- Tidak banyak buku yang membahas tema Tionghoa Muslim sedetail yang disampaikan di buku ini.
- Mampu menjadi referensi utama bagi para mahasiswa, dosen, dan peneliti yang ingin mengetahui sejarah dan budaya Tionghoa Muslim di Indonesia.
ENDORSEMENT
“Menampilkan pelbagai cara keberislaman di kalangan Tionghoa Indonesia, pengarang menyoroti hubungan antara keislaman, ketionghoaan, dan keindonesiaan. Karya kesarjanaan langka dan segar tentang Tionghoa Muslim di Indonesia pasca Orde Baru.”
—James B. Hoesterey, Emory University
“Kajian Hew Wai Weng yang sangat relevan ini menjelaskan bagaimana agama, etnisitas, dan kebangsaan berkelindan dalam sosok Tionghoa Muslim, sekaligus meruntuhkan stereotip bahwa kedua entitas itu saling berseberangan. Tionghoa bisa menjadi Muslim yang saleh dengan tetap mempertahankan identitas ketionghoaannya. Lebih dari kajian mana pun sebelumnya, Berislam ala Tionghoa memberikan data etnografis yang komprehensif mulai dari tumbuhnya ‘masjid-masjid Cheng Hoo’ dengan arsitektur khasnya, hingga beragam figur ‘dai selebritas’ yang sudah terserap ke dalam wacana keseharian umat Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang. Akhirnya, dengan keunikan-keunikan mereka, tidak bisa dibantah, bahwa etnis Tionghoa itu ‘omnipresent’ sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga besar bangsa Indonesia. Tahniah untuk pengarang!
—Didi Kwartanada, sejarawan, editor Tionghoa dalam Keindonesiaan (2016)
“Dalam khazanah kesarjanaan Indonesia modern, tidak banyak karya yang mengkaji secara mendalam dinamika persinggungan etnis Tionghoa dan Islam di Indonesia. Membahas beragam tema, dari desain arsitektural, aktivitas dakwah, politik, sampai festival budaya, karya ini bukan saja mengisi kekosongan kesarjanaan semacam itu, melainkan juga menawarkan perspektif dan analisis yang segar untuk memahami cara-cara Muslim Tionghoa menegosiasikan keislaman dan identitas budaya mereka dalam situasi politik yang tengah berubah. Karya brilian ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin mengetahui ‘wajah lain’ Islam Indonesia pasca-Suharto, yang telanjur dipenuhi lukisan tentang radikalisme dan ekstremisme.”
—Prof. Noorhaidi Hasan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
“(...) sebuah literatur yang tepat dari masalah yang diteliti dengan sangat baik dalam memberikan pengantar kepada para pemula untuk memahami kelangsungan hidup Tionghoa Muslim di Indonesia di tengah negara Muslim mayoritas (non-Tionghoa). Buku ini juga memberikan jawaban atas beberapa keraguan masyarakat yang tidak terbiasa dengan identitas kosmopolitan dan budaya Tionghoa Muslim, atau yang skeptis terhadap mereka.”
—Maszlee Malik, Menteri Pendidikan Malaysia
“Buku ini memperkaya literatur tentang Muslim Tionghoa di Indonesia, yang belum banyak dikaji selama ini. Dengan membacanya, diharapkan pilar-pilar integrasi Nasional semakin kokoh.”
—Ahmad Syafii Maarif
“Buku Berislam ala Tionghoa ini berbeda dengan banyak kajian lain tentang etnis Tionghoa sebelumnya: karya ini mengungkapkan banyak hal menarik tentang dinamika baru di kalangan Tionghoa Muslim pada masa pasca-Orde Baru atau masa Reformasi. Di tengah masa kebebasan terlihat interplay yang intens di antara identitas ketionghoaan dan keislaman. Memandang isinya yang mencakup berbagai aspek kehidupan Tionghoa Muslim Indonesia pada masa kontemporer, buku ini memberikan kontribusi sangat penting tidak hanya dalam hal kajian Indonesian Chinese Muslim Studies, tetapi juga tentang pergumulan identitas di antara ketionghoaan, keindonesian, dan keislaman.”
—Prof. Azyumardi Azra, C.B.E., Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PRAKATA
Pada suatu malam Ramadan 2008, orang-orang Islam (baik Tionghoa maupun non-Tionghoa) menjalankan shalat Tarawih di Masjid Cheng Hoo Surabaya, sedangkan orang-orang non-Muslim (sebagian besar Tionghoa) sedang latihan qigong (olah pernapasan Tionghoa) di koridor kantor PITI
(Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) yang berada di lingkungan masjid. Bambang Sujanto, tokoh kunci di balik pembangunan masjid, menjelaskan bahwa masjid berarsitektur Tionghoa ini sudah cukup menunjukkan bahwa ada sebuah “berislam ala Tionghoa”. Namun, masih di masjid yang sama,
saya juga menjumpai seorang Tionghoa Muslim mengharamkan perayaan Imlek.
