Ketersediaan : Tersedia

MENJADI MANUSIA MENJADI HAMBA

Deskripsi Produk

Gaya hidup modern, di samping menawarkan berbagai kenikmatan dan kemudahan hidup, kerap membuahkan dehumanisasi. Banyak manusia seolah kehilangan kemanusiaannya, kehilangan fitrahnya—khususnya dimensi spiritual. Lalu, seolah merespons fenomena itu, tak sedikit yang kemudian secara ekstrem memilih "jalan spiritual", sampai-sampai memancang visi lenyapnya diri dan tak lagi peduli dengan situasi duniawi. Tugas…

Baca Selengkapnya...

Rp 98.000

Rp 83.300

Gaya hidup modern, di samping menawarkan berbagai kenikmatan dan kemudahan hidup, kerap membuahkan dehumanisasi. Banyak manusia seolah kehilangan kemanusiaannya, kehilangan fitrahnya—khususnya dimensi spiritual.

Lalu, seolah merespons fenomena itu, tak sedikit yang kemudian secara ekstrem memilih "jalan spiritual", sampai-sampai memancang visi lenyapnya diri dan tak lagi peduli dengan situasi duniawi. Tugas manusia sebagai khalifah pun jadi terabaikan.

Buku ini membahas sekaligus fitrah kemanusiaan dan tanggung jawab kehambaan. Dengan pembahasan yang populer dan bahasa yang ringan, penulis mengajak pembaca mengenali mandat manusia di muka bumi ini: menjadi manusia, sekaligus menjadi hamba.

