- Hasil riset kepenulisan biografi Cak Nun yang digagas oleh tim manajemennya.
- Dr. Ade Hashman sudah dikenal sebagai penulis buku-buku bertema kesehatan dan agama Islam.
- Buku ini membahas lengkap mengenai aktivitas keseharian Cak Nun hingga mengungkap berbagai macam mitos mengapa Cak Nun “dianggap” tidak pernah sakit.
- Cak Nun menuliskan catatannya mengenai buku ini di bab epilog.
Endorsement
“Seorang yang dapat memahami kelok tutur seorang Cak Nun adalah luar biasa. Karena biasanya bahasa dokter adalah bahasa fakta yang polos. Saya sangat menikmati gaya penuturan seorang dokter mengenai orang yang istimewa ini. Semua peristiwa digambarkan dengan rapi. Kadang juga ada kejutan-kejutan yang menyegarkan, tidak lupa dikaitkan dengan alam pikir kedokteran. Sebuah tulisan yang layak dibaca dan direnungkan kolega medis.”
—Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K)., Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
“Kesehatan Cak Nun adalah produk sikap diri meneladani hidup Rasul Muhammad Saw. Dan, satu metode pentingnya adalah puasa (materi maupun non-materi).”
—Sumasno Hadi, penulis buku Semesta Emha Ainun Nadjib
“Tidak banyak dokter yang menulis. Terlebih lagi menulis buku-buku yang membuka cakrawala keilmuan kita. Dan, kita patut bersyukur kepada Allah, bahwa Allah mengaruniai kita untuk memperoleh kedua hal di atas melalui dr. Ade Hashman. Sebagai dokter spesialis (anestesi), dr. Ade menulis pengetahuan dan pengalamannya sebagai dokter sekaligus dengan pendekatan sebagai hamba Allah. Tidak banyak yang dikaruniai kemampuan untuk melakukan hal tersebut pada zaman ini’.”
—Prayogi R. Saputra, penulis buku Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib, Dosen Perbankan Syariah Universitas Raden Rahmat Malang
Kata Pengantar
Bismillahirahmanirrahim. Izinkan saya mengantarkan buku Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib, yang ditulis oleh Dokter Ade Hashman dengan rasa syukur kepada Allah Swt.
Seperti halnya Dokter Ade Hashman dan para jamaah Maiyah sendiri mengetahui dengan baik, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah figur yang dalam semua aktivitasnya membersamai masyarakat dan para jamaah dari berbagai generasi, memiliki satu “kesadaran ekstra”.
Kesadaran ekstra yang saya maksud adalah kepada anak-cucunya (demikian beliau menyebut para jamaah Maiyah). Cak Nun selalu berpesan dan mendorong mereka untuk senantiasa mengabadikan proses pembelajaran, pengalaman, dan perolehan mereka dalam Sinau Bareng ke dalam tulisan. Apa yang mereka temukan dan dapatkan, hendaknya ditulis. Termasuk yang lebih spesifik, apa yang mereka dapatkan dari pribadi Cak Nun perlu dituliskan pula.
Dorongan ini mendesak para jamaah untuk merasakan bahwa menulis itu haruslah dilakukan sekarang juga, bukan nanti. Menulis dikerjakan saat ini beriringan dengan aktivitas yang menjadi semesta yang dituliskan itu berlangsung. Hal ini sekaligus mengandung pelajaran bagi mereka: jangan menunda. Abadikan sekarang, biar tak menumpuk utang-utang pada kemudian hari, sementara waktu dan peristiwa terus berlangsung. Doing and writing at the same time.
Buku Dokter Ade Hashman lahir dari kesadaran yang demikian. Dokter Ade menyambut dorongan dan challenge dari Cak Nun dengan segera menulis buku ini, mengambil sisi ilmu kesehatan sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Selama kurang lebih tiga tahun itulah saya mendapat kesempatan untuk turut menemani dan membantu Dokter Ade dalam ketekunan dan kegigihannya menjumput butir demi butir yang didapatkan dari diri dan perjalanan khidmatul ummah Cak Nun. Kemudian, pada tahap selanjutnya ditata dan dikonstruksikan menjadi sebuah bangun pengetahuan yang dituangkan dalam buku ini.
Untuk kesempatan menemani dan sedikit membantu itulah saya juga mengungkapkan rasa syukur. Dan, rasa syukur berikutnya dari saya adalah dengan menyambut terbitnya buku ini, menjadi terang sebenarnya, bagi saya, bahwa Dokter Ade telah berjuang sedemikian rupa meletakkan ilmu pada posisi hakikinya, yaitu sifat ilmu yang distributif.
