu banyak menjadi sumber penciptaan karya-karya saya. Ke-Selatan-an yang dulu saya tolak mati-matian, justru ingin saya hadirkan sebagai identitas, termasuk dalam karya-karya saya. Ingatan-ingatan itu tidak mau diam jika tidak saya tuliskan. Saya mantap pulang ke rahim kultural saya.
Dan ke-Selatan-an ini jelas juga tak lepas dari perkara dunia perempuan. Entahlah, saya sering sekali dipertemukan dengan perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dan membawa perasaan saya kembali ke masa lalu, dan itu sangat mengganggu kemudian mengambil porsi besar dalam teks-teks saya.
Kumpulan cerpen saya ini menggambarkan semua itu, kendati setiap pembaca selalu punya hak mutlak untuk membacanya dengan caranya masing-masing.