Tidak seperti anak perempuan kebanyakan, Aru dikenal sebagai pembohong yang ahli sekaligus biang onar. Suatu hari, teman-teman sekolahnya yang berasal dari keluarga kaya menantang Aru untuk membuktikan kutukan yang tersimpan di tempat tinggalnya, Museum Seni dan Kebudayaan India Kuno. Aru terpancing dan dia pun menyalakan lilin terlarang. Tiba-tiba saja dunia membeku! Parahnya lagi, dia telah membebaskan sang Penidur yang bertugas membangunkan Dewa Kehancuran untuk mengakhiri Masa.
Dunia Aru berubah: dewa-dewi dalam legenda Mahabharata menjelma nyata dan, celakanya, dia adalah putri dari salah satu dewa terkuat yang pernah ada! Aru, bersama Boo, seekor merpati penjaga, dan Mini, demigod lainnya, bersatu untuk memasuki Kerajaan Kematian dan lolos dari sana hidup-hidup. Tujuannya? Tentu saja demi mencegah terjadinya Akhir Masa.
Roshani Chokshi merupakan penulis bestseller New York Times, penulis Aru Shah and the End of Time, The Star-Touched Queen, A Crown of Wishes, dan The Gilded Wolves. Karyanya dinominasikan untuk penghargaan Locus dan Nebula. Buku-bukunya muncul dalam daftar Barnes and Nobles Best New Books of the Year dan Buzzfeed Best Books of the Year. Chokshi tinggal di Georgia.
“Kisah petualangan yang memikat.”
—Teen Vogue
“Novel penuh imajinasi yang menonjolkan kekuatan perempuan serta keunikan para tokoh utama yang belum pernah kau lihat sebelumnya.”
—Entertainment Weekly
Pengantar Rick Riordan
Pernahkah kau membaca buku dan berpikir, Wow, andai saja aku yang menuliskannya!?
Bagiku, Aru Shah dan Akhir Masa adalah salah satu buku seperti itu. Ada segala macam hal yang kusukai di dalamnya: humor, aksi, karakter hebat, dan tentu saja mitologi keren! Namun, ini bukan jenis buku yang bisa kubuat. Aku tidak punya keahlian atau pengetahuan orang-dalam untuk menggarap dunia dari mitologi Hindu yang luas dan luar biasa, apalagi membuatnya begitu menyenangkan dan ramah pembaca!
Untung bagi kita semua, Roshani Chokshi melakukannya.
Kalau kau tidak familier dengan mitologi Hindu—tenang saja, kau bakal menikmatinya! Kalau menurutmu Zeus, Ares, dan Apollo itu liar, tunggu sampai kau bertemu Hanoman dan Urwasi. Menurutmu Riptide itu senjata yang keren? Coba cek segala macam astra-astra sakti ini—gada, pedang, busur, dan jaring yang dijalin dari petir. Pilih satu. Kau bakal membutuhkannya. Menurutmu Medusa itu menakutkan? Dia tidak ada apa-apanyadibandingkan nagini dan kaum raksha. Aru Shah, gadis kelas tujuh penuh semangat dan cerdas dari Atlanta, akan terjun ke tengah-tengah semua kegilaan ini, dan petualangannya bakal membuat kepalamu meledak dengan cara yang paling mengasyikkan.
Kalau kau sudah mengenal mitologi Hindu, kau bakal mengalami reuni keluarga paling menghibur yang pernah ada. Kau akan banyak melihat karakter-karakter favoritmu—batara, demon, monster, durjana, juga wira. Kau akan membubung ke Kayangan dan menukik turun ke Dunia Bawah. Dan, tidak peduli seberapa banyak mitos yang sudah kau ketahui, aku berani mempertaruhkan setumpuk Twizzler bahwa di sini kau akan mempelajari hal-hal baru.
Bisakah kau lihat aku bersemangat membagikan buku ini kepadamu? Yeah, sangat bersemangat.
Nah, tunggu apa lagi? Aru Shah sedang menghabiskan waktu di Museum Seni dan Budaya India Kuno, tempat ibunya bekerja. Liburan musim gugur telah dimulai, dan Aru cukup yakin hari itu bakal menjadi hari yang membosankan.
Aduh. Dia salah BESAR.
Rick Riordan
NUKILAN
Pintu yang Disesali Aru Telah Dibukanya
Masalah dengan tumbuh dewasa di dekat benda-benda yang sangat berbahaya adalah, kau bakal terbiasa dengan keberadaannya setelah beberapa saat.
Selama bisa mengingat, Aru sudah tinggal di Museum Seni dan Budaya India Kuno. Dan dia tahu persis bahwa pelita tanah liat di ujung Aula Para Batara tidak boleh disentuh.