Dengan menulis buku ini, Dokter Ade telah ikut membagikan ilmu kepada kita semua. Dan, itu berarti pula sebuah kerja jariyah telah dilakukan, yang tiada terputus pahalanya dari Allah.
Pada titik ini pula, saya menjadi sadar bahwa dorongan Cak Nun itu tak lain adalah piweling yang menjaga kita selalu ingat: lakukan terus kerja jariyah yang melahirkan jariyah-jariyah baru yang tersebar, bermanfaat, turun-temurun, dan mengabadi.
Kemudian tentang kesehatan, tidak banyak yang bisa saya katakan kecuali satu hal. Kabarnya, satu di antara ciri generasi milenial adalah kepeduliannya pada kesehatan. Healthy is new sexy. Hal ini membuat mereka mencoba menjalani hidup sehat, berolah raga, dan akan gampang galau kalau ada yang kurang fit dengan kesehatan mereka.
Tentunya yang demikian itu baik dan menggembirakan. Jika orientasi gaya hidup seperti ini diteruskan menjadi pencarian ilmu hidup, buku Dokter Ade Hashman ini tentu dapat dijadikan sebagai literatur yang menawarkan perspektif ilmu kesehatan yang lebih mendasar. Yang lebih terkait pada nilai-nilai sejati kehidupan, yang memandang sehat atau sakit dengan konsepsi yang sejauh mungkin dapat dicapai manusia dalam upayanya memahami rububiyah Allah dalam memfasilitasi dan men-treatment manusia, secara umum maupun pada kasus tertentu, terhadap segala hal yang berkaitan dengan sehat, sakit, penyakit, obat, maupun jalan lainnya.
Dalam hal inilah, Cak Nun telah membukakan kepada kita pintu-pintu menuju cakrawala ilmu kesehatan yang lebih luas dan detail dari yang selama ini telah tertanam dalam pikiran kita. Melalui buku ini pula, Dokter Ade telah berbaik hati mengantarkan kita ke depan pintu-pintu itu.
Selamat membaca, selamat memasuki cakrawala baru.
Helmi Mustofa
Progress (Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng)
Kata Pengantar
Dr. Eddy Supriadi Ph.D, Sp.A(K)
Bagi saya, ikut andil “ngurusi” Emha pada waktu “sakit berat” waktu itu, semacam pemberian stabillo, underlined, bold, pembelajaran atau penyadaran pada saya, bahwa ilmu medis yang selama ini saya tekuni belum ada sekuku hitam atas masalah kesehatan atau penyakit pada manusia. Bila medis menemukan bukti infeksi yang disebabkan oleh bakteri maka bisa diobati dengan antibiotik yang sesuai dengan bakteri tersebut. Bila ada kecelakaan yang menyebabkan patah tulang, maka disiplin ilmu medis bisa mengelolanya, memperbaikinya walaupun pasti tidak akan 100% pulih sempurna. Lalu bagaimana bila ada fenomena paku, beling, sekrup yang bisa masuk tubuh? Ilmu medis bisa membuktikan adanya benda-benda tersebut di dalam tubuh melalui foto rontgen, CT scan, ataupun USG. Akan tetapi tidak bisa menjelaskan bagaimana barang-barang tersebut masuk ke dalam tubuh manusia tanpa ada sedikit pun luka yang ada di dalam tubuh. Ilmu medis bisa mengeluarkan benda-benda tersebut melalui jalan operasi, yang pasti akan meninggalkan luka di area yang dioperasinya.
Dalam pandangan medis, ketika melihat ada penurunan berat badan kira-kira 20 kg, dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, pasti akan berpikir tengah terjangkit penyakit ganas ataupun penyakit metabolik berat lainnya. Itulah yang dilami Emha waktu itu. Maka segala macam instrumen medis seperti fakta klinis, laboratorium, dan pemeriksaan radiologis bekerja untuk mendukung persangkaan atas fenomena yang terjadi pada beliau. Persangkaan klinis awal waktu itu mengarah pada ketidakberesan kelenjar gondok. Kemudian oleh seorang ahli endokrin diperiksa berbagai macam jenis pemeriksaan darah, untuk membuktikan persangkaan tahap awal tersebut. Profesor Asdi (ahli endokrin) terbelalak melihat hasil lab darah yang berada jauh di atas nilai maksimal, bahkan menurut beliau, dengan hasil tersebut mestinya Emha sudah tidak bertahan. Medis meragukan hal ini (hasil lab). Alhasil dilakukan pemeriksaan lab ulang. Hasilnya sama! Meyakinkan adanya kelainan pada kelenjar gondok yang sangat progresif. Pelacakan medis berikutnya adalah pemeriksaan radiologi di fasilitas Kedokteran Nuklir. Kawan sepermainan saya, dr. Bambang (ahli radiologi) memfasilitasi pemeriksaan tersebut dan melakukannya sendiri. Hasil dari pemeriksaan memperkuat berbagai temuan medis sebelumnya, ditambah dengan prediksi (berdasarkan empiris) bahwa usianya hanya bertahan tiga bulan lagi. dr. Bambang menyampaikan ke saya, “Saya tidak sanggup bilang ke Emha….” Saya hanya bisa menjawab ke Bambang: “Kuwi urusanku Mbang. [Itu menjadi urusan saya Mbang]”. Padahal Saya pun tak sanggup mengatakan hal ini ke Emha.
Singkat kata, kesimpulan medis saat itu adalah sesuatu yang sangat progresif atau ganas yang mempengaruhi sistem metaboliknya, dan memperkirakan usianya tinggal 3 bulan. Medis tak bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi. Bisanya hanya memprediksi berdasarkan pengalaman empiris atas fenomena yang terjadi pada saat itu. Kalau fakta seperti ini, biasanya umurnya tinggal segini. Jujur saja saya pun tidak akan sanggup untuk ngomongin ini ke Emha, maka tumpuan saya untuk rembugan adalah Pakdhe Nuri (Alm.). Kita berdua termangu menghadapi persoalan ini. Hal yang sangat berat bagi saya, mengingat hubungan saya dengan Emha bukan sekedar relasi dokter-pasien.
Kemudian ada fakta bahwa ada bagian spesimen dari diri Emha berwarna hitam, yang kemudian sampel spesimen itu dikumpulkan oleh Pakdhe Nuri dalam sebuah botol plastik bekas roll film, untuk diperiksa esok paginya ke lab ditempat Pakdhe Nuri bekerja. Namun di tengah malam hari botol plastik sampel spesimen tersebut meledak di rumah pakdhe, dan sampelnya muncrat sampai ke langit langit ! Ini jelas sebuah fenomena yang tak wajar. Dengan sisa sisa sampel yang ada, maka pakdhe menganalisis kandungan dari spesimen tersebut. Salah satu temuannya adalah bahwa dalam spesimen tersebut terkandung suatu logam yang hanya bisa meleleh pada suhu di atas 1.600 derajat Celcius! Sekali lagi ini bukan suatu fenomena yang wajar! Maka dengan mendengar saran dari isteri tercinta, mbak Via, bahwa ini di luar merupakan masalah medis, mbok ya segera diselesaikan. Maka dimulailah cara penyembuhan atas sesuatu yang diderita Emha dengan cara yang ‘semestinya’.
Emha bisa terbebas dari ‘sakit’ ini dengan ‘laku’ nya, dengan cara dan metode ‘non medis’, tentu atas izin Nya. Apa yang saya dapatkan dari sepenggal perjalanan tadi adalah, seorang Emha, bahwa tata urutan perilaku managemen kesehatannya mengikuti alur logika: sesuatu yang tampak – tak tampak, raga – jiwa, medis – nonmedis (karena medis tak bisa menyelesaikannya) maka harus dicari cara lain.
Emha bilang: inilah cara Allah menyayangi saya, saya ‘disuruh’untuk bisa merasakan ini semua, bagaimana rasanya bagaimana sekelilingnya menyikapinya, dan yang lebih penting bahwa hal ini menjadikan lebih dekat kepadaNya. Ini sika penyadaran diri yang positif, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada lingkungannya yang mau belajar dari kejadian ini. Tidak semua orang dipilih Allah untuk bisa dan boleh merasakan/mengalami seperti yang Emha alami, kalaupun mengalami hal serupa, reaksinya pasti tidak sama. Tata urutan managemen kesehatannya belum tentu sama.
Manusia terdiri atas raga dan jiwa, yang kasat mata dan yang tak tampak. Nah medis ini mayoritas ngurusi yang tampak tampak saja. Yang ada bukti bukti angkanya, yang ada bukti ‘ilmiah’ nya, walaupun apa yang disebut ilmiah di sini masih bisa kita perdebatkan. Padahal yang terjadi pada setiap individu bukan hanya yang bersifat ragawi saja, yang tidak kasat mata bahkan bisa jadi lebih banyak masalahnya, yang akan mempengaruhi badan wadagnya.
Tidak semua dokter baik dan benar, dan tidak semua ‘dukun’ tidak baik dan salah.
Ed.