Tentang Fahruddin Faiz

Resensi

Kebutuhan Menjadi Manusia dan Hamba Pengantar Penulis   Alhamdulillâh, wa syukru lillâh, ashshalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh Desakan pola hidup kekinian harus diakui membawa berbagai konsekuensi. Dan konsekuensi tersebut tidak melulu menguntungkan, juga sering kali menyusahkan serta merugikan. Semua risiko itu harus ditanggung oleh manusia sendiri, baik sehubungan dengan kesadaran dirinya maupun tata peradaban yang dibangunnya. Gempuran life-style yang menular secara global sekaligus mengiringi lenyapnya kepekaan terhadap kearifan lokal. Kecanggihan teknologi informasi yang memudahkan interaksi, misalnya, sering juga mendangkalkan makna komunikasi. Contoh lain, salah pilih epistemologi yang melahirkan nalar canggih namun juga menegaskan kurangnya wawasan tentang keragaman dan harmoni. Serta berbagai kontradiksi lainnya yang tumpang-tindih, susul-menyusul, mewarnai wajah peradaban manusia hari ini. Di samping menawarkan berbagai kenikmatan dan kemudahan hidup, perkembangan terkini peradaban manusia juga kerap membuahkan dehumanisasi, manusia yang tak lagi manusiawi. Fakta dehumanisasi itu sudah menjadi keprihatinan banyak tokoh dari berbagai bidang. Banyak manusia kebingungan karena kehilangan jati diri kemanusiaannya. Kehidupan manusia hari ini secara mental banyak diwarnai oleh dislokasi kejiwaan, disorientasi (kehilangan pegangan karena runtuhnya nilai-nilai lama), dan juga deprivatisasi relatif (Perasaan tersingkir dan terasing dalam bidang kehidupan tertentu). Menurut Erich Fromm, karakter umum masyarakat masa kini itu adalah “alienasi” (keterasingan). Hampir dalam setiap dimensi kehidupannya manusia modern terasing, baik dalam hubungannya dengan pekerjaannya, dengan benda-benda yang ia konsumsi, dengan negara, dengan sesama manusia, dan bahkan dengan dirinya sendiri. Manusia mengonstruksi satu mesin sosial-budaya-ekonomi-politik yang begitu canggih, ditopang oleh beragam teori ilmiah yang rumit, untuk pada akhirnya keseluruhan ciptaannya itu melampaui dan menguasai diri mereka sendiri. Manusia pun selanjutnya seakan menjadi budak dari mesin besar yang ia ciptakan sendiri. Semakin besar dan berkembang ciptaannya itu, semakin manusia tidak berdaya untuk mengendalikannya lagi. Dengan nada yang prihatin Seyyed Hossein Nasr meratapi manusia hari ini yang terjebak dalam perangkap-perangkap ciptaan sendiri, baik itu dalam nama saintisme, kritisisme, subjektivisme, relativisme, psikologisme, maupun biologisme. Manusia tidak mampu mengembangkan kemanusiaannya sendiri, karena kediriannya lenyap ditelan oleh sistem dan gaya hidup yang mereka bangun sendiri. Dengan akal-budi yang dimilikinya, harusnya manusia hidup dalam paradigma philosophia (cinta kepada kebijaksanaan), namun dalam kenyataannya, manusia lebih banyak menghindari pertemuan dengan sang kebijaksanaan tersebut, dan lebih sibuk dalam pemenuhan hasrat dan ambisinya untuk “menjajah” dunia dan memuaskan kesenangan sesaatnya; sehingga alih-alih menggali kebijaksanaan, manusia justru mengembangkan paradigma kebalikannya: miso-sophia (kebencian terhadap kebijaksanaan). Manusia dalam paradigma miso-sophia ini menegaskan dirinya sebagai “pasti mampu” dan “yakin bisa” menaklukkan apa pun tantangan alam dan ujian semesta, tanpa perlu “mendatangkan” bantuan dari unsur apa pun di luar diri mereka, termasuk Yang Ilahiah. Manusia dalam paradigma miso-sophia ini mengalami beragam krisis diri, khususnya yang menyangkut salah satu fitrah kemanusiaannya yaitu spiritualitas. Keengganan kepada philo-sophia, dan keberpihakan kepada miso-sophia, membuat mereka kehilangan khazanah utama hidup fitri manusia, khususnya dalam dimensi spiritualnya. Pada akhirnya mereka tidak mampu lagi mengenali dirinya, sehingga mengidentifikasi dirinya dengan hal-hal di luar dirinya, seperti kepemilikan, status, gelar, pangkat, jabatan, afiliasi kelompok, dan lain sebagainya. Sementara itu dari sudut sebaliknya, di posisi yang berseberangan, berkembang pula mode “alienasi” manusia dalam wajah yang sama sekali berbeda. Kesadaran akan pentingnya spiritualitas dalam hidup manusia pada kenyataannya banyak membuat orang abai terhadap sisi-sisi kemanusiaannya yang lain. Begitu sungguh-sungguh mereka ini dengan hidup spiritual yang dipandang lebih utama, sehingga melupakan keutamaan-keutamaan hidup selainnya. Sampai pada titik ekstrem, mode hidup spiritual ini bahkan memancang visi lenyapnya diri dan tak lagi peduli dengan situasi duniawi. Dengan bahasa yang lugas, Muhammad Iqbal, Sang Filsuf Muslim dari Pakistan, menyebut para spiritualis ekstrem ini sebagai manusia yang menutup mata terhadap realitas konkret-empiris dan menghilangkan vitalitas individual manusia untuk mengelola hidupnya. Menurut Iqbal, manusia tidak seharusnya