Bagaimana memahami perbedaan-perbedaan pandangan ini dan bagaimana cara menjalani hidup sebagai Muslim dan sekaligus Tionghoa di Indonesia masa kini? Berdasarkan penelitian lapangan ekstensif pada 2008—2009 dan kunjungan-kunjungan setelahnya, buku ini memaparkan dan
menganalisis munculnya identitas-identitas budaya Tionghoa Muslim di Indonesia pasca-Orde Baru. Buku ini memiliki tiga karakter pokok: (1) Lintas disiplin (interdisciplinary)—buku ini melibatkan diri dalam perdebatan perihal etnisitas dan religiositas di berbagai bidang akademik, terutama ilmu politik dan antropologi. (2) Lintas bagian (intersectional)—buku ini mengusung kajian tentang identitas Muslim dan Tionghoa secara bersamaan, untuk mengungkap persilangan antara dua jenis identitas ini. (3) Lintas jaringan (interconnected)—buku ini memperhitungkan pengaruh arus-arus transnasional dan dinamika-dinamika lokal dalam proses pembentukan identitas budaya Tionghoa Muslim. Buku ini melacak bagaimana dan dalam kondisi seperti apa Tionghoa Muslim membentuk dan menegosiasikan etnisitas dan religiositas mereka, baik secara individual maupun kolektif, di
kehidupan pribadi ataupun bermasyarakat. Sejak 2000, budaya Tionghoa Muslim di Indonesia telah diterjemahkan ke dalam simbol (misalnya masjid-masjid berarsitektur Tionghoa), dilembagakan dalam organisasi (misalnya PITI), dihadirkan dalam media populer (misalnya pendakwah Tionghoa), dan ditampilkan dalam ritual (misalnya perayaan Imlek). Tokoh-tokoh Tionghoa Muslim juga mengusung identitas mereka yang unik dengan cara menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan mereka dengan Muslim di Tiongkok.
Terdapat banyak literatur baik tentang Islam maupun ketionghoaan di Indonesia masa kini. Namun, jarang ada kajian yang membahas hubungan antara dua jenis identitas ini. Dengan menelaah identitas-identitas Tionghoa Muslim, buku ini memudahkan kita untuk memahami secara lebih baik politik budaya dari religiositas keislaman dan ketionghoaan di Indonesia hari ini, dan juga memberikan kita wawasan tentang kemungkinan-kemungkinan dan keterbatasanketerbatasan kosmopolitanisme etnis dan agama di masyarakatkontemporer. Munculnya budaya-budaya Tionghoa Muslim mencerminkan adanya penerimaan yang lebih utuh atas budaya Tionghoa di masyarakat Indonesia dan toleransi Islam terhadap perbedaan ekspresi budaya. Meskipun diwarnai stereotip etnis tertentu dan konservatisme keagamaan, budaya Tionghoa Muslim dapat dikatakan sebagai ketionghoaan yang inklusif dan Islam yang kosmopolitan ketika penegasan identitas Tionghoa dan religiositas Islam tidak selalu menyertakan pemisahan rasial dan eksklusivitas agama, tetapi justru melawan keduanya. Masjid Cheng Hoo Surabaya adalah contoh nyata dari keberagamaan yang inklusif—masjid ini telah menjadi medan sosio-religi tempat baik Tionghoa maupun non-Tionghoa, Muslim maupun non-Muslim dapat membaur dan
berinteraksi satu sama lain. Selain itu, budaya Tionghoa Muslim juga sanggup mendamaikan stereotip yang telanjur diterima tentang ketidakcocokan antara Islam dan ketionghoaan.
Meski demikian, percampuran antara Islam dan budaya Tionghoa tidak dengan sendirinya memperkaya wacana keislaman. Banyak pendakwah Tionghoa Muslim, misalnya, secara kreatif berhasil memadukan ajaran Islam dan simbol budaya Tionghoa dalam rangka menampilkan universalitas Islam, tetapi mereka tidak berkontribusi dalam melahirkan pemahaman yang lebih kritis atas Islam. Alih-alih menantang pandangan konservatif yang semakin berkembang, sebagian pendakwah justru memilih berdamai dengan pandangan-pandangan tersebut demi menghindari kontroversi.
Terakhir, manifestasi-publik identitas budaya Tionghoa Muslim tidak sepenuhnya menggambarkan identitas Tionghoa Muslim yang beragam dan berlapis-lapis. Untuk itu, saya menggunakan konsep ketaatan fleksibel (flexible piety) untuk melihat religiositas keislaman yang cair dan konsep identifikasi majemuk untuk mengungkappergeseran etnisitas di kalangan Tionghoa Muslim menurut konteks kehidupan mereka. Pendek kata, tidak ada satu cara “berislam ala Tionghoa”, tetapi banyak cara untuk menjadi/tidak-menjadi Tionghoa dan Muslim di Indonesia.[]
Cara Cina [Tionghoa] Menjadi Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Bagaimana cara warga keturunan Cina (Tionghoa) menjadi Muslim? Pertama-tama perlu ditegaskan, eksistensi Tionghoa Muslim Indonesia tidak sama sekali baru. Hew Wai Weng dalam karyanya Chinese Ways of Being Muslim: Negotiating Ethnicity and Religiousity in Indonesia (Copenhagen: NIAS Press, 2018) menyodorkan kembali berbagai bukti historis mereka, khususnya di Jawa sejak abad 15-16 seperti dikaji para sarjana terdahulu.
