“Beribu maaf, Bapak Haji. Maksud kedatangan saya pagi ini hendak meminta kemurahan hati Bapak, agar Alfiah, putri Bapak, boleh saya jadikan teman hidup yang akan saya rawat sebaik-baiknya hingga kelak hari tua.” Kata-kata itu keluar dari mulut Soedirman ketika melamar Alfiah, gadis dari keluarga terpandang.
Kisah cinta yang awalnya tidak direstui oleh keluarga besar Alfiah itu menemui berbagai cobaan di masa perang kemerdekaan. Cinta Soedirman-Alfiah mulai tumbuh sejak sama-sama sekolah di Wiworo Tomo, saat Soedirman menjadi sekretaris himpunan siswa, dan Alfiah, bendaharanya.
Kebahagiaan membuatmu tetap manis, cobaan membuatmu kuat, kesedihan membuatmu tetap menjadi manusia, kegagalan membuatmu tetap rendah hati. Ungkapan itu telah diwujudkan semasa gerilya—saat Soedirman sakit—Alfiah mendukung lahir batin dan merelakan seluruh perhiasan pemberian orangtuanya untuk bekal sang suami di medan gerilya.
Endorsemen:
“...Dengan berbekal uang pensiun seorang janda pahlawan yang diperolehnya, harus menghidupi anggota keluarga dan ketujuh putra-putrinya yang masih membutuhkan biaya pendidikan. Beliau adalah orang terhebat di mata kami.”
—M. Teguh Soedirman, Putra Bungsu Panglima Besar Jenderal Soedirman & Alfiah
“Sungguh enak jadi anak muda zaman sekarang, belajar nggak selalu harus lewat buku pelajaran yang kaku dan membosankan. Belajar Sejarah misalnya, bisa lewat kisah percintaan yang manis seperti dalam novel ini. Kalau udah seenak ini masih juga nggak mau baca, ya kebangetan namanya.”
—Inayah W. Wahid, pengagum Panglima Besar Jenderal Soedirman, putri bungsu K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)