membiarkan diri terserap ke dalam Yang Ilahiah dan menjadi tiada. Sebaliknya, manusia harus menyerap Yang Ilahiah ke dalam dirinya, kemudian tampil dan berkarya. Dengan cara inilah manusia sebagai pribadi akan naik pada tingkatan wakil Tuhan dan akan menjelma menjadi manusia sempurna (Insan Kamil). Kanjeng Nabi Muhammad sendiri secara tegas mengkritisi sahabat yang mementingkan kehidupan spiritual saja, dan melupakan sisi kemanusiaan keduniaannya. Dalam salah satu sabdanya beliau menyatakan: “Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR Bukhari-Muslim). Dengan bahasa yang indah, Al-Quran menegaskan bahwa amanah kehadiran manusia di muka bumi itu secara sekaligus berhubungan dengan pemenuhan kewajiban spiritual dan pemenuhan kebutuhan keduniaan; kewajiban mencari bekal untuk kehidupan ukhrawi dan kesadaran untuk tidak melupakan ihwal duniawi. Dan carilah negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan (QS Al-Qashash [28]: 77). Pada akhirnya, semua pemaparan ideal tentang kehadiran manusia di muka bumi akan mengarah pada satu kesimpulan bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini, dengan segala fasilitas yang diberikan Allah, membawa dua tanggung jawab sekaligus: yaitu menjadi manusia dan menjadi hamba; menjadi khalifah-Nya dan menjadi ‘Abd-Nya. Sebagai konsekuensinya, manusia memerlukan dua tipe wawasan, dua jenis pengetahuan atau dua ranah keilmuan, dalam rangka menyukseskan misinya tersebut yaitu: pertama, semua yang dapat membantu manusia menjawab pertanyaan “bagaimana cara menjadi hamba yang benar?” dan kedua, semua yang dapat membantu manusia menjawab pertanyaan “bagaimana cara menjadi manusia yang benar?”. Kehadiran buku ini, dengan gaya dan kekhasannya sendiri, mengusung misi penting tersebut dan sedikit ingin menyumbangkan perspektif dua kebutuhan primer ruhaniah manusia tersebut, yakni kebutuhan menjadi manusia dan kebutuhan menjadi hamba. Sebagai masterpiece yang dibanggakan oleh Allah, bahkan di hadapan para malaikat-Nya, manusia dibekali daya dan potensi yang lengkap untuk menjalani hidup manusiawinya dan menetapi tugas kehambaannya. Bahkan secara canggih Allah merancang sistem sunnatullâh yang mengarahkan pemenuhan dua hal tersebut sebagai saling berkait dan saling menyempurnakan. Pemenuhan fitrah kemanusiaan hakikatnya adalah bagian dari tugas kehambaan, sebaliknya pemenuhan tugas kehambaan hakikatnya adalah bagian dari fitrah kemanusiaan. Menjadi manusia sejati antara lain berarti menjadi manusia yang sadar akan hakikat kehambaannya, dan menjadi hamba yang sejati antara lain berarti sadar akan kedudukan dan perannya sebagai manusia. Sebagai Sang Rahman dan Sang Rahim, ketetapan Allah tentang tugas kehambaan dan kemanusiaan ini hakikatnya adalah demi kebaikan dan kebahagiaan manusia sendiri. Oleh karena itu, penting untuk diketahui bagaimana menjalankan dua amanah tersebut sesuai tuntunan, porsi dan proporsi yang tepat sehingga kebaikan dan kebahagiaan tersebut benar terwujud. Allah pun, karena Rahman dan Rahim-Nya, di setiap masa telah menurunkan petunjuk-Nya untuk bisa dipedomani, bahkan secara langsung mengangkat Para Utusan untuk menuntun manusia agar tak salah langkah, sehingga berlimpahnya anugerah tidak berubah menjadi musibah. Semua fitrah yang dimiliki manusia adalah sumber kebahagiaannya, apabila diwujudkan di jalur yang sesuai dengan tuntunan, porsi dan proporsinya. Fitrah berketurunan akan membuahkan kebahagiaan apabila diwujudkan dengan jalan pernikahan; dan akan membuahkan yang sebaliknya apabila diwujudkan dengan tanpa peduli aturan. Fitrah berdoa, kesadaran untuk meminta dan bergantung kepada Tuhan, akan membuahkan kebahagiaan apabila dijalankan mengiring ikhtiar, dan akan membuahkan yang sebaliknya apabila diiringi dengan kemalasan dan keengganan berusaha. Fitrah waktu, akan membuahkan kebahagiaan apabila diisi dengan hal-hal yang positif dan produktif, dan akan membuahkan yang sebaliknya apabila diisi dengan hal-hal yang negatif dan destruktif. Fitrah sosial manusia, akan membuahkan kebahagiaan apabila diwujudkan dengan jalan cinta dan saling-peduli, dan akan membuahkan sebaliknya apabila diwujudkan dengan jalan kebencian dan saling menang sendiri. Buku yang hadir di tangan pembaca ini berisi hal-hal seputar fitrah kemanusiaan dan tanggung jawab kehambaan ini. Buku ini adalah buku yang istimewa, apalagi jika dibaca tidak hanya hasil dan tulisannya, namun juga proses lahirnya, dari tuturan hingga menjelma menjadi tulisan, serta tidak boleh dilupakan upaya-usaha serta susah-payah para penggagas dan pelaksananya. Buku ini adalah buku yang luar biasa, karena kelahirannya memiliki hubungan paradigmatik yang unik dengan ngaji dan dengan filsafat. Isi buku ini merupakan sebagian dari materi Ngaji Filsafat yang diselenggarakan setiap