Cukup banyak pula kajian dengan kualitas akademik tepercaya tentang kehadiran warga Cina Muslim Indonesia sejak masa awal tersebut. Misalnya saja, banyak bukti historis tentang Laksama Muhammad Cheng Ho dan para pengikut; bahkan juga klaim tentang adanya kalangan Wali Songo dari keturunan Cina.
Masalahnya kemudian, sangat sulit memastikan pertumbuhan kuantitatif mereka sepanjang sejarah sampai sekarang. Menurut berbagai estimasi, kini warga keturunan Tionghoa berjumlah sekitar 2 sampai 3 persen (6-8 juta jiwa) dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia.
Menurut perkiraan 2008, lebih separuh (53,82 persen) warga keturunan menganut Buddha; 35,09 persen Nasrani (Kristen dan Katolik); 5,41 persen Muslim; 1,77 persen Hindu; dan 3,91 dan lain-lain. Persentase ini mengonfirmasi persepsi bahwa mayoritas warga keturunan Cina adalah non-Muslim.
Namun, Weng menganggap estimasi persentase warga Cina Muslim di atas berlebihan—pendapat dia ini dibenarkan kalangan tokoh Cina Muslim. Oleh karena itulah, warga Tionghoa Muslim Indonesia menjadi double-minority; minoritas di tengah warga keturunan Tionghoa secara keseluruhan, dan sekaligus minoritas di antara seluruh kaum Muslim Indonesia.
Kalau begitu, bagaimana cara warga keturunan Cina menjadi Muslim? Inilah salah satu kesimpulan penting Weng: kebanyakan warga Tionghoa Muslim Indonesia bukanlah mereka yang sejak kelahiran sudah Muslim; atau lahir dari ayah-ibu yang sudah Muslim, melainkan pindah agama masuk Islam (mualaf). Lagi-lagi tidak ada angka pasti atau estimasi jumlah konversi warga Tionghoa ke Islam.
Menurut Weng, proses warga Tionghoa menjadi Muslim melalui konversi agama ke dalam Islam disebabkan sejumlah faktor. Pertama, membebaskan diri dari diskriminasi, termasuk politik.
Pandangan ini antara lain bersumber dari Junus Jahja, tokoh Muslim keturunan, yang berpendapat, dengan menganut agama mayoritas penduduk, perbedaan di antara penduduk pribumi Muslim dengan warga keturunan menjadi sirna. Ini pandangan tentang asimilasi warga keturunan ke dalam masyarakat bumi putra.
Faktor kedua; sebagian warga keturunan masuk Islam untuk mendapatkan kesempatan ekonomi dan bisnis lebih luas. Khususnya pada tingkat lokal, dengan masuk Islam, warga keturunan dapat lebih diterima pemimpin Islam dan umat setempat. Selanjutnya, warga keturunan yang masuk Islam ini juga sering melakukan ibadah haji dan umrah sehingga mendapat respek warga Muslim di lingkungan lebih luas.
Faktor ketiga, memperoleh kebenaran ruhani dan makna dalam kehidupan. Faktor konversi semacam ini sering dikemukakan penceramah dari kalangan warga keturunan Tionghoa. Ada di antara mereka yang mengaku mengalami krisis ruhani dan kemudian masuk Islam karena tersentuh mendengar azan atau bacaan Alquran.
Dan faktor kelima, melakukan perkawinan dengan calon pasangan Muslim. Pernikahan yang menyebabkan perpindahan agama ini lazimnya terjadi di antara generasi muda keturunan.
Proses konversi agama di Indonesia tidaklah sulit. Menjadi Muslim bagi warga Tionghoa cukup datang ke kiai atau tokoh Islam atau pimpinan ormas atau pengurus masjid. Selanjutnya yang bersangkutan dibimbing mengucapkan dua kalimat syahadat dan diberi sertifikat masuk Islam.
Masalahnya kemudian, seperti dicatat Weng, untuk menjadi Muslim lebih baik, warga keturunan mualaf perlu mendalami berbagai aspek ajaran Islam. Banyak mualaf mempelajari Islam di masjid tertentu yang menawarkan program bimbingan khusus untuk muallaf baru. Kalau tidak, mereka mempelajari Islam dari ceramah agama yang bersifat umum di masjid.
Selain itu, banyak mualaf baru ini belajar Islam dari buku, pasangan Muslimnya, teman, atau belajar privat. Kini tentu lebih banyak lagi sumber belajar yang tersedia di dunia maya—internet dan Youtube misalnya.
Terlepas dari berbagai cara warga Tionghoa tersebut menjadi Muslim lebih baik, Weng mengingatkan tentang adanya tiga fitur pokok terkait religiositas warga Tionghoa Muslim Indonesia. Pertama, tidak ada identitas tunggal Cina Muslim Indonesia. Kedua, religiositas mualaf Cina Indonesia tidak mesti selalu stabil. Dan, ketiga, tingkat religiositas mereka sangat beragam.