Dia bisa menyebut “lampu kehancuran” sama santainya dengan cara bajak laut berkata, Oh, maksudmu si Ralph Tua? Namun, meskipun terbiasa dengan pelita tua itu, Aru tak pernah menyalakannya satu kali pun. Itu bakal melanggar aturan. Aturan-aturan yang terus dia ulang setiap Sabtu, saat memandu tur wisatawan siang hari.
Mungkin ada orang yang tidak suka harus bekerja pada akhir pekan, tetapi bagi Aru, rasanya tidak pernah seperti bekerja.
Rasanya seperti seremoni.
Seperti rahasia.
Dia akan mengenakan rompi apik merah tua dengan tiga kancing lebah madunya. Dia akan meniru suara khas kurator museum ibunya, dan orang-orang—inilah bagian terbaik dari semuanya—akan mendengarkan. Mata mereka tak pernah beralih dari wajahnya. Terutama ketika Aru membahas lampu terkutuk itu.
Ada kalanya dia menganggap artefak tersebut sebagai benda paling menakjubkan yang pernah dia bahas. Lampu terkutuk adalah topik yang jauh lebih menarik daripada, katakanlah, pergi ke dokter gigi. Meskipun seseorang bisa saja menyanggah bahwa keduanya sama-sama terkutuk.
Aru sudah tinggal di Museum untuk waktu yang sangat lama, sampai-sampai tempat itu tidak menyembunyikan rahasia apa pun lagi darinya. Dia tumbuh besar dengan membaca dan mengerjakan PR di bawah gajah batu raksasa di pintu masuk. Dia sering tertidur di teater dan bangun tepat sebelum rekaman tur swapandu mengumumkan bahwa India merdeka dari Inggris pada tahun 1947. Dia bahkan secara teratur menyembunyikan segenggam permen di mulut patung naga laut berusia empat ratus tahun (yang dinamainya Steve) di sayap barat. Aru tahu segalanya tentang semua benda di museum. Kecuali satu ....
Lampu tadi. Sebagian besar benda itu masih menjadi misteri.
“Itu tidak bisa sepenuhnya disebut lampu,” begitu ibunya, kurator sekaligus arkeolog tersohor, Dr. K. P. Shah, memberi tahu Aru saat pertama kali menunjukkannya. “Kami menyebutnya diya.”
Aru ingat dirinya menekankan hidung pada kotak kaca, memandangi gumpalan tanah liat itu. Untuk ukuran benda terkutuk, sejauh ini lampu itulah yang tampilannya paling membosankan. Bentuknya seperti keping hoki yang diregangkan. Namun, terlepas dari segala kenormalannya, bahkan patung-patung yang memenuhi Aula Para Batara tampak menjauh dari lampu itu, menjaga jarak.
“Kenapa kita tidak boleh menyalakannya?” tanya Aru.
Sang ibu tidak balas menatapnya. “Terkadang, cahaya menerangi hal-hal yang lebih baik tetap dibiarkan dalam kegelapan. Selain itu, kau tidak pernah tahu siapa yang sedang mengawasi.”
Yah, Aru mengawasi. Dia sudah mengawasi sepanjang hidupnya.
Setiap hari, sepulang sekolah, dia akan kembali, menggantung ranselnya pada belalai gajah batu, dan mengendap-endap menuju Aula Para Batara.
Itu ruang pameran paling populer di museum, berisi seratus patung batara Hindu. Ibunya telah menghiasi dinding dengan cermin tinggi sehingga para pengunjung dapat melihat artefak tersebut dari setiap sudut. Cermin-cerminnya bergaya “vintage” (istilah yang Aru gunakan ketika menukarkan sekeping uang logam kehijauan dengan dua dolar dan setengah batang Twix kepada Burton Parker). Gara-gara pepohonan crape myrtle dan elm tinggi yang tumbuh di luar jendela, cahaya yang tersaring masuk ke Aula Para Batara selalu terlihat agak redup. Sudut-sudutnya membayang. Seolah patung-patung itu memakai mahkota cahaya.
Aru akan berdiri di pintu masuk, tatapannya mendarat pada patung-patung favoritnya—Batara Indra, sang penguasa kayangan, yang memegang petir; Batara Krishna, yang memainkan seruling; Buddha, yang duduk dengan punggung tegak dan kaki bersiladalam pose meditasi—sebelum matanya serta-merta tertarik ke arah diya di dalam kotak kaca.
Aru akan berdiri di sana selama bermenit-menit, menunggu sesuatu ..., apa pun yang akan membuat harinya di sekolah jauh lebih menarik besok, atau membuat orang-orang menyadari bahwa dirinya, Aru Shah, bukan sekadar anak kelas tujuh yang sedang tersaruk-saruk melewati sekolah menengah, melainkan seseorang yang hebat ....
Aru menantikan datangnya keajaiban.
Namun, setiap harinya, dia kecewa.
SKU | ND-389 |
ISBN | 978-602-385-627-5 |
Berat | 380 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 444 |
Jenis Cover | Soft Cover |