Rabu malam Kamis di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta. Karena berawal dari tuturan yang disampaikan langsung kepada audiens, maka terasa sekali dalam gaya bahasa dan pilihan kalimat yang digunakan. Karena awalnya memang dari Ngaji Filsafat, maka terasa sekali bau filsafatnya, sehingga mode berpikir dan metode mengurai tema yang digunakan terasa sekali corak kefilsafatan dalam penjelasan dan ilustrasi makna yang disampaikan. Karena awalnya memang dari Ngaji Filsafat, maka terasa sekali bau “ngaji”-nya, sehingga terasa sekali diksi-diksi “tuntunan” dan “keberpihakan”-nya kepada nilai-nilai keagamaan. Lain dari itu, kiranya setiap pesan yang ingin disampaikan dari setiap tema yang diangkat dapat ditangkap, baik oleh siapa pun yang membacanya, baik yang pernah mengikuti ngaji maupun yang belum pernah mengikuti. Dalam tradisi hermeneutik dan semiotik modern dikenal pandangan bahwa setiap teks memiliki otonominya sendiri. Hal ini pun menurut saya berlaku sehubungan dengan buku ini. Teks Ngaji Filsafat dalam bentuk tuturan yang menuntut kemampuan auditory dan teks Ngaji Filsafat yang saat ini ditranskripsi dalam tulisan hakikatnya adalah dua teks yang berbeda dengan vitalitasnya masing-masing. Keduanya secara tidak terelakkan menggiring pemahaman, membangkitkan imajinasi dan sekaligus membuahkan inspirasi yang tidak sama. Dalam bentuk teks tertulis, isi dan makna yang akan disampaikan tentunya dapat dikemas lebih rapi, dengan tata kalimat dan ungkapan yang dapat diatur serta dibenahi. Sangat mungkin makna-makna baru yang semula tidak tertangkap melalui pendengaran, karena membutuhkan kosentrasi dan kesungguhan yang konsisten, dalam bentuk tulisan dapat dikenali dan bahkan menginspirasi lahirnya makna-makna baru. Ngaji itu sendiri sudah berjalan sejak tahun 2013 dan sudah mengkaji lebih dari dua ratus lima puluhan tema sampai saat ini. Ngaji ini sendiri diinisiasi sebagai upaya untuk memberikan wadah alternatif bagi anak-anak muda yang memerlukan enrichment, pengayaan wawasan, sebagai bagian dari bekal hidup mereka. Di sisi lain, ngaji filsafat yang diselenggarakan di masjid ini juga merupakan salah satu upaya yang perlu diapresiasi untuk menghidupkan kembali salah satu fungsi masjid sebagai pusat intelektual. Untuk hal ini ucapan terima kasih patut diberikan kepada para pengurus masjid yang mengupayakan terselenggaranya Ngaji. Rasa syukur itu tentunya akan semakin mendalam harus dilantunkan ketika beberapa bagian dari materi ngaji tersebut akhirnya “terabadikan” dalam tulisan dengan lahirnya buku ini. Untuk yang terakhir ini, ucapan terima kasih patut diberikan kepada rekan-rekan dari penerbit, di semua lininya, yang bersusah payah mengupayakan lahirnya buku ini. Selain harapan akan keluasan manfaat dan maslahat dari buku ini, terbitnya buku ini tentunya merupakan salah satu capaian dan salah satu petanda bahwa kita tidak pernah berhenti untuk menggali khazanah keilmuan-Nya yang tak terbatas. Juga sebagai pertanda bahwa kita senantiasa berusaha memberdayakan diri dengan ilmu dan wawasan baru sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap. Dan kita juga sadar untuk tidak berhenti belajar dan secara istiqamah meniti jalan keilmuan, dengan cara apa pun, lewat media apa pun. Semoga dengan semua itu, saat kita harus menghadap-Nya untuk mempertanggungjawabkan semua kinerja kehambaan dan kemanusiaan kita, tidak ada lagi perasaan malu dan menyesal. Akhirnya, sebagaimana saya sampaikan di banyak kesempatan, apa yang disampaikan dalam Ngaji Filsafat itu (juga yang termaktub dalam buku ini) memiliki keterbatasan-keterbatasan dan kekurangan-kekurangannya sendiri, khususnya karena keterbatasan dan kekurangan saya sebagai penyampainya. Oleh karena itu, selain kesediaan meminta maaf dan menerima masukan, akan sangat baik jika materi-materi kajian yang dalam buku ini dipahami, direnungi dan diambil manfaatnya pada bagian yang relevan. Lalu dijadikan titik awal untuk penggalian pengetahuan yang lebih dalam dan penjelajahan ilmiah yang lebih luas, demi kehidupan yang lebih baik dan semakin baik, dalam rangka menetapi tugas sebagai manusia dan sekaligus sebagai hamba.   Wallâhul-muwâffiq, wallâhu a‘lam bish-shawâb.[]       Yogyakarta, 10 September 2020   Fahruddin Faiz     ENDOREMENT "Saya sering ditanya tentang kecenderungan sebagian anak muda: rajin ritual tapi abai senyum pada sesama, care pada sesama tapi suka maksiat pada Tuhan. Buku idola saya, Menjadi Manusia, Menjadi Hamba karya Fahruddin Faiz, ini adalah jawaban tepat untuk itu."   --Husein Ja’far Al-Hadar, Penulis Buku Bestseller Tuhan Ada di Hatimu

Spesifikasi Produk

SKU NA-223
ISBN 978-623-242-154-7
Berat 350 Gram
Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 312
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk