Berkembangnya Salafisme di perdesaan di Jawa tampak “salah habitat”. Sebab, di Jawa umumnya Salafisme berkembang di wilayah perkotaan, sedangkan karakter keagamaan di perdesaan lebih didominasi oleh Islam “tradisional” NU, bahkan juga abangan, atau paham Kejawen.
Tentu sangat menarik untuk ditelaah mengapa Salafisme dapat berkembang di Kepakisan, sebuah desa kecil di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Perkembangan ini akan dilihat dari beberapa segi, antara lain: siapa tokoh pembawanya, bagaimana paham ini disebarluaskan kepada masyarakat, bagaimana peran kebijakan pemerintah dalam kehidupan keagamaan, apa hubungan antara dinamika sosial-politik dan dinamika keagamaan, serta bagaimana reaksi Islam lokal terhadap Islam “pendatang” Salafisme ini?
Buku ini memberikan tilikan antropologis yang menarik tentang hubungan antara paham keagamaan, peran pemerintah, pola produksi, dan dinamika sosial-politik di perdesaan di Jawa era Orde Baru dan sesudahnya.
***
Seiring naiknya popularitas dakwah Salafi dan identitas para pengikutnya di Indonesia, tuduhan berbagai aksi terorisme dan radikalisme, baik berskala nasional maupun internasional, selalu tertuju pada Salafisme, terutama pascaperistiwa 11 September dan Bom Bali 2002. Terlepas dari kepentingan yang ada, ragam media dan para pengamat politik dan terorisme lokal maupun internasional selalu menghubungkan keterlibatan dakwah Salafi dan para pengikutnya dengan aksi-aksi terorisme yang semakin marak setelah era Orde Baru. Mereka menggeneralisasi kelompok ini karena adanya kesamaan ideologi dan penampilan fisik dengan para pelaku terorisme. Buku Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix23 yang merupakan laporan dari International Crisis Group (ICG) menyoroti secara detail bagaimana Salafisme dan varian-variannya tidak bisa secara otomatis digeneralisasi dan diterjemahkan ke dalam gerakan yang mengarah pada aksi-aksi
kekerasan. Di Indonesia, pada dasarnya Salafisme lebih terfokus pada upaya pemurnian iman dan moral bagi setiap individu daripada upayanya melawan Amerika Serikat atau Barat. Untuk memupus kecurigaan yang berlebih terhadap Salafisme, buku tersebut memberikan sikap antagonis para pengikut Salafi murni (the purist Salafis) terhadap kelompok jihadis, seperti Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok Salafi murni justru aktif mengkritik, mengoreksi, dan meluruskan interpretasi teks-teks suci yang dibangun dan diselewengkan oleh kelompok jihadis. Mereka mengklaim tidak ada jalan untuk bersekutu dengan kelompok jihadis terkait keterlibatannya dalam aksi-aksi teror. Beberapa laporan menunjukkan bahwa para pengikut Salafi tidak sama dengan kelompok jihadis. Dana dari Saudi pun tidak secara otomatis menunjukkan dukungan mereka terhadap terorisme. Para pengikut Salafi menganggap bahwa penggunaan dana untuk kepentingan agama atau apa pun alasannya dengan melakukan aksi-aksi teror adalah hal yang sia-sia. Dana tersebut akan lebih produktif apabila digunakan untuk pengembangan program-program pendidikan dan dakwah Islam di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, menjadi sangat bias jika pengikut Salafi dikaitkan dengan aksi-aksi teror sebagai wujud aktualisasi jihad. Mereka justru memandang bahwa kelompok jihadis terlalu mempersempit konteks jihad.
Untuk menolak keterlibatan kelompok Salafi dalam aksi-aksi terorisme, khususnya di Indonesia, disertasi Din Wahid berjudul Nurturing the Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia24 menyoroti lebih detail peran Salafi yang cenderung memusatkan aktivitas-aktivitasnya bagi pengembangan dakwah Islam di Indonesia melalui pesantren-pesantren yang didirikan. Pesantren Salafi tidak hanya mengajarkan Salafisme, tetapi juga membiasakan para santri untuk mempraktikkan manhaj Salafi dalam kehidupan sehari-hari. Pada periode awal perkembangannya, keberadaan pesantren Salafi mengalami hambatan dari masyarakat setempat, terutama karena doktrin yang diajarkan dan perilaku para pengikutnya yang eksklusif. Namun, lambat laun masyarakat lebih akrab yang kemudian memainkan peran penting dalam penyebaran Salafisme di Indonesia, yakni dengan mengorganisasi berbagai pusat pengajaran Salafi di masjid-masjid warga, kampus, dan melalui stasiun-stasiun radio maupun televisi.
Penelitian dalam buku ini fokus pada Salafisme di Kepakisan. Kelompok ini menjadi pilihan karena Salafisme sebagai gerakan Islam transnasional sempat menjadi fenomena sosial yang tidak hanya tumbuh subur di perkotaan atau kampus-kampus umum yang dikenal dengan rasionalitas dan heterogenitasnya, tetapi juga mampu masuk ke perdesaan Jawa yang memegang kuat tradisi. Dalam memahami perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat, diperlukan variabel-variabel penting sebagai kunci utama untuk mengetahui sebab-sebabnya. Dalam konteks perubahan sosial-politik dan pergeseran mode produksi di perdesaan Jawa, penelitian ini menganalisis proses konversi masyarakat Jawa abangan perdesaan menjadi masyarakat puritan berideologi Salafi. Proses ini melibatkan agensi berjejaring luas yang berfungsi sebagai agen-agen determinan yang mengawal dan menyertai proses-proses perubahan tersebut, dengan tidak mengabaikan variabel-variabel pendukung lainnya.
***
Buku ini terdiri dari enam bab. Bab Pertama ialah pendahuluan berisi latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoretis, serta metode penelitian.
Bab Kedua menjelaskan transformasi sosial-keagamaan di Kepakisan dari kampung abangan menjadi kampung santri. Dengan melihat sudut pandang sosio-historis, diuraikan terlebih dahulu tentang faktor-faktor yang mendukung terjadinya perubahan sosial secara umum pada masyarakat Dieng, termasuk Revolusi Hijau, patron–klien atau stratifikasi sosial, Islamisasi yang semakin mendalam dengan munculnya kelas menengah Muslim, serta industrialisasi dan kapitalisasi. Pembahasan mengenai mitos dan tradisi abangan masyarakat Dieng menjadi parameter yang ditonjolkan dalam bab ini untuk mengukur dan menganalisis signifikansi transformasi pemahaman keagamaan masyarakat Kepakisan.
Bab Ketiga memaparkan signifikansi agensi dalam menciptakan perubahan struktural. Bab ini mendiskusikan secara detail sejarah hidup Pak Poyo—kepala desa dan sekaligus tokoh agama—dan perannya sebagai agen utama yang berkontribusi penting pada proses transformasi dalam konteks ekonomi-politik desa.
Bab Keempat menjadi inti dari buku ini menyoroti pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap kemunculan Salafisme di Indonesia. Bab ini secara spesifik mengkaji ideologi, varian-varian, dinamika, dan jaringan Salafisme di Indonesia. Bab ini menandai fase kedua perubahan sosial-keagamaan di Kepakisan dengan kemunculan Salafisme yang bisa diamati dari upaya penetrasi, ekspansi, hingga dinamika konflik yang menyertainya. Di samping itu, bab ini berupaya menganalisis faktor-faktor diterimanya ajaran-ajaran Salafi oleh masyarakat Kepakisan.
Bab Kelima menjelaskan upaya kelompok Salafi dalam menegosiasikan identitasnya di Kepakisan. Dengan menganalisis ideologi dan pola perilaku para pengikut Salafi ketika dibenturkan dengan realitas sosial dan politik, bab ini juga menjelaskan sejauh mana kemampuan kelompok ini mempertahankan vitalitasnya di Kepakisan.
Terakhir, Bab Keenam merangkum temuan-temuan penelitian berupa kesimpulan.
SERI TEROKA
Seri Teroka menerbitkan karya para cendekia muda yang merupakan hasil tesis/disertasi terpilih. Pemilihan karya dilakukan oleh Dewan Penilai yang terdiri dari para pakar di bidangnya. Karya yang dipilih mestilah meneroka (menjelajahi) tema-tema seputar Islam dan Indonesia.
Spirit penerbitan Seri Teroka dapat ditelusuri ke era awal 1980-an hingga akhir 1990-an ketika penerbitan buku Seri Cendekiawan Muslim Indonesia terbitan Mizan menjadi trendsetter pemikiran keislaman di Tanah Air. Meskipun Mizan hingga kini masih terus menerbitkan karya-karya kesarjanaan dari intelektual Muslim Indonesia, buku-buku pemikiran keislaman tersebut—di tengah kelimpahruahan informasi serta di tengah dominasi buku-buku populer—makin luput dari perhatian publik luas, dan pada gilirannya juga makin kehilangan pengaruh dalam wacana publik di Indonesia.
Penerbitan Seri Teroka, karena itu, tumbuh dari kesadaran bahwa perlu dihidupkan kembali kegairahan akan pergulatan pemikiran keislaman di Indonesia—antara lain dalam bentuk tesis dan disertasi di lingkungan sivitas akademika UIN, IAIN, STAIN, kampus-kampus Islam, dan kampus-kampus umum. Dengan cara itu, hasil penelitian keislaman tidak hanya beredar di kalangan intern kampus, melainkan mendapatkan perhatian lebih luas dan pada gilirannya lebih diperbincangkan oleh publik luas di Indonesia.[]
SKU | POD-147 |
ISBN | 978-602-441180-0 |
Berat | 340 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 22 Cm / 15 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 236 |
Jenis Cover | Soft Cover |